Oleh: M Arif Suhada. Mungkin kita masih ingat bagaimana seorang Vicky Prasetyo sempat menjadi trending topic akibat penggunaan bahasa yang amburadul dan membingungkan pada satu kesempatan sesi wawancara oleh stasiun televisi. Dengan penuh percaya diri dan gaya sok inteleknya, Vicky melontarkan istilah-istilah "baru" seperti: kontroversi hati, labil ekonomi, konspirasi kemakmuran, mempersuram statusisasi dan lain-lain yang di mana istilah-istilah itu bikin pusing karena susah dicerna dan dipahami oleh banyak orang bahkan mungkin semua orang.
Agaknya keanehan berbahasa itu tak hanya dialami oleh Vicky Prasetyo seorang, melainkan telah menjadi sebuah fenomena di masyarakat kita, terutama di kalangan para remaja. Belakangan, penggunaan bahasa di kalangan remaja memang telah banyak mengalami pergeseran, ditandai dengan marak munculnya kosa-kata, istilah, singkatan-singkatan yang cenderung “aneh” dan yang entah darimana asalnya itu seakan menjadi kosa-kata wajib yang harus diketahui dan dipakai oleh para remaja untuk bisa dikatakan sebagai remaja yang tak ketinggalan zaman.
Penamaan bahasa gaul pun disematkan untuk menggambarkan fenomena ini. Tentu saja, ini bukan bahasa resmi yang berasal dari kosa-kata baku yang terdapat dalam kamus KBBI, melainkan hasil dari modifikasi, plesetan, dan ciptaan kosa-kata yang mengada-ada dan tak formal sehingga pada umumnya tak semua orang akan mengerti tentang makna yang dimaksud selain dari mereka yang sehari-hari memang menggunakan bahasa ini.
Jika diidentifikasi, ada beberapa ciri penggunaan berbahasa yang telah mengalami penyelewengan dari kaidah umum yang telah ditetapkan secara resmi (baku). Tak hanya dalam hal penyebutannya saja, melainkan dari segi penulisan juga telah banyak terjadi pergeseran.
1. Mengubah kosa-kata yang ada dengan kosa-kata yang lain. Misalnya, untuk menyebut komputer pribadi yang bisa dibawa ke mana-mana, tentu kebanyakan orang mengenal dengan sebutan laptop. Tapi di kalangan remaja (anak zaman), mereka tak menyebut “laptop” melainkan “leppi”. Kata “slow” diganti “woles”, pernyataan “Mana kutahu” diganti dengan kata “Meneketehe”, dan lain-lain.
2. Memakai singkatan-singkatan yang khas. Misalnya untuk mengatakan “Gak jelas” diganti dengan “Gaje”, kata “Sama-sama” diganti “Macama”, kata “Tidak apa-apa” disingkat “Gpp”, atau PHP yang merupakan singkatan dari pemberi harapan palsu, dan lain-lain.
3. Menggunakan kombinasi huruf dan angka. Misalnya, untuk menuliskan “Lagi apa kamu?” ditulis menjadi “L49i 4Pa k4Mu?”, kata “semangat” menjadi “C3MunGGutthh”, kata “Sekolah” menjadi “C3koL4H”, dan lain-lain.
Jelas, kebanyakan orang pasti akan kebingungan dan sulit untuk membaca atau menerjemahkan maksud dari kata dalam bahasa gaul itu, terutama bagi orang dewasa yang sudah terbiasa dengan bahasa formal. Di titik ini, muncul kekhawatiran akan pudarnya eksistensi bahasa Indonesia baku disebabkan perkembangan bahasa gaul yang kian meluas dan merasuk jiwa para generasi bangsa. Bahkan ditakutkan para remaja tidak lagi tahu bagaimana cara berbahasa formal yang baik dan benar karena terbiasa memakai bahasa gaul tersebut.
Padahal jika melihat berbagai kosa-kata, istilah, singkatan dalam bahasa gaul yang muncul itu sebenarnya ada semacam kerisihan atas kata-kata sembarang yang muncul sementara ada kaidah resmi yang mengaturnya. Seolah kehadiran bahasa gaul ini semacam merusak kata-kata baku yang telah ada.
Namun tak bisa dipungkiri, hal ini telah menjadi sesuatu yang lumrah terjadi. Perubahan dalam berbahasa sepertinya memang tak bisa ditolak. Terlepas apakah perubahan itu membawa kemudahan atau malah sebaliknya semakin merumitkan/memperibet. Sebagaimana sebuah istilah yang mengatakan beda generasi beda pula bahasa yang digunakan.
Pun demikian dalam hal ini, keanehan berbahasa yang selama ini ditunjukkan di kalangan remaja dengan berbagai penggunaan kosa-kata barunya adalah muncul dengan sendirinya tanpa bisa dicegah. Dan kalau dicermati lebih lanjut, hal serupa juga terjadi pada generasi-generasinya. Sebenarnya tak salah juga bagi remaja yang mau memakai bahasa gaul itu sepanjang penggunaan bahasa itu bisa dipakai untuk berkomunikasi dengan orang lain, terlebih oleh sesama remaja itu sendiri.
Tapi harus diingat, para remaja juga tak boleh terlalu vulgar dalam memakai bahasa gaul itu di sembarang tempat, mengingat bahasa gaul ini bukan bahasa resmi yang harus dipakai dan diketahui oleh semua orang. Remaja harus cerdas menempatkan diri dengan benar dalam penggunaan bahasa tersebut.
Maksudnya, dalam kondisi resmi hendaknya para remaja tetap memakai bahasa Indonesia yang baik dan benar. Supaya komunikasi dapat berjalan dengan baik dan apa yang ingin disampaikan mudah dipahami dan dimengerti oleh semua orang. Karena sejatinya, guna berbahasa adalah untuk dapat menjalin komunikasi, dan komunikasi itu dapat terwujud kalau satu sama lain dapat mengerti pesan apa yang ingin disampaikan.
Di tengah munculnya berbagai kosa-kata baru sebagai bentuk dari perkembangan dalam berbahasa di kalangan remaja, maka seorang remaja juga tak boleh melupakan begitu saja bahasa Indonesia baku yang selama ini telah dipakai dan dijadikan ketetapan bahasa nasional kita. Apalagi jika hadirnya berbagai kosa-kata baru dalam bahasa gaul itu justru semakin membuat kita kesulitan dalam berkomunikasi dengan orang lain. Lantas, kenapa harus dipertahankan?
* Januari 2015
* Penulis, mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam, UIN Sumatera Utara