Konotasi Bandar Baru dan Sibolangit

Oleh: Shafwan Hadi Umry

Konotasi ialah sejumlah tautan pikiran yang menerbitkan nilai rasa. Konotasi dapat bersifat pribadi dan bergantung kepada sifat, peristiwa, pengalaman orang seorang dengan kata atau barang yang diacu oleh kata itu.

Di dalam kosa kata modern istilah ‘tinja’ memiliki nilai rasa netral. Di samping ‘tinja’ orang mengenal juga ‘kotoran’, atau ’tahi’. Meskipun ketiga kata itu memiliki bau yang sama, bentuk dan warnanya juga sama, akan tetapi ‘nilai rasa ‘dalam pemakaiannya berbeda. Misalnya orang yang marah karena sesuatu hal tidak menghardik dengan kata ’tinja Lu’ tetapi akan menyatakan ‘tahi Lu!’

Konotasi memiliki tautan pikiran dan tidak berlaku secara mutlak. Ia tergantung pada lingkungan, kelompok masyarakat, dan pengalaman. Sebuah kata yang netral dapat memiliki nilai rasa tertentu bagi sekelompok masyarakat. Ambil misalnya perkataan “Ayah si Badu sering ke Bandar Baru”. Bagi orang Jakarta yang datang ke Medan , kata “Bandar Baru” itu termasuk netral. Tetapi orang Medan akan berpikiran lain -suatu konotasi kembar- sehingga seorang kakak pramuka tatkala mohon izin untuk membawa anak didik ke Bandar Baru, ia lebih sopan memilih kata ’mohon izin berkemah ke Sibolangit’. Padahal Sibolangit termasuk kawasan Bandar Baru.

Dalam dunia politik, konotasi memegang peranan penting. Hal ini dapat dibuktikan pada tahun 1965 timbul tragedi berdarah di Indonesia yaitu pemberontakan G30S/PKI. Serentak bagi bangsa Indonesia, populer sebutan ’kiri’, suatu konotasi politik yang harus dijauhi. Lalu timbul pula istilah yang berkonotasi negatif yakni ’ekstrem kanan’ dan’ekstrem kiri’.

Konotasi tidak terbatas kepada yang buruk atau dalam dunia sastra, tetapi mencakup semua bidang kehidupan manusia. Pada tahun 1960-an, murid berkenalan di bangku SMP dengan bidang studi Ilmu Ukur. Sang guru dengan asyiknya bermain dengan papan segitiga sambil garis sana dan garis sini di papan tulis. Guru bermain segitiga di papan tulis, termasuk denotasi (makna lugas). Namun, ketika guru terlibat ’cinta segitiga’di kelas sudah termasuk konotasi.

Konotasi dapat melekat pada satuan kata yang berbeda-beda, sesuai dengan pengalaman pribadi seseorang. Misalkan satu saat Anda jatuh hati kepada seorang wanita. Anda mungkin menyurati, berniat memacari, tetapi surat Anda tidak berbalas dan tiba-tiba Anda menerima kertas ‘merah jambu’ yang isinya ’Persetan Lu!’ Setelah kejadian itu Anda, mungkin terlalu sentimen dengan warna ’merah jambu’ karena ia mengingatkan Anda kepada rasa pahit masa lalu yang menjengkelkan itu.

Sebagai kesimpulan ada tiga golongan yang sarat dengan konotasi. Pertama, golongan kata yang berkaitan dengan pencernaan. Kata ’tinja’, sebutlah sebagai misal dapat dipakai pada rapat Darma Wanita, pada acara kuliah subuh dan dalam rapat sidang menteri. Secara asal usul kata (etimologi), kata ’tinja’ diambil dari kata ’istinjak’ (membersihkan) setelah qada hajat (buang air besar). Lama kelamaan berubah dari aspek morfologis dan fonologis menjadi ‘tinja’. Dalam kalangan masyarakat Melayu dahulu sering dipakai ungkapan penyamar misalnya, ”Saya mau ke belakang sebentar”. Padahal WC di depan kamar. Pengertian ungkapan penyamar ‘ke belakang sebentar’ karena orang Melayu dahulu biasanya menjauhkan WC-nya di sungai. Kedua, golongan kata yang bertautan dengan pembiakan/persetubuhan sesuai dengan tingkat peradaban. Ketiga, golongan kata yang berhubungan dengan sembahan manusia, Misalnya orang Muslim Indonesia ketika berkomunikasi dengan Allah YMK melafalkan dan memilih kata-kata yang bernuansa religius. Penggantian kata ‘sembahyang’ dengan ‘salat’ membuktikan alasan tersebut.

Demikian pembicaraan kita tentang konotasi dalam Bahasa Indonesia. ***

Penulis adalah Ketua HPBI Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi