Oleh: Tigor Damanik. KATA "Baboe"(baca : babu), lalu berevolusi (perubahan/peningkatan sebutan) nama menjadi Pembantu/Pekerja Rumah Tanggga (PRT) hingga Asisten Rumah Tangga (ART), adalah pekerja bergender (berjenis kelamin) wanita, baik tua maupun muda, yang bekerja pada sebuah rumah tangga atau bekerja di dalam lingkup rumah tangga.
Dulu, sebutan kepada baboe, PRT dan ART pernah dan sempat diperlembut/diperhalus/disantukan menjadi sebutan : "bibi" atau dipanggil "bi". Namun di dalam perjalanan waktu sebutan santun bibi inipun seolah hilang tertelan masa.
Bahwa ART bertugas untuk membantu segala sesuatu hal terkait urusan/pekerjaan rumah tangga. Memasak (makanan, minuman dan lain-lain). Lalu menyapu, mengepel dan atau membersihkan rumah, halaman dan seluruh pekarangannya. Mencuci, menjemur dan menyeterika (menggosok) pakaian dan berbagai tugas/pekerjaan lainnya.
Jika baboe adalah PRT atau ART bergender wanita, maka sebutan "jongos" ditujukan kepada PRT/ART bergender pria atau laki-laki.
Jika PRT sering disebut dan atau diistilahkan sebagai "pembantu" (saja), bukan pekerja, namun kepada ART tidak pernah diistilahkan/dipanggil dengan kata/sebutan "asisten" (saja). Faktor penyebabnya, kemungkin besar, karena sebutan asisten memang lebih intelek dan familiar dikalangan birokrasi dan atau di perusahaan-perusahaan perkebunan (nasional/negara)
Kendati demikian, karena alasan kemanusiaan, dimana sebutan "baboe", juga "PRT" (pembantu) dinilai masih kasar, merendahkan dan melecehkan (berkonotasi negatif) terhadap jenis pekerjaan/profesi ini, lalu kedua istilah baboe/jongos dan PRT-pun, terutama sebutan babu dan atau jongos sudah (hampir) tidak pernah lagi terdengar ataupun digunakan di dalam ucapan/bahasa sehari-hari, kecuali mungkin bisa jadi sesakali terucap di dalam nada candaan/gurauan.
Histori dan Fenomena Evolusi Nama
Berikut disampaikan evolusi (perkembangan) penyebutan/nama pekerja berasal dari strata bawah (lower class) ini dari masa ke masa, mulai dari : "Baboe, PRT hingga ART".
Pertama : Pada masa penjajahan (3,5 abad oleh Belanda dan 3,5 tahun oleh Jepang) dan sejak Proklamasi Indonesia 17 Agustus 1945 hingga tahun 1960 profesi PRT disebut/dinamakan :"baboe".
Kedua : Pada 1960 hingga tahun 2012 disebut sebagai "PRT". Ketiga : sejak 2013 hingga saat ini disebut sebagai "ART".
Namun demikian, ternyata berbagai perubahan istilah/sebutan atau apapun namanya itu : "Babu", "PRT" ataupun "ART" ternyata tidak lalu secara otomatis mengangkat harkat dan martabatnya sebagai pekerja yang berjasa didalam sebuah keluarga/rumah tangga.
Karena perlakuan terhadap mereka-mereka ini, terutama yang dilakukan sang majikan/bos terhadap mereka masih saja tak berubah. Masih menganggap dan menilai ART sebagai pekerjaan/profesi yang sifat pekerjaannya kerap dianggap-enteng sebagai pekerjaan "rendah" sekalipun sudah "dimewahkan/dikerenkan/diintelekkan” melalui sebutan "asisten" (rumah tangga)
Dalam banyak peristiwa dan kasus, umumnya, meski tak dapat dipungkiri bahwa masih cukup banyak jugalah majikan yang berkarakter baik, masih menghargai pembantu dan jenis pekerjaan pembantunya tersebut secara manusiawi, namun umumnya masih banyak juga majikan yang memperlakukan ART-nya secara semena-mena, kasar dan tidak manusiawi, terutama oleh majikannya di mancanegara.
Memang di mancanegara ART asal Indonesia lebih sering tidak disukai ketimbang disukai, apalagi terhadap ART yang sudah kualitas pekerjaannya tidak bagus, tidak rajin dan melawan pula. Hanya saja terjadi keserbasalahan, dimana jika ART wanita asal Indonesia kebetulan cantik dan rupawan, umumnya kerap menjadi godaan bahkan santapan "amoral" sang majikan dan atau anak serta sanak saudaranya.
Penutup
Kendati sudah ada Peraturan Menteri Tenaga Kerja (Permenaker) Nomor 2 Tahun 2015 tentang :"Pekerja Rumah Tangga (PRT)"yang diterbitkan Menaker Hanif Dhakiri tertanggal 19 Januari 2015, namun Pemerintah dan DPR perlu secepatnya merealisasi UU PRT (Undang Undang Pekerja Rumah Tangga) baru. Selain mengatur hal-hal bersifat universal, seperti hak-hak dan kewajiban, gaji, tunjangan, kesejahteraan, terutama perlu mengatur bagaimana agar rasa adil dapat melingkupi setiap ART yang dipekerjakan secara formal.
Selalu dihargai harkat dan martabatnya, terdapat batas waktu/jam kerja maksimum, hari libur satu kali seminggu, memberi fasilitas pengobatan/kesehatan, juga memberikan sanksi/hukuman kepada majikan yang memperlakukan ART secara semena-mena, sebagai budak kerja dan dijadikan budak perbuatan amoral.
Sehingga jangan malah sudah berevolusi atau berubah nama dari "Baboe", PRT hingga ART namun praktik dan perlakuan sang majikannya, bahkan juga dari Pemerintah dan pihak terkait lain ternyata masih saja sama seperti di masa lalu. Diperlakukan secara kasar dan tak manusiawi. ***
* Penulis :Pemerhati Ketenagakerjaan, tinggal di Medan