Pentingnya Melestarikan Bahasa Daerah

Oleh: Suadi

Ada sebuah kekayaan luar biasa yang tanpa kita sadari perlahan lenyap dan punah di negeri ini. Yaitu bahasa daerah. Bahasa daerah adalah kekayaan terakhir sebuah bangsa sebagai bukti adanya peradaban, seni dan budaya bahkan eksistensi bangsa itu sendiri yang diwariskan baik secara lisan maupun tulisan. Kondisi terancamnya bahasa daerah mendorong Badan Unesco PBB menetapkan tanggal 21 Februari sebagai hari bahasa daerah internasional. 

Menurut data Organisasi Pendidikan, Keilmuan dan Kebudayaan PBB (Unesco: United Nations Education, Social and Culture Organization) pada 2014 menyebutkan bahwa sebanyak 3000 dari 6000 bahasa di dunia hampir punah, sebagian besar milik etnis minoritas (Republika, 24/9/14).

Menurut Direktur Unesco Sheldon Shaefffer bahwa 96 persen dari bahasa yang hampir punah (3000 bahasa) itu hanya digunakan oleh 4 persen populasi dunia. Lebih parahnya menurut data dari Ethnologue Languages of the World melaporkan bahwa untuk kawasan Asia Tenggara terdapat 527 bahasa terancam hampir punah.

Sedangkan di Indonesia menurut hasil penelitian Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bahwa dari 746 bahasa daerah yang ada di tanah air sebanyak 169 bahasa terancam punah dengan kondisi jumlah penutur di bawah 500 orang, sudah tua-tua serta tidak ada generasi muda pengganti dan berada di lokasi terpencil.

Fungsi Bahasa Daerah

Sebagian besar masyarakat Indonesia menjadikan bahasa daerah sebagai bahasa ibu. Di samping itu ia juga berfungsi sebagai bahasa budaya, bahasa pemersatu intra-etnis, mempererat keakraban serta untuk mengetahui sejarah dan bukti peninggalan nenek moyang dalam bentuk perangkat bertutur. Bahasa daerah memegang peranan penting sebagai indentitas, ciri khas, alat komunikasi, dan instrument selama berabad-abad hingga ribuan tahun lewat lisan dan tulisan. 

Beruntung bagi anak yang lahir dari keluarga yang membiasakan berbahasa daerah dalam aktivitas sehari-hari di rumah. Misalnya kedua orantuanya suku Batak Mandailing dan berbicara Bahasa Batak Mandailing dalam keseharian, otomatis anaknya akan lancar, fasih dan paham aturan budaya, adat dan seni dalam suku Mandailing.

Begitu pula yang suku Jawa, Melayu, Aceh, Karo dan lain-lain. Ketika si anak tumbuh besar, dia tidak saja menguasai bahasa daerah yang diterimanya di rumah dan lingkungan sosial masyarakat, tetapi juga akan fasih menguasai Bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional yang didapat di bangku sekolah TK, SD, SMP, SMA hingga perguruan tinggi.

Jadi sangat dianjurkan bagi para orangtua untuk membiasakan anak berkomunikasi dengan bahasa daerah. Jangan pernah takut atau khawatir anak akan gagap berbahasa Indonesia gara-gara sejak kecil lebih dibiasakan bahasa daerah, karena lambat laut si anak akan cepat belajar bahasa Indonesia di lingkungan sosial sekolah dan masyarakat.

Sangat disayangkan kadangkala ada anak memiliki marga Batak, tetapi tidak bisa bahkan tidak tahu bahasa daerahnya sendiri. Juga ada siswa atau mahasiswa mengaku bersuku Jawa tetapi sama sekali tidak bisa memahami apalagi menuturkan Bahasa Jawa baik Kromo maupun Ngoko. Begitu pula yang Karo, Aceh, Melayu dan lain-lain.

Hal ini banyak dijumpai baik di kota maupun di desa. Sudah bisa diprediksi bagaimana generasi selanjutnya ketika si anak menikah dan memiliki anak, otomatis anak keturunannya sehari-hari tidak berkomunikasi dengan bahasa daerah. Lambat laun bahasa daerah pudar, terlupakan, adat istiadat dan budaya dianggap kuno dan dipandang ketinggalan zaman.

Tentu, kita tidak ingin hal itu terjadi. Jadi, seorang anak fasih dan lancar berbahasa daerah dan budaya serta adat istiadatnya sangat dipengaruhi lingkungan keluarga (ayah, ibu dan anggota keluarga) dan lingkungan masyarakat.

Fasih Dwi-Bahasa

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan memang sudah mengintruksikan integrasi bahasa daerah dalam mata pelajaran muatan lokal di sekolah-sekolah. Namun, jika mengandalkan pihak sekolah dalam menjaga kelestarian bahasa daerah maka kecil sekali kemungkinannya membuat siswa fasih, lancar berbahasa daerah dan mengerti seni dan budaya sukunya sendiri. 

Di samping itu komunitas seni dan budaya yang melestarikan bahasa, budaya, dan bahasa dalam pentas, sastra maupun bentuk lain juga belum cukup bila pengaruh dalam keluarga dan lingkungan sosial masyarakat tidak kuat dalam berbahasa daerah.

Meskipun usaha tersebut mulia, namun juga harus bekerjasama dengan orangtua siswa di mana memiliki pengaruh lebih besar dalam pembentukan bahasa daerah si anak dalam hidup sehari-hari.

Banyak contoh bahasa daerah yang musnah akibat tidak dilestarikan. Seperti di Papua bahasa Bonerif, Mafia, Saponi, di Sumatera bahasa Lom, di Sulawesi bahasa Dampal, Bahonsai, Baras dan Budong-Budong. Di Kalimantan Bahasa Punan Merah, Lengilu, Kareho Ureng di Maluku Bahasa Hukumina, Nakaela, Hoti Hulung dan lain-lain.

Jadi, membiasakan diri kita berbahasa daerah membawa nilai plus. Di samping fasih berbahasa daerah, juga fasih berbahasa Indonesia. Terlebih bila juga menguasai bahasa asing seperti Bahasa Inggris, Arab, Mandarin, Jepang, Prancis dan sebagainya.

Jadi tidak hanya tangkas dan akrab bersosialisasi bersama keluarga besar dan masyarakat sekitar dengan bahasa daerah, tetapi juga fasih berkomunikasi dalam forum resmi di masyarakat, sekolah dan dalam kebutuhan formal dengan bahasa Indonesia. Serta juga aktif dan berpartisipasi dengan Bahasa Inggris.

Terpenting adalah tahu di mana tempat dan kondisi dalam mempergunakan bahasa baik bahasa daerah, bahasa nasional Indonesia maupun bahasa asing. Tentunya menguasai bahasa daerah sebagai bentuk menjaga kelestarian kekayaan bahasa daerah di Indonesia.***

Penulis alumnus UMSU Medan, Mahasiswa S2 Bahasa Inggris Universitas Negeri Semarang.

()

Baca Juga

Rekomendasi