Sekitar lima belas tahun yang lalu, Dr. Al Cooper, kordinator survei di San Jose, California, yang membidangi seluk- beluk seksualitas, menyimpulkan bahwa sekitar 6,5 persen pengguna internet ternyata penggemar cyberseks berat yang mempunyai daya fantasi tinggi tentang imajinasi erotis. Justru mereka inilah yang bisa berpotensi kehidupan seksual yang sebenarnya. Tujuan awalnya untuk meningkatkan daya seksual justru, katanya, bisa menjadi kontra produktif. Gilirannya akan mengganggu hubungan suami-istri bila memang sudah berpasangan.
Tujuan ilmuwan itu tiada lain untuk melihat, sekaligus mengidentifikasi, dampak dari mereka yang sudah ketagihan cyberseks.
Surveinya dilakukan melalui internet juga, yaitu melalui situs MSNBC. Jadi setiap orang yang mengeksesnya bisa sekaligus sebagai responden.
Dari puluhan ribu jawaban jajak pendapat yang dikirimkan ke sana, ia mempelajari jawaban dari sekitar tujuh ribu responden pria. Ia pun memperoleh jawaban dari segmen yang lebih kecil, 384 responden, yang dicurigai mempunuai masalah seksual. Mereka mengakui tidak bisa melepaskan dari kegiatan cyberseks yang ia lakukan sampai 5,7 jam per minggu. Dengan kata lain, dua kali lebih banyak ketimbang mereka yang mengikuti jajak pendapat.
Aktivitas mereka cukup beragam dalam dunia internet. Terbanyaknya menjelajahi situs porno, sekaligus berchatting seks. Demikian ujar Cooper. Ia pun menjelaskan bahwa mereka mengaku mengakses seks melalui internet itu bertujuan untuk melepaskan stres, bukan mencari hiburan atau informasi seks lain.
Sayangnya, lanjut Cooper, Mereka melarikan diri dengan mendekatkan diri pada cyberseks, bukannya bersosialisasi dengan pihak yang dianggap bisa meringankan bebannya. Padahal banyak jalan untuk mengatasi problem psikis tersebut. Tetapi katanya, apa yang mereka nikmati itu tidak selalu ditindaklanjuti dalam kehidupan nyata.
Mungkin saja mereka menikmati tontonan seks yang tidak wajar, seperti hubungan seks dengan binatang, secara massal, atau sesama jenis. Namun kebanyakan tidak ingin melakukannya dalam kehidupan mereka sendiri. Demikian ujar Cooper. Ini menunjukkan adanya perbedaan kehidupan online (cyberseks) dengan offline (kehidupan nyata). Katanya, internet mungkin tidak membuat orang untuk mencoba-coba yang tidak wajar. Namun fantasi yang ditinggalkannya akan mengganggu dana menimbulkan beragam anggapan keliru tentang orang lain, termasuk perilaku seksualnya.
Jangan-jangan orang yang seharusnya layak, serta menjanjikan prospek seksual dalam kehidupan berumah tangga, tetapi karena imajinasinya sudah dirusak oleh ketagihan cyberseks, sehingga dikesampingkannya.
Gangguan hubungan seks dengan pasangan di rumah akibat cyberseks akan mulai kelihatan saat seseorang tidak bisa melepaskan diri dari aktivitasnya itu. Atau lebih senang bercumbu dengan komputer ketimbang aktivitas seksual dengan pasangannya di rumah.
Kenyataan yang ditemui sang peneliti itu ialah respoden yang dicurigai memiliki ketergantungan cyberseks ternyata berkurang aktivitas seksnya dalam kehidupan nyata. Seakan-akan mereka mempunyai dua kehidupan seksual yang berlainan.
Data statistik Desember 1999-Pebruari 2001 memperlihatkan bahwa pengunjung situs seks mengalami kenaikan hit (jumlah) sampai 27 persen lebih, tepatnya 28 juta. Sedangkan situs belanja, yang populer dengan sebutan e-commerce, hanya mengalami kenaikan separo untuk kurun waktu yang sama
Ia memperkirakan, jumlahnya akan terus bertambah. Karena itu, ia menjanjikan untuk memperluas penelitian dan pengkajiannya. (Nasrullah Idris/bbs)