Menjadi “Lebih Tionghoa”

Oleh: J Anto. Identitas ke-tionghoa-an orang Tionghoa Indonesia dewasa ini seperti diaspora. Mimpi belaka jika ada pihak yang berani melakukan klaim tunggal bahwa ke-tionghoa-an Tionghoa Indonesia harus dilakukan lewat gerekan merebut kembali simbol dan bentuk kultural. Faktor demografi usia dan perkembangan lingkungan sosial yang berubah cepat salah satu faktornya.

Saya punya teman asal Semarang, Jawa Tengah. Asli orang Tionghoa. Dalam arti ayah ibunya orang Tionghoa, tak ada salah satu dari mereka yang berasal dari etnis atau suku lain alias melakukan “kawin campur” sesuai ajaran asimilasi rezim Orde Baru. Ia juga punya she atau marga, walau sudah lama tak dipakai akibat politik ganti nama.

Cukup lama ia merasa nyaman dengan identitas ke-tionghoa-an yang terbentuk oleh kultur Jawa yang dominan memengaruhinya itu. Saat bicara, logat bahasa Indonesianya sangat medok “semarangan”. Soal kuliner ia juga suka gemar menyantap tempe goreng, tempe bacem, gado-gado, atau nasi gudeg Jogjakarta.

Namun soal identitas ini berubah seiring kepindahannya ke Medan. Sudah satu dasawarsa lebih ia merantau dan tinggal menetap di Medan, walau orangtuanya masih mukim di tanah sebrang.

Suatu saat menjelang perayaan sincia (imlek), saya mampir ke rumahnya. Ada hal menyolok yang menyergap mata saya. Beberapa ornamen atau hiasan imlek tergantung dan menempel di dinding rumahnya. Tidak terkecuali dua tiga bola lampion menghiasi ruang keluarga. Pokoknya ruang keluarga teman saya itu sangat kental bernuansa budaya Tionghoa.

Beberapa buku yang mengupas tentang kebudayaan Tionghoa, sejarah negeri Tiongkok, cerita-cerita rakyat Tiongkok, sampai ajaran Konfusius teronggok di almari miliknya.

“Sejak tinggal di Medan, saya memang merasa wajib menghiasi rumah saya dengan ornamen atau hiasan yang bercorak ke-tionghoa-an,”tuturnya.

Sungguh menarik pernyataan ini.

Menjadi “lebih Tionghoa” bagi orang Tionghoa yang lahir dan besar di Jawa tampaknya belum cukup saat mereka harus tinggal, berdomisili, bergaul dan menjadi bagian dari komunitas Tionghoa Medan.

Tampaknya memiliki sepasang mata sipit dan kulit tubuh berwarna kuning langsat serta memilik nama Tionghoaa, masih “belum menjadi ukuran agar disebut Tionghoa” di Medan.

Maklum kebanyakan orang Tionghoa yang lahir dan besar di Jawa memang sudah sangat sedikit yang masih bisa menggunakan bahasa hokkian. Hanya sebagian dari Tionghoa totok, dan yang tinggal di kota-kota besar yang biasanya masih ada yang bisa menggunakan bahasa hokkian dan Mandarin.

Orang-orang Tionghoa di Jawa juga umumnya tak lagi akrab dengan bentuk-bentuk budaya ke-tionghoa-an seperti dalam hal berpakaian, saat melakukan ritual budaya berziarah ke bongpai (kuburan) bahkan dalam membudidayakan dan mengembangkan warisan kuliner yang di Medan terkenal sangat variatif dan lezat itu.

Dilema Minoritas Tionghoa

Saat seorang Tionghoa dari Jawa tak bisa menggunakan bahasa Hokkian dan Mandarin dalam pergaulan sehari-hari dengan orang Tionghoa Medan, maka terjadilah proses eksklusi. Dalam arti ke-tionghoa-an orang tersebut dianggap “tidak murni” lagi. Ada konsep kelas atau gradasi berdasar faktor bahasa di sini

 Sebaliknya saat orang Tionghoa Jawa itu berkomunikasi dengan orang non Tionghoa, katakan misalnya suku Batak, maka yang terjadi adalah proses inklusi. Orang Tionghoa Jawa itu akan dianggap sebagai bagian dari “orang kita”, “orang Indonesia”. Sekali lagi itu gara-gara identitas ke-tionghoa-annya, dalam hal ini bahasa Hokkian dan Mandarin tak lagi dikuasai si Tionghoa dari Jawa itu.

Begitulah “ke dalam ditolak”, “ke luar juga tak dianggap”. Inilah varian dilema minoritas yang harus dihadapi orang-orang Tionghoa yang “tengah berjuang merebut kembali identitas ke-tionghoa-an mereka” secara kultural.

Namun jika dicermati proses merebut identitas ketionghoaan Indonesia sebenarnya tidak berlangsung linear. Dua kali menghadiri pesta pernikahan anak muda Tionghoa di Medan, saya justru menemukan kasus bagaimana identitas ke-tionghoaan anak-anak muda di Medan sedang mengikuti atau terimbas arus budaya populer yang tengah mengglobal.

Dalam sebuah resepsi pernikahan yang diadakan di sebuah restoran, saya justru menjumpai sangat sedikit identitas ke-tionghoaan yang tercermin dalam dekorasi di panggung pengantin. Dekorasi di panggung justru didominasi ornamen-ornamen “barat”. Sang mempelai laki-laki saat melakukan prosesi pernikahan menuju ke arah panggung, bahkan terlihat “sangat barat”. Ia pria muda berambut gondrong dengan model njigrag a la rocker Rod Stewart, mengenakan jas dan pentalon serta hitam menggegam seikat kembang.

Sebuah tembang cinta mengalun dari bibir sang pengantin pria saat menyambut iring-iringan mempelai perempuan dan keluarganya. Dan lagi-lagi itu lagu (cinta) “Barat”, bukan lagu “Mandarin”.

Sebuah “kejutan” terjadi saat di atas panggung sepasang pengantin muda itu saling berciuman mesra selama beberapa detik. Pekik sorak gembira dan tepuk tangan menyeruak dari barisan meja undangan anak-anak muda.

 Di meja tempat saya duduk, sepasang suami isteri Tionghoa yang sudah uzur, segera memalingkan muka mereka tanpa mau melihat adegan yang direkam dan disiarkan langsung ke layar televisi yang menempel di dinding restoran itu. Saya tak tahu apakah dalam budaya resepsi pernikahan orang Tionghoa, adegan semacam itu lazim atau tidak.

 Yang jelas, sepanjang acara resepsi, penyanyi dan band musik yang meramaikan acara pesta lebih sering membawakan lagu-lagu barat dibanding lagu-lagu Mandarin, baik yang klasik maupun kontemporer. Kadang ada juga yang menyanyikan lagu Mandarin lawas Theresia Teng, semisal Tian Mimi, tapi itu lebih karena orderan dari pembawa acara kepada tamu undangan yang sudah berusia 50-an tahun ke atas.

Identitas ke-tionghoaan memang bak pisau bermata dua. Satu sisi ada pihak yang meyakini bahwa ke-tionghoaan harus dilakukan dengan cara merevitalisasi budaya Tionghoa seperti dalam hal busana yang harus dipakai, bahasa yang digunakan, atau penyelenggaraan pestifal-pestifal yang memperlihatkan bahwa ada bentuk kebudayaan Tionghoa di antara bentuk-bentuk budaya lain di negara Indonesia yang majemuk itu.

Kontes pemilihan Koko-Cici Jakarta yang diadakan sejak 2002 kerjasama pemerintah Jawa Barat dengan Ikatan Koko Cici (IKOCI), festival lampion, Festival kue bakcang, Festival Kue Bulan, Ceng Beng dan sebagainya adalah beberapa manifestasi semangat tersebut. Intinya ada proses peng-tionghoa-an lewat gerakan kultural.

Namun di sisi lain menjadi Tionghoa Indonesia sejatinya tak akan tanggal identitas ke-tionghoaannya jika saat berkomunikasi, si Tionghoa hanya menggunakan bahasa Jawa (Tionghoa di Jawa), Batak (Tionghoa di Tarutung atau Balige), atau Minang (Tionghoa di Padang).

Saat seorang perempuan Tionghoa tak bisa lagi membuat kue bakcang atau tak mau mengenakan cheongsam dan lebih suka mengenakan kebaya, tak berarti ia telah menanggalkan ke-tionghoa-annya.

Diperlakukan Sebagai Hoakiau

Saya punya satu cerita menarik. Seorang tokoh masyarakat Tionghoa asli kelahiran Medan, yang selama ini kental memelihara adat istiadat ke-tionghoaannya, suatu saat melakukan “ziarah batin” ke negeri Tiongkok.

Apa yang terjadi?

Di Tiongkok, negeri yang semula dianggap akan menuntaskan kerinduannya sebagai orang Tionghoa, justru memperlakukannya sebagai seorang hoakiau! Seorang Tionghoa perantauan yang dipandang sudah tercerabut dari akar budaya sebagai orang Tiongkok!***

Penulis adalah bekerja pada Kajian Informasi, Pendidikan dan Penerbitan Sumatera (KIPPAS)

()

Baca Juga

Rekomendasi