Menanti Orang Bersih Datang ke Klenteng

Oleh: Adelina Savitri Lubis.

LANGIT-LANGIT klenteng ini, beralaskan rumbia. Bangu­nan­nya terbuat dari papan dicampur triplek. Lantainya tanah. Sisi ka­nan dan kiri di pintu masuk klenteng, dihiasi hio-hio kecil dan kertas sembahyang yang diletakkan di dalam baskom. Melirik ke atas pada sisi kanan pintu masuk klenteng, lilin dan hio bersanding mengawal sepiring makanan persembahan; berupa tulang, daging dan buah.

“Tak perlu buka sepatu, masuk saja. Tidak apa-apa,” seru Akiat, pen­jaga klenteng.

Sebuah dipan ibadah tampak di dalam klenteng. Tiga patung dewa berdiri di bagian paling atas dipan. Dewa Sun Wu Kong (kera sakti) di­apit bersama Dewa Langit dan Dewa Bumi. Disinilah warga etnis Tionghoa yang mengimani Dewa Sun Wu Kong melakukan ibadah ha­rian.

“Disini tak banyak pengikutnya. Warga di sekitar sini juga ada be­be­rapa. Pengikut dari luar Kota Medan cukup banyak. Jakarta salah satunya,” beber pria 47 tahun ini.

Klenteng yang berlokasi di Jalan Pamah arah Namorambe, tak jauh dari Pajak Delitua ini, cukup memprihatinkan. Jangan salah, Akiat bi­lang ini bukan disengaja. Memang begitu keadaannya. Menurut pria bertubuh kecil ini, dia sudah menjaga klenteng ini sepanjang usianya sampai saat ini. Usia klenteng ini sudah hampir 50 tahunan lebih dan kondisinya seperti itu sejak dibangun.

Sayang Analisa tidak beruntung bertemu dengan juru kunci klenteng ini. Kata Akiat sang juru kunci klenteng sedang berada di Kota Medan. Sangat jarang datang ke klenteng. Akiat hanya menjaga klenteng ini. Katanya, klenteng ini tidak tersentuh tangan dermawan sejati.

“Ada yang kasih bantuan kesini, tapi ditolak. Karena tidak sesuai dengan yang diinginkan Dewa Sun Wu Kong,” bilang bapak empat orang anak ini.

Hanya orang bersih yang bisa menyumbang klenteng ini, sam­bung­nya. Jadi bukan sekadar punya uang banyak saja. Kalau tidak bersih, sumbangan tidak diterima. Hanya Dewa Sun Wu Kong, yang menen­tukan siapa yang boleh menyumbang klenteng ini.

“Katanya ada. Sebentar lagi akan ada orang bersih yang menyum­bang klenteng ini,” ungkapnya.

Sun Wu Kong adalah seorang Dewa Pelindung Anak-anak terutama mulai umur 3 (tiga) sampai 7 (tujuh) tahun, sebab pada usia tersebut anak sedang nakal-nakalnya. Periode perkembangan ini disebut “Ma­sa Kenakalan Kera” (sebutan ini populer di Taiwan dan Propinsi Fujian). Dengan perlindungan Sun Wu Kong, anak -anak akan selamat melewati masa ini. Kalau ada anak-anak dalam usia tersebut yang ter­kejut lalu jatuh sakit, nafsu makan tidak ada, orang tuanya segera pergi ke altar pemujaan Sun Wu Kong untuk memohon kesem­buhannya.

Perayaan hari besar Sun Wu Kong atau dikenal juga dengan se­bu­tan Qi Thian Tay Seng atau Sun Go Kong atau Tay Sheng Hudco adalah hari ke 16 bulan Delapan perhitungan kalender Tionghoa (Pek Gweek Cap Lak). Sun Wu Kong lahir dari sebuah batu besar di gunung Hua Guo Shan. Kelahirannya menimbulkan sinar terang yang meman­car sampai ke kahyangan. Peringatan hari ulang tahunnya tanggal 16 bulan 8 dan tanggal 12 bulan 10 Imlek.  Bahkan Mantan Presiden China Mao Ze Tung juga pernah memuji jasa-jasa Sun Wu Kung yakni ‘yang tidak mempunyai rasa takut dalam berpikir, bertindak, berusaha keras terhadap tujuan dan membebaskan Tiongkok dari kemiskinan.’ Di Tai­wan, ada beberapa kelenteng yang memujanya, tapi yang paling ter­kenal adalah di Wan Fu Yan (Ban Hok Am - Hokkian), sebuah ke­lenteng dengan pendeta-pendeta yang terdiri dari kaum wanita. Di Malaysia dan Singapura, juga ada demikian juga di Indonesia.

Di Sumatera Utara, salah satunya klenteng yang tak bernama ini. “Bilang saja klenteng di Pamah, Namorambe,” sahut Akiat.

Tak jauh dari sana, masuk saja ke gang Kebun Sayur, Pamah, Namorambe. Hampi 90 persen warganya beretnis Tionghoa. Se­perti Rabu (18/2) lalu, warga di Gang Kebun Sayur tampak meriah me­nyambut imlek 2015. Geliat aktifitas di beberapa rumah yang tampak aktif menyambut tahun baru Tionghoa. Beberapa bocah laki-laki di salah satu rumah, tampak memasang hio panjang di empat sudut ha­laman rumahnya. Tak jauh darinya, sang ibu melipat kertas hio yang diletakkan dalam baskom kaleng. Dari balik pintu, mengintip ke dalam rumah, seorang lelaki paruh baya terlihat sedang membakar kertas hio di dalam baskom kaleng. Sesekali tangannya menghalau asap yang muncul berasal dari kertas hio yang dibakar.

Memang tak jauh dari sana, ada sebuah klenteng yang letaknya di antara rumah warga. Aktifitas di klenteng itu, lebih kentara dan ramai. Sejak pagi cukup banyak warga yang hilir mudik memasuki dan keluar dari klenteng itu. Sisi lain selain sebagai tempat ibadah, klenteng ini juga membuka pelayanan pengobatan. Orang menyebutnya daerah ini sebagai kampung orang Tionghoa, karena hampir seluruh warga yang tinggal di gang ini adalah warga Indonesia keturunan etnis Tionghoa. Aroma khas hio yang dibakar tampak mewarnai setiap ru­mah di kampung ini. Tak ada rumah megah disini. Apalagi rumah bergarasi dengan mobil berkelas mewah. Rumah-rumah yang ada di­sini, rumah khas perkampungan. Tak semua bangunan rumah ter­bu­at dari batu. Masih ada juga yang terbuat dari kayu. Beberapa ru­mah bahkan membuka usaha warung menjual makanan. Beberapa rumah lain tampak juga becak motor yang terparkir di halaman rumah.

Seperti perayaan imlek biasanya, imlek tahun ini pun dirayakan de­ngan suka cita. Khas kue keranjang pun hadir di setiap rumah. Ajang silaturahmi dengan para tetangga juga dilakoni warga di kampung ini. Seperti Andi (40) salah satunya. Menurutnya tak ada yang lebih mem­bahagiakan, setiap kali imlek datang. Mengawali tahun dengan sesuatu yang baru. Pun Mariska (28) juga menyukai perayaan imlek di awal tahun baru Tionghoa.

“Seperti ada semangat baru yang membara,” bilangnya.

Terkait tahun kambing kayu yang jatuh pada 2015 ini, Andi dan Mariska tidak ambil pusing. Mereka percaya semua sudah diatur. Su­ka, duka, jodoh, pertemuan, bahkan lara dan kematian. Paling pen­ting kata Andi, hujan harus turun menjelang imlek.

“Agar rejeki mengalir dan menghapus segala duka,” ucapnya. Ya, pergilah kesengsaraan!

()

Baca Juga

Rekomendasi