Mencari Malaikat Pengganti Samad

Oleh: Ir. T. Nevatuhella

Apa ada sosok orang Indonesia, usahlah seperti malaikat, satu tingkat  atau dua tingkat saja di bawah nabi, pun jadilah. Soalnya sosok dengan syarat beginilah yang memungkinkan memimpin suatu Badan atau Lembaga apapun namanya untuk memberantas korupsi di Indonesia. Korupsi sudah menggurita. Tak tanggung-tanggung. Dari pusat sampai ke daerah. Dari istana sampai jamban rakyat.

Di Arab sana, ada masa yang disebut sebagai masa Jahiliah. Di masa ini anak-anak perempuan yang lahir di bunuh. Takut sudah besar membuat malu. Anak laki-laki sangat diharapkan. Kalau besar dibawa berperang atau berkelahi untuk mempertahankan harga diri. Seorang laki-laki Arab kala itu dikatakan kuat dan berkuasa, jika punya banyak anak laki-laki, unta banyak, dan emas banyak. Mabuk-mabukan ciri kesenangan mereka. Perempuan dilecehkan.

Nah, di Arab inilah dilahirkan nabi Muhammad saw. Bertujuan untuk memperbaiki akhlak yang sudah rusak berat. Memang banyak masa kesuraman yang dilalui manusia dan kemanusiaan sepanjang bumi ini ada. Yang terakhir di abad ke 19 yang lalu, kekejaman Hitler membunuh bangsa Jahudi. Di Negara kita tahun 1965, ada pembantaian PKI.

Memang korupsi tidak langsung membunuh manusia. Tetapi mengurangi, bahkan meniadakan kesempatan hidup layak orang lain. Disebut-sebut, kita orang yang tinggal di wilayah kepulauan Nusantara sebagai sebangsa dan setanah air. Ini rupanya lips service saja. Kesenjangan ekonomi begitu besarnya.

  Yudi Latif, pemikir kebangsaan dan Kenegaraan, mengatakan bahwa, rakyat kini hidup dininabobokan oleh candu hiburan-hiburan dangkal, miskin fikir, yang disajikan secara intensif dan masif lewat siaran televisi (Kompas, Negara Sengkarut Pikir)

Benar adanya memang.  Masalah korupsi teredam oleh kesenangan duniawi ini. Seorang remaja dari keluarga miskin tak mengerti dan tidak mau tahu mengapa ia miskin. Ia bisa mengambil keputusan untuk dirinya agar tidak miskin. Ia bisa menjual dirinya, atau sekedar menjual senyumnya. Kita saksikan perempuan-perempuan di televisi memamerkan auratnya? Inilah salah satu ciri zaman Jahiliah di tanah Arab itu!

Maksud mengungkapkan masalah di atas untuk mengetuk hati para pemimpin kita. Bahwa akibat-akibat yang ditimbulkan kejahatan korupsi yang mereka lakukan sudah menyerupai zaman Jahiliah. Setiap pemeluk Islam, dan banyak kalangan hafal benar sifat dan ciri-ciri kejahiliahan. Ya itu tadi, anak perempuan diperjualbelikan.

Dimana lagi rasa malu kita? Masih setingkat lebih tinggi fikiran orang zaman jahiliah itu untuk membunuh anak perempuannya. Habis kalau besar buat malu. Ini perlu dikembangkan di tengah-tengah kaum elit dan intelektual kita. Sebabnya dampak ini sering tidak dilihat sebagai subjek yang menghancurkan hidup perempuan, sekaligus menempatkan laki-laki sebagai kaum yang bejat.

Kembali ke judul yang saya pilih. Memang sudah saatnya dicari bukan saja pemimpin lembaga korupsi yang sesuci malaikat, tapi juga pemimpin lainnya. Dan seandainya Abraham Samad berhenti, atau diberhentikan dari jabatan ketua KPK, rekrutmen ketua dan komesioner lainnya harus benar-benar manusia yang dikatakan para penegak hukum sebagai manusia setengah dewa. Nah, sekali lagi kita bertanya, apa ada manusia setengah dewa di negeri ini?

Sedih sekali kita. Kita sudah sengkarut fikir. Kita sudah berada di titik keraguan. Untuk berbuat baik saja kita selalu ragu di negeri ini. Marilah kita bersama-sama menyadari dengan sungguh-sungguh hakikat kehidupan yang berujung pada kematian ini.

Tantangan untuk Jokowi

Selama pemerintah tidak dapat memakmurkan rakyat, alias rakyat terus miskin. Pengangguran dan kelaparan, serta buta ilmu terus berkelanjutan. Kepercayaan rakyat terhadap pemimpin meragukan. Kejahatan akan terus berkelanjutan. Setiap orang terus dibayangi rasa takut dan rasa tak aman. Dan terlebih lagi para pelaku kejahatan. Bagaimana nyenyaknya tidur seorang koruptor, walau di sofa super modern sekalipun. Kehadiran KPK menjadikan seorang korupor mimpi buruk di setiap tidurnya. Makanya KPK tidak boleh dibekukan. Bahkan harus diperkuat.

Tantangan yang berat untuk Jokowi dalam mewujudkan cita-citanya mengembalikan marwah manusia Indonesia ke tempat terhormat. Manusia yang hidup berkelayakan. Para ilmuwan mengemban ilmunya untuk kesejahteraan manusia lain sebangsanya. Bukan untuk dirinya sendiri.

Korupsi itu melawan hukum. Seandainya Negara sudah maju, korupsi tetap dipandang sebagai melawan hukum. Ini baru persepsi yang benar. Bukan seperti yang dipersepsikan selama ini, korupsi merugikan Negara. Menyengsarakan rakyat semata.

Kebutuhan Socrates

Suatu hari Bapak Demkorasi ini pergi ke sebuah pasar yang sedang ramai. Selama berjam-jam ia memperhatikan kesibukan orang yang sedang berbelanja. Bersamaan, ia juga memperhatikan barang-barang yang dijajakan para pedagang.

Kembali ke rumah sang filsuf bergumam, “Ternyata sedikit sekali benda-benda yang kubutuhkan dalam hidup ini!” Nah, inilah jiwa dari anti-materialism. Coba kita bongkar barang-barang yang ada di rumah kita. Pakaian yang ada di lemari kita. Dan uang yang ada di rekening kita. Apa lagi ada istilah “rekening gendut”. Lucu. Banyak pejabat yang punya rekening gendut. Kalau yang setengah gendut, pasti jauh lebih banyak. Sebaliknya rakyat yang dipimpinnya, tak berekening sama sekali. Beras segantang pun selalu tak ada di rumah. Ikan segar yang dibeli di pasar bolak-balik ikan bijik nangka (ikan merah), dencis kecil-kecil, anak cencaru atau tamban yang kaya tulang. Ikan rakyat. Kalau yang namanya ikan gembung harganya Rp.35.000,- perkilogram, senangin harganya Rp.50.000,-perkilogram, bawal, udang kelong, kakap, ini ikan pemilik rekening gendut. Daging , protein hero yang rakyat hanya makannya setahun dua kali. Hari Raya Idul Fitri dan hari raya Idul Adha. Sedekahan si rekening gendut dan orang kaya lainnya. Pemerintah? Belum bisa menurunkan harga daging sampai terjangkau masyarakat.

Pemerintah harus melihat ini sebagai kenyataan pahit. Ibu Menteri Susi Pudjiastuti, seyogianya memikirkan bagaimana ikan-ikan  berkualitas (sebutan substantive saja) milik Negara bisa masuk ke perut rakyat. Hanya orang bodoh yang mau menukar makanannya dengan sebuah Hp yang jauh dari kebutuhan sebenarnya. Menteri Pertanian (peternakan) juga memikirkan bagaimana kita bisa jadi seperti Negara tetangga New Zealand (Selandia Baru), yang punya jumlah sapi satu banding tiga dengan jumlah rakyatnya. Setiap orang punya tiga sapi. Idealnya jumlah sapi Indonesia ada sekitar 500 juta ekor sapi.

Waktu terus bergulir. Zaman setiap datangnya melahirkan catatan-catatan. Tahun ini pemerintah menginginkan laju pertumbuhan ekonomi di 5,8 %. Mungkinkah? Ya bisa, kalau kita mau meniru persepsi “Bapak Demokrasi” Socrates tentang filosofi kebutuhannya.

Dan akhirul kalam, tentunya malaikat ataupun para nabi tidak sama dengan manusia biasa. Yang sudah menjadi kenyataan, bahwa Negara-negara kaya, korupsi sudah terkikis. Dan dulu-dulunya dimulai dari political will atau keinginan pemerintah yang kuat.***

Penulis adalah sastrawan, menetap di Tanjungbalai, Sumut

()

Baca Juga

Rekomendasi