Medan, (Analisa). Nasib Gedung Nasional Medan (GNM) yang beralamat di Jalan Sutomo Medan ditentukan hari ini, Senin (23/2) dalam sidang yang digelar di DPRD Medan. GNM yang berdiri sejak 1935 itu direncanakan akan dialihfungsikan menjadi tempat perkulakan (bisnis).
Atas rencana itu, sejumlah elemen yang terdiri dari akademisi, aktivis, dan praktisi sosial dan sejarah mengajukan petisi ke Walikota Medan dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Petisi yang ditantangani sekitar 100 orang tersebut dilakukan terkait surat permohonan persetujuan DPRD Kota Medan yang dilayangkan Pemko atas perubahan peruntukan tanah di sekitar bangunan GNM.
Ketua Pusat Studi Sejarah dan Ilmu-ilmu Sosial Universitas Negeri Medan (PUSSIS-Unimed), Dr. phil. Ichwan Azhari, MS, belum lama ini. Disampaikannya, petisi tersebut telah dikirim oleh Pussis Unimed Jumat (20/2) ke Walikota Medan dan DPRD Medan. "Petisi itu sudah dikirim Jumat lalu, dan ditandatangani oleh sekitar 100 orang dari berbagai elemen yang hadir pada Seminar Penyelamatan GNM di Unimed Rabu (18/2). Inti dari petisi tersebut yakni penolakan atas rencana perusakan GNM dan kawasan sekitarnya," katanya.
Dalam petisi, katanya, meminta Pemko segera menarik sekaligus membatalkan surat nomor 593/2781 tanggal 25 Februari 2014 yang ditujukan kepada Ketua DPRD Kota Medan. "Usai seminar, kita, peserta sekaligus sejumlah narasumber sepakat menandatangani petisi. Pertama, GNM merupakan mata rantai sejarah perjuangan Indonesia, khususnya Kota Medan dan Provinsi Sumatera Utara. Kedua, kawasan sekitar GNM juga sangat bersejarah, di sana berdiri bangunan bersejarah lainnya seperti Tugu (Monumen) Perang Medan Area, eks hotel Wilhelmina (sekarang eks bangunan Losmen Belinun), Gedung Olahraga, markas PSMS Medan, Radio Republik Indonesia hingga bangunan bekas kantor pemerintahan Sumatera Timur,” ungkapnya.
Sebagai suatu kawasan, lanjutnya, di sanalah terjadi peristiwa yang kemudian disebut sebagai awal Perang Medan Area yang menjadi saksi perjuangan rakyat Indonesia. “Karena itu, antara gedung dan kawasan mempunyai keterikatan yang kukuh. Begitupun gedung-gedung dan tempat lain seperti Lapangan Merdeka, Balai Kota, Gedung Joeang 45, dan situs-situs lainnya," tuturnya.
Tak Punya Visi
Prof. Usman Pelly, Guru Besar Antropologi Unimed, tegas menuding Pemko Medan tak punya visi dan misi untuk menjunjung tinggi situs-situs bersejarah. Padahal, GNM turut didesain Presiden Soekarno. Dan sungguh janggal jika pemerintah tidak menggolongkannya sebagai cagar budaya. Pelly, yang pernah berkantor di Gedung Nasional ini menunjukkan bukti-bukti pernyataan tokoh-tokoh Sumatera Utara dahulu yang menjamin tidak akan menjual GNM tetapi akan merawatnya.
Tak sekadar tentang merawat kenangan, menurut Dosen Sejarah USU, Dr. Budi Agustono penyelamatan GNM semakin penting karena situs tersebut adalah penghubung masa lalu dengan masa mendatang. Lanskap memori ini penting untuk membangun ingatan bangsa, demi menggambarkan bagaimana perkembangan suatu bangsa. Jika GNM dialihfungsikan, otomatis aktivitas perbisnis itu akan menggerus memori kota ini.
Rektor Unimed Prof. Dr. Ibnu Hajar juga menyatakan sikapnya tegas menolak pengalihfungsian gedung tersebut karena dinilai akan melunturkan jati diri bangsa. Menurut Ibnu, bangunan tersebut mengandung nilai identitas. Selain itu, ada juga nilai kebanggaan, dan nilai ekonomis. Dengan melihat sejarah, katanya, kita akan tau siapa diri kita.
Zulkarnaen dari Dinas Tata Ruang Kota Medan mengungkapkan satu fakta mengejutkan, yakni dalam ketentuan cagar budaya Pemko Medan, GNM ternyata sama sekali tidak terdaftar sebagai bangunan bersejarah. Fakta itu menjadi bahan diskusi baru.
Tak sampai di situ, praktisi hukum, Dr. Hasim Purba mengingatkan bahwa penyerobot cagar budaya bisa dipenjarakan dengan tuduhan merusak cagar budaya, sesuai Undang-undang tahun 2010. Usai mempetisi Pemko Medan, pada Rabu (18/2) lalu, Direktur Pussis Unimed Dr. Phil Ichwan Azhari mendorong masyarakat agar proaktif mengusulkan situs-situs bersejarah sebagai cagar budaya. (dgh/st)