Medan-Binjai Heboh Kakek Sarung

Oleh: Lea Willsen. Usai eksistensi kakek gayung dan nenek gayung sekitar 2012, dan juga nenek Ani atau Marry, seolah tak mau kalah, kini giliran kakek sarung yang menjadi pembi­caraan trend di kalangan masyarakat. Yang jelas para kakek-nenek ini bukan menjadi trend layaknya para artis, tetapi lebih pada sugesti-sugesti horor yang menakut-takuti masyarakat.

Seperti yang diketahui masyarakat sekitar Medan, terlebih yang berada di Binjai, belakangan beredar rumor soal sesosok kakek yang berkeliling berju­alan sarung dengan harga relatif murah – lima ribu sampai sepuluh ribu rupiah – lalu ketika ada yang menolak tawaran itu, si kakek akan emosi, bahkan mena­ngis dan membuat orang-orang sekitar untuk merasa iba dan membelinya.

Yang menjadi horor itu bukan bagai­mana cara si kakek menarik simpati, namun lebih pada kondisi sebalik­nya yang dise­butkan di mana ketika sese­orang telah membeli sarung itu, orang tersebut akan mati!

Disebutkan bahwa sarung itu sebe­narnya adalah kain kafan, dan siapa yang membeli kain kafan itu akan dijadikan tumbal bagi suatu praktik ilmu hitam. Ilmu hitam sendiri memang tak pernah sejalan dengan logika, serta tak peduli atau terpengaruh dengan modernisasi masa. Rumor sosok kakek sarung juga diperkuat dengan kabar-kabar bahwa si kakek telah menampakkan wujudnya di jalan sekian, pasar sekian, atau lokasi-lokasi tertentu.

Menyangkut hidup-mati, wajar ma­sya­ra­kat menunjukkan respons gusar. Rumor itu pun memuncak dibahas dari mulut ke mulut, via broadcast, maupun di rumah-rumah sekolah, pada tanggal 12-13 Maret. Sehari kita bisa mendengar dua tiga orang membahasnya, tak keting­galan gencarnya broadcast senada yang dite­rima. Berawal dari Binjai dan Medan, kakek sarung berkembang hing­ga di kalangan netizen, tak keting­galan pemberitaan berbagai media. Sayang sekali, kota tercinta kita ter­nyata bukan terkenal berkat pemba­ngunan atau ge­bra­kan-gebrakan positif yang mem­bang­­ga­­kan, tetapi justru rumor yang tak seja­lan dengan logika.

Dihakimi Massa

Setahap lebih lanjut, cerita tentang kakek sarung pun berkembang, beredar foto si kakek yang terbunuh, lantaran dihakimi massa. Sejumlah masyarakat menerjemah­kan hal tersebut sebagai ‘angin sejuk’, di mana ancaman kema­tian dari sarung kakek tak perlu dikha­watirkan lagi. Namun, teror tak berhenti sampai sama. Berikutnya terungkap bahwa foto yang beredar ternyata adalah foto kematian seorang warga yang diketahui identitas­nya, dan baik sebab kematian atau riwayat dari warga bersang­kutan sama sekali tak ada hubungannya dengan rumor kakek sarung. Jadi, Kesim­pulannya kematian kakek sarung adalah sebuah hoax.

Sejumlah opini masyarakat yang menye­but­kan kemunculan si kakek sarung di sejumlah lokasi masih tetap gencar. Kita musta­hil menganggap semua itu sebuah kebohongan, meski­pun beberapa di antara­nya tidak menu­tup kemungkinan hanyalah sekadar hoax, seperti kabar tentang kema­tian kakek, atau kabar-kabar lawas soal kakek cangkul, nenek gayung, atau nenek Ani dan sebangsanya.

Melalui sebuah forum di dunia maya juga ada yang menyebutkan, si saksi pernah didatangi kakek yang mena­war­kan sarung, dan si kakek menuturkan kalau ia butuh ongkos pulang. Si saksi ti­dak membeli mau­pun menyentuh sarung itu, tetapi memberi­kan lima ribu rupiah secara cuma-Cuma sebagai bantuan untuk ongkos pulang si kakek. Dan setelah beberapa hari, si saksi bukan­nya menerima kemalangan, tetapi justru mendapatkan rezeki! Hmm…!

Rancu

Sedari awal sebenarnya rumor kakek sarung begitu rancu. Bahkan bagi penulis untuk menuliskan kronologi dari rumor ini, kesannya tidak lebih berku­alitas dari kara­ngan untuk meminta anak kecil segera tidur sebelum didatangi hantu. Tetapi ini perlu ditulis, karena mata masyarakat kita perlu dibuka.

Kalaupun ilmu hitam tak pernah sejalan dengan logika, setidaknya rumor yang disuguhkan seyogianya sejalan dengan logika. Kabar si kakek sarung yang mena­kutkan begitu heboh, sarung itu bisa men­datangkan kematian bagi si pembeli, dan mengapa justru kita tidak mendengar ada­nya kabar heboh soal berjatuhannya korban berantai, atau opini-opini langsung dari keluarga yang menerima kemalangan itu?

Jadi, selama ini kita hanya menge­ta­hui ‘saktinya’ sarung si kakek dari cerita pici­san yang tidak bisa diper­tanggung­jawab­kan. Sekali lagi, kita tidak sedang men­cari logika soal ilmu hitam, tetapi logi­ka dari rangkaian utuh rumor yang beredar. Prin­sipnya, kalau terjadi keba­ka­ran heboh, seti­daknya ada harta warga yang terbakar, bah­kan warga itu sendiri, atau minimal suara sirene dari pemadam kebakaran.

Jadi, soal ada yang melihat kakek sarung di lokasi tertentu, lebih logisnya itu ada penjual sarung yang menjadi kor­ban rumor ini. Mungkin saja sosok demi­kian – kakek yang berjualan sarung – memang benar adanya, lalu si hoaxer (penyebar hoax) terinspirasi darinya. Seja­tinya masyarakat yang cerdas jangan terpancing untuk turut menghe­bohkan rumor ini. Bila rumor ini terus diheboh­kan, bisa jadi akan benar-benar terjadi aksi hakim massa yang mela­yang­kan nya­wa tak berdosa. Ketemu penjual sarung, kebetulan lansia, tanpa pikir panjang lantas dibinasakan!

Kemungkinan lain – mengarah pada cerita memeroleh rezeki setelah mem­beri­kan ongkos tanpa menerima sarung yang entah benar ada atau tidak – bisa saja ada kalangan tertentu yang dengan sengaja meng­hebohkan rumor ini untuk mencari keuntungan materi. Takut teri­ma sarung tak masalah. Cukup berse­dekah saja. Hitung-hitung ada iming-iming rezeki. Ya, semoga saja tidak demikian.

Cerita yang disertai ancaman dan iming-iming sebenarnya juga bukan lagi modus hoax yang baru. Seperti cerita nenek Ani dan Marry yang beredar via broadcast, penerima harus mem-broadcast lagi cerita itu ke seluruh kontak yang ada bila tak ingin diganggu roh Ani dan Marry. Sebaliknya kalau ada yang turut broadcast, Ani akan datang mem­be­rikan bata­ngan-batangan emas atau setumpuk uang, sementara Marry men­janjikan perkenalan dengan para K-Pop (artis Korea). Wah!

Sangat ironis memang. Masyarakat kita dengan mudahnya terbawa oleh cerita picisan yang bahkan tidak layak untuk disim­pan di dalam laci, sean­dainya itu beru­pa naskah. Penulis sendiri senang bercanda dengan kontak-kontak yang telah mengi­rimkan cerita nenek Ani kepada penulis, mi­salkan membalas dan menyata­kan ke­ingi­nan besar penulis untuk didatangi dan diganggu oleh si nenek Ani. Nyatanya tidak.

Tentang rumor kakek sarung, kita anggap saja itu sebagai wujud perhatian dari mereka yang telah membagikan cerita itu kepada kita. Tetaplah membeli sarung bila memang perlu, meskipun tidak harus dengan sengaja membeli dari seseorang yang dicurigai kakek sarung. Dan yang paling penting jangan sampai aksi hakim massa benar-benar terjadi. tanggapi rumor ini tanpa memperparah kondisi, dan ajaklah masyarakat untuk berpikir dengan logika. Semoga! ***

Penulis adalah penulis buku-buku fiksi ilmiah

()

Baca Juga

Rekomendasi