Sosio Antropologi Batak dalam Lagu Nahum Situmorang

Oleh: Fadmin Prihatin Malau. Lebih diingat 14 Februari itu sebagai Hari Valentine daripada hari lahirnya Nahum Situmorang. Ternyata masih banyak masyarakat Sumatera Utara belum mengenal Nahum. Banyak orang yang hapal syair lagu-lagu Nahum Situmorang, tapi tak tahu siapa Nahum.

Lagu Nahum terus bersenandung, menghibur banyak orang. Pergi saja ke tempat karaoke pasti disenandungkan lagu ciptaan Nahum Situmorang. Lagu popularnya “Anakhonhi do Hamoraon di Au.”

 Lagu bernada gembira ini artinya anakkulah harta kekayaanku yang terutama. Menggambarkan kehidupan masyarakat Batak yang gigih bekerja untuk anaknya. Karena anak adalah harta paling berharga.

Nahum tidak dikenal. Lagu ciptaannya disenandungkan, menghibur banyak orang dan bersahabat di telinga. Lagu “Modom ma Damang Ucok,” lagu yang banyak dinyanyikan orang. Lagu bercerita tentang kesedihan seorang ibu menghibur anak lelakinya, karena ditinggal suaminya.

Lagu yang acapkali disenandungkan ketika acara pesta, “Boasa Ingkon Saonari Ho Hutanda.” Lagu kesedihan hati seorang lelaki yang jatuh cinta sama wanita yang telah menjadi milik orang lain.

Nahum Situmorang seharusnya pantas dikenal sebab mempunyai jasa untuk bangsa dan negara. Proses kreatifitas Nahum dalam melahirkan lagu sangat universal. Musiknya berkolaborasi dengan berbagai aliran musik akan tetapi lirik-lirik lagunya menggambarkan filosofi masyarakat Batak.

Lengkap digambarkan Nahum Situmorang dalam lagunya tentang masyarakat Batak. Gambaran etnis Batak tentang anak, perjuangan orangtua kepada anaknya dan jalinan asmara dalam masyarakat muda-mudi Batak.

Hebat di Zamannya

Nahum Situmorang, bukan orang sembarangan. Bukan anak jalanan, tapi pemuda hebat pada zamannya. Nahum Situmorang, anak kelima dari delapan bersaudara lahir di Sipirok, Tapanuli Selatan, 14 Februari 1908.

Ayahnya bernama Kilian Situmorang, berasal dari Desa Urat, Samosir. Sebuah kampung di tepi Danau Toba, seorang guru sekolah berbahasa Melayu yang merantau ke Tapanuli Selatan.

Hebat pada zamannya karena Nahum Situmorang usia remaja telah menginjakkan kakinya di Pulau Jawa. Pada zaman itu sesuatu yang luar biasa, pergi ke Pulau Jawa untuk bersekolah di “Kweekschool” Gunung Sahari Jakarta.

Selesai dari Kweekschool Jakarta melanjutkan pendidikan di Lembang, Bandung dan lulus tahun 1928. Semasa bersekolah di Lembang, Bandung itu Nahum belajar musik. 

Selesai pendidikan Nahum kembali ke Sibolga, ibukota Keresidenan Tapanuli dan menjadi guru “H.I.S Bataksche Studiefonds,” dari tahun 1929 sampai 1932. Kemudian tahun 1932 pindah ke Tarutung menjadi guru “Instituut voor Westers Lager Onderwijs” sampai sekolah itu ditutup Belanda.

Boleh jadi ditutupnya “Instituut voor Westers Lager Onderwijs” Nahum pergi ke Medan. Kemampuannya bernyanyi dan mencipta lagu berkembang. Suara dan lagu ciptaannya disenangi banyak orang. Nama Nahum Situmorang berkibar kala itu.

Nahum sangat produktif, dalam kurun waktu 1942-1945 lebih dari 200 judul lagu diciptakannya. Lagu-lagu itu dikumpulkan sahabatnya Jan Sinambela. Nahum terus berkarya dan membuka usaha rumah makan masakan Jepang bernama Sendehan Hondohan.

Boleh jadi juga karena masakan Jepang, maka ketika Jepang meninggalkan Indonesia rumah makan itu tidak ada pembeli, akhirnya ditutup. Nahum menjadi pedagang permata dari kota ke kota, dan terus mencipta lagu. Perjalanan dagangnya Sidempuan, Sipirok, Sibolga, Tarutung, Siborongborong, Dolok Sanggul, Sidikalang, Balige, Parapat, Pematang Siantar, Berastagi dan Kabanjahe.

Berdagang permata diakhirinya tahun 1949, Nahum menetap di Medan menjadi broker jual-beli mobil. Nahum tetap bernyanyi dan mencipta lagu. Menetap di Medan membuat Nahum bisa aktif mengisi acara musik di Radio Republik Indonesia (RRI) Nusantara III bersama kelompok bandnya.

Pada saat menetap di Medan (1950-1960), tahun 1960 Nahum bersama rombongan musiknya tampil di Istana Presiden Indonesia Jakarta. Mereka mengisi acara-acara instansi pemerintah. Kemudian juga diundang tampil di kedubes-kedubes asing.

Lagu ciptaan Nahum Situmorang digemari banyak orang. Jauh dari bonapasogit membuat tema lagunya tentang kerinduan kampung halaman, nasihat, filosofi, kehidupan anak manusia masyarakat Batak.

Lagu ciptaan Nahum Situmorang memiliki daya imajinasi tinggi, sangat imajinatif dan estetis dalam mengungkapkan perasaan manusia. Hebatnya, Nahum Situmorang mampu mengangkat sosio-antropologis masyarakat Batak yang membangkitkan kerinduan akan kampung halaman.

Lagu “Ketabo-ketabo,” menceritakan muda-mudi di Sipirok ketika musim buah Salak. Lagu “Lissoi-lissoi” mengangkat suasana lapo tuak yang penuh persaudaraan dan lagu “Lissoi-lissoi” sampai kini tetap disenangi.

Cerita kecintaan alam bonapasogit dalam lagu “Rura Silindung” menceritakan daerah Tarutung yang damai di pebukitan. Nahum Situmorang juga melihat alam Danau Toba yang harus dijaga dan sampai kini terus berkumandang karena tetap aktual. Lagu “O Tao Toba” mengingatkan semua orang tentang Danau Toba. Lebih ingat lagi dengan lagu “Pulo Samosir.” 

Bila dua lagu ini disenandungkan maka lengkap menggambarkan keindahan Danau Toba. Nahum Situmorang, kini sudah tiada, meninggal dunia 20 Oktober 1969 lalu. Nahum Situmorang mendapat Piagam Tanda Penghormatan dari Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) pada 10 Agustus 2006.

Sebelumnya Nahum Situmorang telah mendapat Piagam Anugerah Seni dari Menteri P&K, Mashuri, pada 17 Agustus 1969. Seharusnya masyarakat Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya, mengenal Nahum Situmorang.

Penulis; Dosen Fakultas Pertanian Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara (UMSU) Medan, mantan sekretaris Majelis Kebudayaan PW Muhammadiyah Sumatera Utara

()

Baca Juga

Rekomendasi