Oleh: Drs. Indra Muda Hutasuhut, MAP
Di bawah kepemimpinan Taufiqurrahman Ruki, KPK laksana singa ompong di tengah hutan belantara, tidak memiliki nyali melakukan perlawanan kepada hewan yang seharusnya menjadi mangsa. Ruki lebih banyak disibukkan melakukan pendekatan kepada pimpinan Polri, Kejaksaan Agung, Presiden RI, dan terkesan tak punya nyali mengungkap berbagai kasus korupsi yang terjadi di beberapa institusi pemerintah. Kegamangan Ruki yang paling spektakuler pasca dilantik Presiden Jokowi menjadi Plt Ketua KPK Jum'at pagi tanggal 20 Pebruari 2015 adalah keputusannya melimpahkan kasus Komjen Budi Gunawan (BG) kepada Kejaksaan Agung. Menanggapi sikap Ruki yang spektakuler ini, berbagai elemen masyarakat-pun murka, konon sekitar 500-an pegawai KPK melakukan aksi unjuk rasa di halaman gedung KPK Jakarta Selasa tanggal 3 Maret 2015 untuk mempertanyakan strategi KPK dalam memberantas korupsi.
Menyikapi strategi pemberantasan korupsi yang ditempuh Taufiqurrahman Ruki, tentunya sangat jauh berbeda dengan langkah yang dijalankan Abraham Samad yang tidak kenal kompromi terhadap koruptor. Di bawah Abraham Samad, tak satu kasus-pun yang dimenangkan koruptor di pengadilan. Semua berakhir dengan hukuman penjara, termasuk yang menimpa besan mantan presiden SBY, Aulia Pohan, Anas Urbaningrum, Andi Malarangeng, Susno Duadji, Nazaruddin dan lain-lain. Berbagai elemen masyarakat menuduh, Ruki lebih memilih jalan aman selama memegang tampuk pimpinan KPK, dan tidak mau bernasib sama dengan Abraham Samad yang dianggap terlalu berani mengungkap kasus Komjen Budi Gunawan dalam skandal rekening gendut tidak wajar, hingga membawanya berurusan dengan Bareskrim Polri.
Berdasarkan data yang pernah dikeluarkan KPK melalui wakil ketuanya Adnan Pandu Praja pada tahun 2013, Institusi Polri merupakan lembaga terkorup di Indonesia, kemudian disusul lembaga DPR-RI diposisi kedua dan lembaga pengadilan pada posisi ketiga. Dengan strategi yang diterapkan Taufiqurrahman Ruki membina sinergitas dan membina hubungan baik dengan berbagai institusi pemerintah termasuk institusi Polri, institusi pengadilan dan DPR-RI yang disinyalir terindikasi dengan berbagai kasus korupsi, dapat dibayangkan bahwa, Taufiqurrahman Ruki tidak memiliki niat untuk memberantas korupsi sebagaimana yang dilakukan Abraham Samad dan pimpinan KPK terdahulu, karena resikonya sangat besar untuk dijerat kembali dengan kasus-kasus masa lalunya.
Dilema Pimpinan KPK
Institusi KPK berbeda dengan institusi lainnya dalam sistem ketatanegaraan Republik Indonesia. Selain wujudnya yang berbentuk "komisi", tugasnya senantiasa berhadapan dengan pelaku korupsi, kolega koruptor dan institusi tempat koruptor bekerja. Jadi, jabatan tampuk pimpinan KPK penuh dengan resiko. Karena para koruptor senantiasa tidak mau mengakui dirinya sebagai pelaku korupsi walaupun putusan pengadilan sudah menetapkannya. Dengan kekuatan power jabatan, kolega dan uang yang ada pada mereka, para koruptor dapat memutar balikkan fakta untuk berbalik menuduh sang pengadil menjadi tersangka, sebagaimana yang dirasakan Abraham Samad dan Bambang Widjojanto.
Dengan posisi komisioner KPK yang sangat dilematis, mereka-pun dihadapkan kepada dua pilihan yaitu, jalur aman dan jalur maut. Jalur pertama yang merupakan jalur aman adalah sikap untuk tidak terlalu serius memberantas korupsi, senantiasa melakukan kerja sama dengan institusi lainnya walau terkadang memiliki indikasi terjadi korupsi. Dengan sikap ini, KPK bagaikan pohon bonsai, boleh hidup tapi tidak boleh besar. Dengan memilih jalur ini, masa jabatan pimpinan KPK akan lebih terjamin. Namun, apabila memilih jalur ini berarti KPK dapat dikatakan berkhianat dan tidak menjalankan komitmen Presiden Joko Widodo saat menyampaikan kampanye politiknya menuju RI-1 bersama Jusuf Kalla untuk tegas memberantas korupsi. Bersamaan dengan sikap tersebut dapat dipastikan seluruh rakyat Indonesia akan membenci dan tidak percaya lagi dengan kinerja KPK.
Jalur kedua adalah jalur maut yang penuh dengan resiko. Dengan menempuh jalur ini berarti KPK harus tegas, memiliki keberanian, adil, arif dan bijaksana terhadap koruptor, termasuk kepada petinggi institusi Polri, anggota/pimpinan lembaga DPR-RI dan personil lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Karena para koruptor sangat lihai menepis tuduhan korupsi yang dialamatkan kepadanya. Hampir tidak pernah kita jumpai koruptor mau mengakui dirinya melakukan korupsi walaupun pengadilan sudah membuktikan perbuatannya. Justru yang sering muncul adalah pembelaan sambil mengucapkan, fitnah, kriminalisasi dan pembunuhan karier terhadap dirinya.
Mencermati sikap Taufiqurrahman Ruki pasca dilantik Presiden Joko Widodo menjadi Plt Ketua KPK, terkesan lebih memilih jalur aman, tanpa banyak mengusik ulah koruptor yang menyelewengkan uang negara. Banyaknya pimpinan KPK pada masa kepemimpinan Abraham Samad yang diadukan ke Polri, mungkin menjadi salah satu alasan Taufiqurrahman Ruki memilih cara aman tersebut. Dengan menempuh jalan aman, KPK-pun semakin loyo, semakin tidak berkutik dihadapan para koruptor yang mempermainkannya dengan kekuatan uang, jabatan dan pertemanan dengan penguasa. ***
* Penulis adalah Dosen FISIPOL-UMA