Oleh: dr. Syamsul Bihar, MKed(Paru), Sp.P
Tuberkulosis (TBC) adalah satu dari penyebab kematian terbanyak akibat penyakit infeksi yang dapat disembuhkan. Diperkirakan sepertiga populasi dunia terinfeksi Mycobacterium tuberculosis, dan pada tahun 1999 terdapat sekitar 8.4 kasus tuberculosis baru.
Tahun 2004, sekitar 9 juta kasus TB baru muncul dan 1.7 juta orang meninggal karena TBC pada tahun itu.
Terapi standar yang direkomendasikan untuk TBC paru adalah rifampisin, isoniazid, pirazynamid dan ethambutol selama 2 bulan, diikuti oleh 4 bulan rifampicin dan isoniazid. Penambahan streptomycin direkomendasikan oleh World Health Organization untuk kasus TBC yang gagal pengobatan, kasus putus obat ataupun kasus yang kambuh kembali. Obat – obatan anti - tuberkulosa dengan rifampicin (R), isoniazid (H), pyrazinamide (Z) dan ethambutol (E) serta streptomycin (S) sangat efektif, namun bersifat hepatotoksik, yang dapat mengganggu fungsi dan sel organ hati.
Adapun faktor resiko hepatotoksisitas meliputi usia lanjut, status nutrisi buruk, konsumsi alkohol dan minuman keras lainnya, sedang atau pernah menderita penyakit hati, serta pemakaian obat yang tidak sesuai aturan baik dosis maupun waktu konsumsi obat - obatan.
Hepatotoksik
Hepatotoksik yang terjadi pada pengobatan TBC ditandai dengan peningkatan serum alanine aminotransaminase yang muncul setelah pemberian obat – obatan anti tuberkulosis, lebih besar dari tiga atau lima kali dari batas tertinggi nilai normal dengan atau tanpa gejala hepatitis.
Beberapa penelitian hepatotoksik yang terjadi setelah pemberian obat – obatan anti tuberkulosis dapat dilihat dari hasil pemeriksaan fungsi hati yang berupa :
1. Peningkatan ?5 kali dari batas tertinggi nilai normal ( 50 IU/L ) dari serum aspartate aminotransferase ( AST ) dan/atau alanine aminotransferase ( ALT ) pada 1 kali pemeriksaan atau >3 kali batas tertinggi nilai normal (> 150 IU/L) pada 3 kali pemeriksaan berurutan
2. Peningkatan total bilirubin serum ( >1.5 mg/dl )
3. Peningkatan pada AST dan/atau ALT diatas nilai sebelum terapi OAT bersamaan dengan hilangnya selera makan, mual, muntah dan badan kuning.
4. Tidak terinfeksi virus hepatitis A, B, C atau E serta tidak adanya bukti secara serologis.
5. Adanya perbaikan fungsi hati (bilirubin serum <1 mg/dl; AST dan ALT < 100 IU/L) setelah menghentikan obat anti tuberkulosis.
Penyakit tuberkulosis pada umumnya akan diberikan pengobatan dengan lebih dari satu obat. Menurut beberapa penelitian yang telah dilakukan, ada beberapa kelompok orang yang akan lebih besar terkena gangguan hati setelah pemberian obat anti tuberkulosis ini. Di antara faktor resiko ini terdapat faktor usia dan jenis kelamin. Dikatakan dalam beberapa penelitian, pemberian obat anti tuberkulosis akan lebih menimbulkan hepatotoksik pada orang dengan usia lanjut, dan lebih terjadi pada dewasa lanjut berjenis kelamin wanita. Penelitian ini dilakukan di beberapa daerah, seperti pada Eropa dimana sekitar lebih dari 70% wanita yang mengkonsumsi obat anti tuberkulosis akan timbul hepatotoksik. Sementara penelitian yang dilakukan di Asia menunjukkan hasil sekitar 15 – 17 %, dan Afrika menunjukkan angka 10 – 15 % penderita hepatotoksik akibat obat anti tuberkulosis adalah berjenis kelamin wanita dengan usia lanjut, diatas rata – rata usia 50 tahun.
Selain itu, faktor sering mengkonsumsi minuman keras dengan kadar alkohol yang tinggi, juga dapat meningkatkan angka kejadian gangguan hepatotoksik. Bahkan ada beberapa laporan, di negara berkembang, penggunaan obat antu tuberkulosis yang seiringan dengan konsumsi jamu – jamuan dapat mengakibatkan peningkatan terjadinya hepatotoksik ini.
Gejala klinis yang dapat timbul
Reaksi gangguan fungsi dan kerusakan sel hati lebih sering terjadi pada 2 bulan pertama pengobatan anti tuberkulosis, namun dapat pula muncul pada kapanpun selama periode pengobatan. Gejala dan tanda klinis dari gangguan fungsi hati adalah mual, muntah disertai penurunan selera makan, bahkan bila telah terjadi kerusakan sel hati dan empedu dapat terjadi sklera mata dan kulit seluruh badan yang menjadi warna kuning yang terkadang dapat disertai dengan rasa nyeri di perut kanan atas. Namun terkadang keluhan dan tanda klinis ini harus didukung dengan pemeriksaan laboratorium darah untuk menilai fungsi hati dan kerusakan sel hati maupun kandung empedu.
Pemberian obat anti tuberkulosis pada gangguan fungsi hati
Pada pasien dengan pemberian ataupun pengobatan obat anti tuberkulosis yang mengalami gangguan fungsi hati yang terpenting adalah memilih obat – obatan anti tuberkulosis untuk pengobatan kembali secara hati – hati dan tepat guna. Menggunakan obat yang hepatotoksik dan yang efek hepatotoksiknya meningkat ketika dikombinasi secara bersamaan merupakan hal yang sangat rumit. Obat anti tuberkulosis lini pertama seperti Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z), Etambutol (E), Streptomycin (S) dapat menyebabkan gangguan fungsi dan kerusakan sel hati sehingga pemberiannya harus hati - hati. Sebagai tambahan, rifampisin juga dapat meyebabkan badan kuning yang tidak begitu khas tanpa adanya bukti hepatitis. Penting sekali untuk menyingkirkan penyebab hepatitis lainnya sebelum memutuskan bahwa penyebab hepatitis tersebut adalah regimen obat – obatan anti tuberkulosis.
Pengobatan hepatitis yang disebabkan oleh obat – obatan anti tuberkulosis bergantung pada :
1. Apakah pasien sedang dalam pegobatan tuberkulosis tahap awal atau lanjutan.
2. Tingkat keparahan dari gangguan fungsi dan kerusakan sel hati.
3. Tingkat keparahan penyakit tuberkulosis.
4. Kemampuan unit pelayanan kesehatan untuk menangani efek samping pengobatan tuberkulosis.
Apabila diputuskan penyebab gangguan dan kerusakan sel hati tersebut disebabkan oleh obat – obatan anti tuberkulosis, maka semua obat harus dihentikan. Apabila pasien menderita penyakit tuberkulosis yang berat dan tidak memungkinkan untuk menghentikan pengobatan tuberkulosis, obat – obatan anti tuberkulosis yang bersifat hepatotoksik ringan yang terdiri dari Streptomysin, Etambutol dan Fluoroquinolone dapat diberikan.
Jika pengobaan tuberkulosis telah dihentikan, penting untuk menunggu sampai fungsi hati kembali normal dan gejala klinis seperti mual, muntah, nyeri perut kanan atas telah hilang sebelum memberikan kembali obat – obatan anti tuberkulosis. Pemeriksaan fungsi hati dapat dilakukan setiap 2 kali seminggu sampai fungsi hati normal.
Perkumpulan para ahli penyakit paru di Amerika Serikat merekomendasikan individu dengan hepatitis B antigen yang positif dengan peningkatan ALT harus dilakukan pemeriksaan HbeAg. Jika positif, Rifampisin mungkin lebih dipilih dibandingkan Isoniazid. Konsultasi pada seorang ahli penyakit dalam khususnya divisi hati sangat disarankan, untuk mengetahui pemeriksaan lanjutan dan kemungkinan pengobatan awal pada individu dengan ALT meningkat 2 kali batas atas normal, dan dengan HbeAg seropositif harus dilakukan. Pada individu dengan HbeAg seropositif, pemantauan klinis dan ALT harus dilakukan setiap 2- 4 minggu. Selain itu pasien dengan transaminase pemeriksaan awal lebih dari 3 kali batas atas normal harus melakukan pemeriksaan bersamaan dengan bilirubin, sama halnya dengan pemeriksaan hepatitis viral ataupun penyebab lainnya, termasuk alkohol dan obat-obat hepatotoksik. Jika pengobatan dimulai, beberapa ahli menyarankan pengukuran serum transaminase dan bilirubin setiap 2 - 4 minggu pada 2 - 3 bulan pertama, jika diperlukan.
Jika pemeriksaan fungsi hati tidak memungkinkan, disarankan untuk menambahkan 2 minggu setelah badan kuning dan nyeri perut kanan atas hilang sebelum memulai kembali pengobatan tuberkulosis. Jika tanda dan gejala tidak hilang dan penyakit hati berat, pilihan obat yang hepatotoksik ringan berupa Streptomysin, Etambutol dan Fluoroquinolone dapat diberikan dengan waktu pengobatan 18 - 24 bulan.
Sekali hepatitis yang disebabkan oleh obat telah kembali normal, obat - obat anti tuberkulosis yang bersifat hepatotoksik dapat diberikan satu persatu. Jika gejala kembali atau fungsi hati menjadi tidak normal ketika obat tersebut diberikan kembali, obat yang terakhir diberikan harus diberhentikan. Beberapa ahli menyarankan untuk memulai dengan Rifampisin karena lebih jarang menyebabkan hepatotoksik dibandingkan Isoniazid atau Pyrazinamid dan merupakan obat yang paling efektif.
Pasien yang mengalami penyakit tuberkulosis yang berat, dapat meninggal jika tidak diberikan obat – obat anti tuberkulosis. Untuk mencegah hal ini, pasien dapat diterapi dengan regimen yang tidak hepatotoksik. Setelah fungsi hati kembali normal, pengobatan tuberkulosis dengan obat anti tuberkulosis harus dimulai kembali.
Regimen alternatif bergantung pada obat apa yang menyebabkan terjadinya hepatitis.
1. Jika disebabkan oleh Rifampisin, regimen yang diberikan tanpa Rifampisin adalah 2 bulan Isoniazid, Etambutol dan Streptomisin, diikuti dengan 10 bulan Isoniazid dan Etambutol.
2. Jika Isoniazid tidak dapat digunakan, 6 - 9 bulan Rifampisin, Pyrazinamide dan Etambutol dapat dipertimbangkan.
3. Jika Pyrazinamide di hentikan sebelum pasien menyelesaikan fase intensif atau tahap awal pengobatan, total durasi terapi Isoniazid dan Rifampisin dapat dilanjutkan hingga 9 bulan.
4. Jika Isoniazid dan Rifampisin tidak dapat diberikan, regimen yang minimal efek hepatotoksik seperti Streptomycin, Etambutol dan Fluoroquinolone harus diberikan hingga total waktu pengobatan 18 - 24 bulan.
Pemberian kembali obat satu persatu merupakan langkah yang optimal, terutama jika hepatitis yang diderita adalah berat. Program kontrol tuberkulosis nasional yang menggunakan tablet FDC harus menyimpan obat anti - TB single dengan jumlah yang terbatas untuk dipergunakan pada kasus tertentu. Meskipun demikian, jika unit kesehatan negara tersebut tidak memiliki obat anti-TB single, pengalaman klinis yang terbatas telah berhasil dengan pendekatan sebagai berikut, yang bergantung pada apakah hepatitis dengan badan kuning terjadi saat fase awal atau fase lanjutan.
Ketika hepatitis dengan badan kuning terjadi selama fase awal pengobatan tuberkulosis dengan Isoniazid, Rifampisin, Pyrazinamid dan Etambutol; begitu hepatitisnya telah sembuh, berikan kembali obat yang sama kecuali Pyrazinamid yang digantikan dengan Streptomisin untuk menyelesaikan 2 bulan pengobatan fase awal, yang diikuti dengan Rifampisin dan Isoniazid selama 6 bulan fase lanjutan.
Ketika hepatitis dengan badan kuning terjadi selama fase lanjutan, begitu hepatitisnya sembuh, berikan kembali Isoniazid dan Rifampisin untuk menyelesaikan 4 bulan terapi fase lanjutan.