Oleh: Supri Harahap. Mendikbud Anies Baswe dan membuat Permendikbud Nomor 160 tahun 2014 pada 11 Desember 2014 menyusul edaran yang beliau tujukan kepala semua kepala sekolah di seluruh negeri ini pada 5 Desember 2014. Permen tersebut tentang pemberlakuan Kurikulum 2006 (KTSP atau kurikulum tingkat satuan pendidikan atau katesiape) sekaligus juga pemberlakuan Kurikulum 2013 (K2013 atau kurtilas).
Pasal 5 Permen tersebut menjelaskan mengenai hal-hal yang belum diatur terkait prosedur pemberlakuan KTSP serta tata cara satuan pendidikan yang siap melaksanakan K2013 selanjutnya diatur oleh Direktur Jenderal Pendidikan Dasar dan Direktur Jenderal Pendidikan Menengah setelah berkoordinasi dengan Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kemendikbud. Maka terbitlah Peraturan Bersama Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen pada 22 Desember 2014 tentang petunjuk teknis pemberlakuan KTSP dan K2013 menyusul Permendikbud nomor 160 tadi.
Sebagaimana yang telah diputuskan melalui surat edaran dan permendikbud bahwa Kurikulum 2013 hanya berlaku di 6.221 yakni sekolah yang telah menerapkannya pada tiga semester. Adapun sekolah lain harus kembali ke KTSP. Keputusan itu berlaku mulai semester genap t.p. 2014/2015. Keputusan itu dibuat setelah melalui evaluasi oleh tim, termasuk Prof Suyanto mantan Dirjen Dikdas Kemendikbud RI di dalamnya.
Maka kebingungan tak terelakkan. Pasalnya, evaluasi dan hasilnya dibuat justru ketika K2013 sedang berada di pertengahan jalan (semester satu). Guru, kepala sekolah, dinas pendidikan, mungkin juga orangtua awalnya gagap menerima kebijakan itu. Jika pihak kementerian sebelumnya mengatakan bahwa menunda K2013 satu tahun sama artinya menunda kemajuan bangsa ini 10 tahun menuju generasi emas Indonesia pada tahun 2045. Kemendikbud yang sekarang melakukan kebijakan K2013 harus segera ditunda dulu sambil memperbaiki pola implementasi yang banyak mengalami kelemahan. Biasalah, birokrasi!
Sebelumnya, ada tiga opsi yang dibuat untuk mengambil keputusan tersebut. Pertama, menghentikan K2013; kedua, bagi sekolah yang baru satu semester menjalankan agar kembali ke KTSP pada semester 2 dan yang sudah menjalankan tiga semester agar melanjutkan; dan ketiga, melanjutkan K2013.
Reaktif
Keputusan yang diambil menteri adalah opsi kedua. Keputusan itu lalu menuai beragam tanggapan masyarakat. Sikap pro-kontra terpicu, polemik terjadi. Ada yang pro tapi juga ada yang kontra, yang reaktif mengatakan bahwa menteri pendidikan tidak tegas. Sekjen Federasi Serikat Guru Indonesia yang juga Kepala SMA Negeri 76 Jakarta Retno Listyatri mengatakan bahwa menteri tidak tegas menghentikan K2013. "Pembangkangan sejumlah kepala dinas dan kepala sekolah tak akan terjadi jika Anies berani memutuskan penghentian total Kurikulum 2013, termasuk 6.221 sekolah yang sudah lebih dahulu menggunakannya," tulisnya di harian nasional penghujung 2014 kemaren.
Kita tidak memahami semangat dan motivasi apa yang mendorong Retno agar K2013 dihentikan. Mengapa harus tidak dengan K2013? Secara eksplisit beliau menjadikan "pengaduan" sms dan akun facebook teman-temannya (sefederasi?) di daerah sebagai dasar opini terjadinya pembangkangan tadi. Tulisannya bernada "meletup-letup", banyak menggunakan konotasi negatif: menteri tidak tegas, kebijakan Mendikbud ambigu, LPMP kepala dinas pendidikan dan kepala sekolah membangkang, kepala sekolah tak berani membantah dinas pendidikan, sekolah belum memiliki sarana prasarana yang memadai memuluskan K2013, guru tidak paham, guru bingung, K2013 mengorbankan guru dan peserta didik, guru dan siswa ngotot tetap ingin menjalankan, K2013 bermasalah besar.
Tidak tegas dan ambigu? Bukankah dengan memilih satu opsi dari tiga opsi pemetaan keputusan dari proses evaluasi yang dilakukan adalah sikap tegas itu?
Orang selalu lebih mudah reaktif terhadap perubahan yang terjadi dengan pandangan serba skeptis negatif, misalnya dengan pernyataan: ganti menteri ganti kurikulum, sambil menggerutu tak berkesudahan.
Manajemen kolbu menggolongkan dua tipe orang yakni bertipe proaktif dan bertipe reaktif. Orang proaktif biasanya akan menyikapi perubahan dengan tenang. Perubahan dijalankan dengan ikhlas dan jika telah melakoninya maka dianggap sebagai ibadah. Pandangannya selalu optimis.
Namun manajemen kolbu itu tak mudah. Saat-saat awal K2013 diluncurkan, saat-saat awal memasuki masa pensiunnya di Kemendikbud, Prof Suyanto kembali mengajar di Universitas Negeri Yogyakarta. Beliau segera menulis opini bahwa katup K2013 itu adalah guru. Namun hingga saat tulisan ini dibuat, sesungguhnya manakah yang lebih banyak guru kita: yang bertipe proaktif atau yang reaktif terhadap K2013 itu?
Guru sudah dilatih meski belum semua karena jumlahnya juga tidak sedikit, demikian kepala sekolah, pendampingan juga telah dilakukan. Buku sudah dicetak dan dikirim ke sekolah meski ada keterlambatan karena negeri ini adalah negeri kepulauan yang terpisah-pisah. Budget pelatihan, pendampingan, buku teks K2013 itu luar biasa. Jika di sana-sini ada yang kurang, haruskah kurikulumnya yang mesti dihentikan apalagi secara total pula? Bunyi pasal 4 Permendikbud No. 160/2014: "satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah dapat melaksanakan Kurikulum 2006 paling lama sampai dengan tahun pelajaran 2019/2020." Artinya, toh setelah tahun itu, harus menjalankan K2013.
Banyak yang Tak Sama
Elin Driana, dosen pascasarjana Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka Jakarta, beropini bahwa KTSP dan K2013 banyak kesamaannya. Sudut pandang yang beliau kemukakan tentang kesamaan itu dilihat dari prinsip pembelajaran dan penilaian. Langkah pembelajaran saintifik versi K2013 menurutnya sudah ada di KTSP melalui kegiatan elaborasi, eksplorasi dan konfirmasi. KTSP juga menerapkan pembelajaran interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif, dan seterusnya. Kemudian, penilaian otentik melalui unjuk kerja, hasil karya, proyek dan produk sudah ada pada KTSP.
Tulisan beliau tampak berupaya menengahi pro-kontra yang terjadi. Namun di sisi lain, semangat untuk "tidak K2013" juga sangat terasa. Kenyataan adalah bukti yang tidak bisa ditepis bahwa selama era KTSP, guru sulit merancang dan menjalankan pembelajaran aktif sesuai konsep dan teori yang tertuang dalam Permendikbud Nomor 41 tahun 2007 itu. Prinsip pembelajaran yang konseptual tersebut tidaklah bisa dikatakan sama dengan langkah saintifik yang lebih jelas tahapannya melalui kegiatan: mengamati, menanya, mencoba, menalar dan melaporkan. Yang terjadi di mana-mana pada era KTSP adalah semangat meng-copy paste pembelajaran. Maka ada yang memplesetkan KTSP menjadi kurikulum tak siap pakai.
Sisi yang sama adalah, kedua kurikulum (KTSP-K2013) berbasis pada kompetensi. Itu benar. Kompetensi adalah sikap, pengetahuan dan keterampilan. Mengapa tidak disadari bahwa penerapan KTSP semenjak 2006 hingga 2012 lebih fokus pada ranah pengetahuan. Kita gelisah atas karakter dan sikap peserta didik yang doyan tawuran. Skill lulusan sudah lama dikeluhkan dunia usaha/kerja. Laporan hasil belajar peserta didik tidak dilakukan pada aspek sikap dan keterampilan secara serius.
Saya masih mengingat tulisan Renhald Khasali sebelum K2013 dilaunching tahun 2013. Beliau mengatakan bahwa rapor anak-anak kita sangat kering selama ini. Hanya berupa angka-angka yang tidak bisa menerjemahkan kompetensi anak didik. Beliau membandingkan dengan rapor siswa di Selandia Baru, orangtua secara komprehensif bisa melihat di mana kekuatan dan kelemahan anaknya. Ada deskripsi yang detail di rapor itu.
Agaknya hal itulah yang dilakukan pada laporan hasil pencapaian kompetensi peserta didik (rapor) versi K2013. Itu pulalah yang menuai banyak keluh-kesah guru kita di tanah air. Penilaian dicap sebagai njelimet dan tak mungkin dilakukan oleh guru. Guru menjadi tenaga yang fokus menangani administrasi penilaian, dan lain sebagainya.
Terkait pernyataan Elin mengenai rumusan kompetensi inti dan kompetensi dasar di K2013 yang mengandung kelemahan substansi dan logika, menimbulkan sejumlah pertanyaan. Mengapa tidak dilihat bahwa kompetensi dasar di KTSP juga sangat banyak yang tumpang tindih? Ketumpangtindihan terjadi dalam mata pelajaran bahkan antar mata pelajaran. Soal sarana prasarana penunjang yang dikeluhkan Retno, apakah dengan KTSP, sarana prasarana sekolah kita sudah cukup untuk memuluskan kurikulum yang dulu kerap diplesetkan sebagai kurikulum katesiape itu?
Mengapa pula tidak diindahkan bahwa penerapan K2013 ada sekolah yang merasakan dampak positifnya. Terjadi perubahan sikap dan karakter peserta didik sebagai aktualisasi pengamatan sikap yang rutin dilakukan pendidik.
Banyak pertanyaan yang bisa dilanjutkan untuk jawaban mengapa cenderung tidak dengan K2013? Jawaban-jawaban yang berimbang sangat penting agar pikiran, upaya, ikhtiar, tenaga, waktu dan biaya yang telah dikeluarkan untuk K2013 sudah sangat besar.
Meskipun saat ini kita melakukan K2013 dan KTSP, penting dilihat pasal 3 butir (2) Peraturan Dirjen Dikdas dan Dirjen Dikmen tahun 2014 jelas menyatakan bahwa "sekolah yang siap melaksanakan K2013 dapat mengusulkan untuk menjadi pelaksana K2013 kepada mendikbud melalui dinas pendidikan provinsi, kabupaten/kota sesuai kewenangannya."
Sayangnya kesiapan satuan pendidikan terkesan juga dipaksakan sebab sesuai informasi di media online, kesiapan sekolah harus sudah diverifikasi badan akreditasi nasional di 2 Januari 2015. Dan apapun kebijakannya, belakangan ini seingatnya tidak pernah disampaikan melalui surat resmi yang dikirimkan ke sekolah dan instasi pemerintah yang terkait. Semua kebijakan itu didapat melalui download internet!***
* Penulis Kepala Seksi Kurikulum dan Kesiswaan SMP Disdik Kota Medan