Oleh: Hendri Koeinata
Suman mendekati Shella. “Kami memahami perasaanmu, Shella. Menyadari sesuatu secara terlambat itu memang sarat akan penyesalan. Betapa banyak kata-kata yang dilontarkan itu tak akan bisa mengembalikan keadaan seperti semula. Meskipun Budiman yang sekarang berbeda dengan Budiman yang dulu, kau tetap bisa membina kembali hubungan yang baru dengannya, bukan? Kau akan bisa membina ingatan dan kenangan yang baru bersamanya. Perlahan-lahan kita bisa menyembuhkan ingatan Budiman.”
“Sudahlah, Shella!” tukas Dewi. “Budiman butuh istirahat. Kau lebih butuh istirahat lagi, apalagi dengan kondisimu yang baru sembuh sekarang. Kau tak boleh terlalu lelah.”
“Tante Dewi! Bolehkah aku menginap di sini malam ini dan menjaga Budiman?”
Suami istri itu saling bertukar pandang. Suman hanya memberikan anggukan sebagai tanda persetujuan. Ini adalah masalah perasaan dan cinta anak muda. Dia tak berniat untuk mengatur serta ikut campur dalam masalah mereka. Dia memegang bahu istrinya. Dewi pun ikut mengangguk.
“Jangan terlalu lelah! Besok pagi kami datang lagi,” kata Dewi.
Sejurus kemudian, suami istri itu berlalu. Tinggallah Shella bersama Budiman di sana. Shella tersenyum hambar. Dia menidurkan Budiman kembali ke tempat tidurnya. Budiman menurut saja. Dalam hitungan detik saja, laki-laki itu telah berubah menjadi anak kecil yang lugu dan polos. Dia menyerahkan semua kepercayaannya ke tangan orang yang pertama kali dilihatnya.
“Aku tak tahu apa sebabnya tetapi aku merasa aku tak asing denganmu. Aku... sepertinya... aku... Sepertinya aku sudah sangat lama mengenalmu dan aku bisa percaya padamu sekarang... Shella...” kata-kata itu terputus-putus.
Terbitlah air mata Shella mendengar penuturan itu. Dalam hati, terbit lagi satu bilur penyesalan. Mengapa tidak sejak dulu ia mengiyakan permintaan Budiman? Mengapa tidak sejak dulu ia membuka matanya lebar-lebar dan menerima segala kenyataan yang ada? Mengapa ia justru sadar setelah semuanya terlambat?
“Mengapa kau menangis, Shella?” perlahan-lahan tangan Budiman terangkat dan dia menyeka ekor matanya. Dulunya, Shella akan berusaha menghindari belaian tangan laki-laki ini karena dia tak ingin memberinya harapan kosong. Namun, detik itu dia hanya berdiri mematung sambil terus membiarkan air matanya bercucuran.
“Tak apa-apa. Aku mau membeli makan malam dulu. Kau pasti sudah lapar, bukan? Aku akan membeli makanan kesukaanmu,” Shella tersenyum hambar.
Budiman mengangguk sambil tersenyum.
Shella melangkah keluar dan langkahnya berhenti tatkala dilihatnya bayangan Ridwanto di luar kamar itu. Dia berhenti sejenak. Dia membuang muka ke arah lain tanpa berusaha membaca bagaimana mimik wajah laki-laki itu sekarang.
“Shella! Bisakah kita bicara?”
Shella hanya bisa tersenyum halus. “Tidakkah kau sadar bahwa dalam enam tahun ini sudah ada banyak perubahan, Ridwanto? Aku sudah bukan Shella yang lemah seperti dulu lagi. Kau juga bukan Ridwanto yang dulu lagi. Terlebih lagi, Budiman juga bukan Budiman yang dulu lagi. Semuanya telah berubah...”
Sayup-sayup, Budiman mendengar kata-kata di luar kamar. Diam-diam dia melebarkan sedikit daun pintu dan menyimak inti percakapan itu.
“Benarkah semuanya sudah berubah?” tanya Ridwanto pasrah.
“Aku bersyukur pernah difitnah oleh Paramita, Ridwanto. Aku juga bersyukur pernah dijebloskan ke penjara atas apa yang tak kulakukan. Aku bersyukur pernah menjadi buta dan bisu,” air mata mulai berkumpul. “Aku juga bersyukur aku pernah terjepit di antara dirimu dan diri Budiman. Kau tahu mengapa? Karena posisiku dulu itulah, aku sekarang bisa menentukan pilihanku.”
“Tak bisakah kau melupakan semua masa lalu, Shella?” Ridwanto masih mencoba dengan berbagai upaya. “Aku tahu aku memang salah dalam menilaimu selama enam tahun ini dan kekeliruanku itu telah memisahkan kita selama enam tahun. Sekarang aku sudah mengetahui segalanya, Shella. Mataku telah terbuka lebar. Tak bisakah kau memberikan satu maaf untukku?”
“Tak ada yang perlu dimaafkan, Ridwanto. Aku tak membenci siapa-siapa,” Shella tersenyum hambar. Runtuhlah pertahanan Ridwanto sekali lagi. “Tadi aku sudah mengatakan bahwa aku sudah menentukan pilihanku bukan? Percayalah, Ridwanto! Aku sungguh tak membenci siapa-siapa– bahkan Paramita sekalipun. Tak ada yang perlu disalahkan karena masing-masing di antara kita memiliki penderitaan sendiri-sendiri. Hanya saja, dalam kurun waktu ini aku terus berpikir.... Jika memang ada begitu banyak permasalahan dan jurang yang memisahkan kita terus-menerus, itu berarti kita sama sekali tak berjodoh, bukan? Untuk apa aku terus memaksakan diri terhadap hal yang tak mungkin?”
“Shella!” panggil Ridwanto lagi.
Shella langsung menginterupsi. “Sungguh! Aku tak membencimu. Aku hanya kecewa dengan jodoh dan cinta kita dulu. Kejadian dalam kebakaran tadi, kejadian ketika Budiman hampir mengorbankan nyawa demi menyelamatkanku membuatku sadar siapa sebenarnya yang kucintai. Selama ini aku hanya hidup dalam dunia maya. Aku sudah menjatuhkan pilihan, Ridwanto. Sayang sekali, pilihanku itu bukan kau...”
Sambil tersenyum hambar, Shella berlalu. Tinggallah Ridwanto seorang diri di sana. Saking kesalnya, dia meninju dinding semen koridor rumah sakit sampai tangannya berdarah. Tawa dan tangis yang bercampur baur meledak keluar disertai dengan air mata menetes sebutir demi sebutir. Tenggelamlah dirinya dalam kesepian tak berbatas.
***
Shella melangkah masuk ke kamar sambil membawa beberapa bungkus mi kesukaan Budiman. Dia terheran-heran sejenak melihat Budiman berdiri menghadap jendela masih dengan jarum infus yang menancap pada pergelangan tangan.
“Mengapa kau bangkit dari tempat tidur? Kau 'kan belum sembuh total, Budiman? Ayo! Berbaringlah lagi...” Shella menuntun lelaki itu ke atas tempat tidur.
Kebingungan menyapa pantai sanubari Budiman. Dia sudah berusaha mengorek ingatannya tentang gadis yang menuntunnya ini tetapi, berkali-kali dia mencoba, usahanya malah berakhir ke kepalanya yang berdenyut-denyut. Namun, di balik semuanya itu dia merasakan kebahagiaan yang luar biasa. Detik ini juga, dia merasa seolah-olah dia penguasa sekaligus raja dari dunia cinta. Mampukah dia menerima Shella ke dalam hidupnya seperti yang didengarnya tadi? Mampukah dia menjalani semua ini di saat dia sendiri saja bahkan tak yakin terhadap dirinya sendiri? Budiman memutuskan untuk tak mengatakan apa-apa lagi mengenai percakapan yang didengarnya tadi.
“Bisakah kau menceritakan tentang masa laluku, Shella?” tanya Budiman setelah dia duduk di atas tempat tidurnya. Tangan Shella terdiam sejenak.
“Katakan saja! Aku siap menerima semuanya kok...” Budiman berusaha tersenyum.
Pandangan Shella mulai menerawang. “Dulu kita berdua sangat dekat. Namun... karena kebodohan dan ketololanku, berkali-kali aku mengecewakanmu... Maafkan aku, Budiman! Berkali-kali aku mengecewakanmu dan menenggelamkanmu dalam penderitaan dan sakit hati. Sekarang, demi menyelamatkanku, kau menjadi seperti ini. Aku rasa seumur hidupku ini aku takkan bisa membalas semua pengorbananmu...”
Air mata bercucuran lagi.
“Jangan menangis, Shella...”
“Mungkin inilah pembalasan yang harus kuterima. Aku tak tahu berapa banyak sudah air mata yang kau curahkan demi aku. Sekarang aku juga akan meneteskan banyak air mata demi dirimu. Kelak, mungkin aku yang akan kecewa karena dirimu. Namun, aku siap menjalani semua itu...”
“Maafkan aku, Shella... Aku benar-benar tak tahu harus berkata apa sekarang karena terhadap diriku sendiri saja, aku tak yakin.... Aku bimbang dengan hidupku sekarang. Aku bagaikan tersesat di tengah-tengah samudera luas tanpa sedikit pun sandaran dan pegangan hidup. Namun, dengan keadaan sekarang, bisakah kau membantuku melihat ke depan dan jangan pernah melihat ke belakang lagi?” tangan tetap bertumpu pada wajah si wanita. “Bisakah kita menganggap semua masa lalu hanya sebagai penebusan dosa? Bisakah kita mengucapkan selamat tinggal pada masa lalu?”
Shella mengangguk sambil meneteskan berjuta-juta air mata.
“Bolehkah aku memintamu memelukku?”
Budiman meraih wanita itu ke dalam pelukannya dan membelai-belai rambut si wanita.
“Dulu ketika aku sedih, kau pasti hendak memelukku. Namun, aku selalu menghindar waktu itu, Budiman. Akhirnya... kau akan berakhir dalam kekecewaan lagi. Jika aku tahu bahwa pelukanmu sehangat ini, aku sudah bisa memilikinya sejak dulu... Memikirkan betapa banyak kekecewaan yang kudatangkan padamu dulu, sungguh sakit bukan main perasaanku...”
Perlahan-lahan, Budiman mengangkat wajah Shella dan mendekatkan wajah wanita itu ke wajahnya.
“Aku ada satu permintaan lagi, Shella.”
Shella menunggu dengan penuh harap.
“Bisakah kelak kau jangan mengecewakanku lagi?”
“Bisa... Aku akan berusaha semampuku...”
Budiman tersenyum. Dia meraih kembali Shella ke dalam pelukan. “Sudahlah! Jangan dipikirkan lagi. Jangan terlalu serius membawa diri ke dalam segala bentuk kekecewaan yang kau ceritakan tadi. Tanyakan pada diri kita sendiri apakah kita memang berjodoh atau tidak. Waktu akan membuktikannya, Shella...”
Shella mengangguk lagi.
“Maafkan aku... Shella... Sekarang ini aku sungguh tak bisa menjanjikan apa-apa padamu...” Budiman terus membelai rambut sang putri.
Shella mengangguk terus. “Tak apa-apa... Dengan keadaan sekarang ini saja, aku sudah merasa puas. Konon, ada batas tipis di antara surga dan neraka. Apabila kita berhasil menembus batas itu, kita akan mencapai surga, Budiman...! Kupastikan kita akan menembus batas itu.”
Tak terasa, Matahari mulai menampakkan diri di ufuk timur–masih pudar, tapi menjanjikan pagi dan hari yang cerah. (TAMAT)
***
Juli 2009











