Oleh: Joe Mawardy
Aku menginginkan sebuah rumah yang tanpa pintu. Baik pintu depan maupun pintu belakang. Hanya jendela-jendela besar yang dapat kubuka ketika hari cerah tak berhujan. Ataupun ketika malam gerah dan aku ingin merasakan sepoi angin. Tak perlu pintu. Tapi bukan rumah yang segala sisinya tertutup dinding dan ada sebuah jalan keluar masuk yang tertutup rapat seperti halnya penjara.
Ada sebuah jalan untuk keluar atau masuk tapi hanya ditutup dengan tirai menjuntai hingga lantai, yang setiap saat tertiup angin dan menciptakan efek damai bagi yang melihatnya. Tak perlu sebuah pintu menutupnya apalagi menguncinya, baik dikunci dari luar maupun dari dalam.
Menurut suamiku, mustahil untuk memenuhi keinginanku kali ini.
“Rumah tanpa sebuah pintu? Di luar sana banyak sekali kejahatan, orang-orang jahat yang akan dengan mudah dapat memasuki rumah kita, mengambil apa saja yang bukan milik mereka dan bahkan mereka juga bisa mengambilmu dariku.”
Aku tidak ingin mendebat suamiku. Namum keinginanku rasanya semakin menggebu untuk memiliki rumah tanpa pintu. Kubayangkan anak-anakku nanti akan berlarian kesana kemari dengan leluasa. Seolah seluruh dunia berada dalam genggamannya. Tanpa ada ancaman dari makhluk apapun, di luar maupun di dalam rumah.
“Tidak ada rumah tanpa pintu. Setiap rumah memiliki pintu yang bisa dikunci dari dalam maupun dari luar. Tidak hanya bertutupkan sebuah tirai yang menjuntai seperti dalam khayalanmu itu.”
Sebenarnya yang dikatakan suamiku benar. Kami sudah berkeliling berbagai tempat untuk mencari rumah yang akan dibelikan suamiku untukku. Di kawasan elit, rumah-rumah berpagar tinggi dengan pintu gerbang besar yang digembok serta sebuah pos keamanan di dekat pintu. Rumah-rumah di pinggiran kota pun, kurang lebih sama. Memiliki pintu depan yang berteralis dan sekedar melihatnya saja telah membuatku mual karena membayangkan hidupku akan terpenjara di dalamnya. Tak bebas keluar masuk tanpa harus bergantung pada kunci.
Di daerah pedesaan, rumah-rumah sederhana pun memiliki pintu yang berpalang di bagian dalam. Palang pintu yang ditegakkan asimetris yang akan membuat seseorang dari luar pintu kesulitan untuk membukanya. Kuperhatikan, kandang-kandang hewan peliharaan orang-orang di desa juga berpintu dengan gembok yang besar.
Ada apa dengan semesta? Mengapa semua makhluk merasa terancam di habitatnya sendiri? Mengapa semua orang ingin mengunci dirinya sendiri dari dunia luar yang diklaimnya tak aman?
Mungkin karena urusan pintu ini orang-orang jahat tidak menemukan jalan keluar ketika mereka memasuki sebuah pintu kejahatan. Perempuan-perempuan memasuki dunia pelacuran dari sebuah pintu dan kemudian mereka tidak menemukan pintu lain untuk melarikan diri dan mengakhiri langkah mereka melalui sebuah pintu keluar. Laki-laki dan perempuan yang mendedikasikan dirinya sebagai pejabat negara, tak menemukan pintu keluar untuk berlari membawa kabur kejahatan mereka sebab semua pintu telah tertutup dengan sendirinya pada waktunya. Dan tentu saja mereka terkunci di dalamnya.
Anak-anak, ketika orang tuanya sibuk di kantor atas nama masa depan mereka, tak dapat merdeka keluar masuk rumah berlarian kian kemari mengejar kupu-kupu, bermain layangan, bermain petak umpet. Apalagi di kota, hampir tidak ada kupu-kupu yang iseng melintas terbang sebebas yang mereka mau. Layang-layang akan kalah bersaing dengan aneka kabel yang malang melintang di setiap sisi atas gedung-gedung pencakar matahari.
Maka kemudian anak-anak dibuatkan sebuah rumah berpintu yang terkunci dari dalam dan mereka tersesat dalam labirin google yang disiapkan orang tua. Sebagian mungkin terjebak dalam sebuah kamar baca yang beku tanpa musik, tanpa jendela, tanpa sapaan angin sepoi dari luar sana. Sebagian mereka akan berteman dengan televisi yang garis-garis mukanya bersedih karena lebih sering menonton daripada ditonton oleh manusia. Televisi yang menyala dan berbicara sendirian seperti makhluk asing yang jauh dari muasalnya.
Aku merasa kelu membayangkan anak-anakku nanti akan terpenjara dalam dunia seperti itu. Dunia yang diciptakan orang tua atas nama keamanan dan kenyamanan mereka. Bukankah anak-anak senang berlari? Senang berteriak bersahut-sahutan? Tak akan mereka temukan dunia penuh teriakan dan kebebasan berlari seperti itu dalam rumah berpintu yang terkunci.
“Kecuali kita membuatnya sendiri,” cetus suamiku tiba-tiba menghembuskan lamunanku ke entah.
Sepasang mata suamiku berbinar. “Ya, kita membuat sendiri rumah yang kau inginkan itu. Rumah yang membutuhkan pintu yang terbuka, bukan pintu yang bisa dikunci kapan saja penghuninya mau. Apakah kau bermaksud merancang sendiri segala sesuatunya?”
“Tidak bisakah kita berkonsultasi pada seorang arsitek?” Tanyaku penuh harap.
“Semua arsitek akan tertawa jika mendengar konsepmu. Mereka akan menganggapmu orang gila baru. Tidak seorang arsitek pun berkarier merancang rumah tanpa pintu yang bisa dikunci. Pintu memang diciptakan untuk dibuka dan ditutup dengan sebuah kunci. Dan kau justru tidak menginginkannya.”
“Katakan saja rumah itu untuk tempat shooting sebuah film romantis,” ujarku.
Suamiku menatapku keheranan. “Kau membayangkan kita akan shooting film romantis di rumah kita?”
Aku mengangguk tersenyum.
“Tapi kehidupan kita bukan film!”
Senyumku redup. Kami terdiam. Kulihat suamiku menekurkan kepala. Suatu ciri dirinya ketika berpikir keras. Aku tak dapat menebak apa yang ia pikirkan. Adakah ia mulai marah dengan keinginan istrinya ini? Ataukah seperti yang dikatakannya sejak sebelum kami menikah, bahwa apapun yang aku inginkan, termasuk memetik bintang dan menggendong bulan untukku, akan ia lakukan asal aku selalu di sisinya. Sebab ia mencintaiku.
“Aku akan membeli sebuah pulau,” kata suamiku mengejutkan.
“Pulau sungguhan?” Aku tak percaya meski aku yakin mataku menyala-nyala penuh gairah.
“Ya, sebuah pulau yang akan menjadi milik kita. Bukankah kau berpikir bahwa anak-anak kita nanti harus menjadi manusia bebas yang bisa menyatakan keinginan-keinginannya sendiri? Di pulau itu nanti, rumah impianmu yang tanpa pintu terkunci akan dapat kita miliki. Di sana bahkan kita akan memiliki sebuah pantai pribadi, milik kita sendiri. Kita dapat mengajak siapapun yang kita sukai untuk memasuki pulau kita itu…”
“Tapi kau bukan seorang pejabat yang bisa dengan mudah jual beli sebuah pulau,” kutatap suamiku dengan kecewa.
“Aku akan bekerja sekeras mungkin untuk bisa membeli pulau itu untukmu, untuk kita,” suamiku menggenggam tanganku hangat.
“Kau akan korupsi untuk dapat membelikanku sebuah pulau? Aku tidak ingin dikatakan sebagai seorang perempuan yang memicu suaminya untuk menjadi koruptor. Bukankah aku begitu sederhana dengan segala keinginanku?”
“Ya, aku tahu.”
Kami terdiam lagi. Entah apa yang dipikirkannya kali ini. Tak akan mudah membeli dan memiliki sebuah pulau. Meski negeriku kaya akan pulau-pulau seperti dalam sebuah lagu, …berjajar pulau-pulau…sambung menyambung menjadi satu…, bahkan terdapat beberapa pulau yang memang belum pernah didatangi dan dihuni manusia. Tapi bukan hal yang mudah untuk memasuki dan memilikinya. Pulau-pulau itu dianggap milik negara. Seolah-olah Tuhan menciptakannya bukan untuk seluruh manusia dalam semesta, tapi untuk segelintir manusia yang memiliki kuasa. Seolah-olah Tuhan telah menitipkan keberadaannya pada mereka. Dan sebagain dari mereka kemudian diam-diam menjualnya pada entah siapa sebagai hak milik pribadi.
“Rasanya aku berlebihan jika membiarkanmu terlalu keras bekerja untuk dapat membeli sebuah pulau,” kataku suatu malam sebelum kami berangkat tidur.
“Kau tidak senang membayangkan dapat memiliki pulau tersendiri yang dapat dengan bebas kautinggali?”
“Bukan itu yang kubayangkan. Meski aku ingin memiliki sebuah rumah yang bebas tanpa pintu yang terkunci, tapi aku tidak bermaksud tinggal di sebuah tempat yang membuatku tidak mudah bertemu dengan manusia lain sesamaku…aku hanya ingin memiliki sebuah rumah yang membebaskan…”
“Dan kau tidak berpikir dengan rumah seperti itu kau dapat memiliki kenyamanan yang kauinginkan.”
Aku bungkam. Pikiran realistis melintas seperti sebuah bus tua yang suaranya memekakkan telinga dan asap knalpotnya memerihkan.
“Kita bahkan tak bisa aman berada di rumah milik kita sendiri,” keluhku putus asa.
Rasa sedih mulai mengaliri seluruh sarafku. Membayangkan hidup akan terbelenggu dalam sebuah rumah mewah penuh teralis membuatku merasa bahwa menjadi manusia bebas pun ternyata tak mudah memiliki kenyamanan. Apalagi tinggal dalam penjara dalam masa belasan hingga puluhan tahun bahkan seumur hidup lantaran sebuah kejahatan kemanusiaan seperti korupsi dan mengedarkan obat-obatan terlarang.
Tak heran jika terkadang sebuah pintu gerbang penjara dibuka lebar-lebar bagi tahanan yang ingin melancong. Atau sebuah rumah tahanan sengaja dibakar agar para narapidana bebas menjemput kemerdekaannya sendiri sebelum waktunya. Tinggal di rumah sendiri pun tak lagi menjadi jaminan kemerdekaan yang sentosa. Kejahatan mengintai di balik dinding dan rasanya setiap dinding memiliki telinga yang mahalebar untuk setiap manusia jahat di baliknya.
Apakah aku harus melupakan impianku?
“Aku tetap ingin memenuhi keinginanmu, istriku. Keinginanmu itu sederhana, bahkan tak membutuhkan banyak biaya, tapi situasi dan kondisi saat ini tidak memungkinkan untuk melakukannya…”
Kata-kata suamiku terasa seperti ucapan seorang pejabat yang sedang menghadapi keinginan rakyatnya. Apakah istri adalah rakyat bagi suaminya? Yang harus disejahterakan dan dilindungi hidupnya? Yang harus dipenuhi keinginan dan impiannya? Tapi aku bukan rakyat bagi suamiku meski harus disejahterakan dan dilindungi. Aku tidak ingin menjadi rakyat dari siapapun. Yang hanya menjadi sebuah tempat pembuangan janji-janji palsu pemimpinnya, menjadi tumpuhan keluhan tentang situasi dan kondisi, menjadi alasan kebijakan yang akhirnya tak memihak pada kenyamanan rakyat, menjadi atas nama.
Dan aku tiba-tiba jijik pada suamiku yang berkata-kata seperti seorang pejabat negara, seperti pembesar yang mengecilkan keinginan rakyatnya – istrinya – dengan sebuah janji.
Apakah cinta selalu dibaluri janji-janji indah? Seperti sebuah kue ulang tahun seorang bocah yang dipenuhi dengan siraman vla dan gula-gula?
Aku hanya menginginkan sebuah rumah yang membebaskan. Rumah yang tanpa pintu terkunci. Titik!
Pulau Garam, 2014