Ketidakadilan Hukum Nenek Asyani

Oleh: Suadi

Ketidakadilan hukum kembali muncul di negeri ini. Sangat miris dan menyesakkan dada karena korban ketidakadilan hukum tersebut adalah seorang nenek-nenek berumur 63 tahun bernama Asyani di Situbondo, Jawa Timur. Ia dituduh mencuri tujuh batang kayu jati serta dijerat tuduhan serius undang-undang illegal logging. Padahal, sejatinya kayu jati tersebut adalah milik sendiri di lahan sendiri.

Tidak tanggung-tanggung, kasus pencurian kayu jati tersebut mengakibatkan Nenek Asyani diancam penjara 5 tahun! Lahan tempat kayu jati tersebut memang bukan milik nenek Asyani karena sudah dijual, tetapi kayu jati yang dituduhkan tersebut sudah dipotong oleh almarhum suami Nenek Asyani 5 tahun lalu ketika lahan tempat kayu jati tersebut berasal belum dijual. Inilah pasal pencurian yang dituduhkan ke nenek Asyani ditambah pula dijerat undang-undang serius illegal logging.

Sontak kasus nenek Asyani membuat masyarakat dan LSM geram dan marah karena hukum jelas-jelas tidak adil dan tidak proporsional. Bayangkan bisa-bisanya 7 batang kayu jati untuk keperluan sendiri masuk tuduhan illegal logging? Bisa dibayangkan berapa ratus pengusaha dan pelaku bisa ditangkap bila kasus serupa diterapkan di Riau, Kalimantan, Papua dan pulau-pulau lain yang menebangi pohon dan menggunduli hutan hingga ratusan ribu dan jutaan hektar.

Hukum Sebagai Panglima

Indonesia adalah negara hukum. Tapi bukan berarti segala kasus diatasnamakan hukum lantas bisa menjerat orang seenaknya tanpa kesalahan jelas dan proporsional. Justru malah berapa banyak orang mengatasnamakan hukum nyatanya mempermainkan hukum dan melepas pelaku koruptor, pembalak hutan, pemerkosa, pembunuh dan kasus kejahatan tingkat tinggi lainnya.

Kasus Nenek Asyani sebenarnya rangkaian gunung es ketidakadilan hukum di negeri ini. Kasus korupsi pelakunya bisa tertawa terbahak-bahak di layar televisi, penjara dengan fasilitas wah, mendapatkan remisi dan bisa melenggang bebas tidak lama kemudian. Kasus yang menimpa Nenek Asyani sebelumnya juga sudah menimpa banyak korban hukum pencitraan (pseudo image) seperti Nenek Minah (55) yang dihukum 1 bulan 15 hari penjara gara-gara memetik buah kakao, AAL (15) pelajar SMK di Palu yang diancam hukuman 5 tahun penjara karena mencuri sandal anggota Brimob, Kakek Harso Taruna (67) dituduh merusak hutan dengan ancaman penjara 3 bulan dan denda Rp400 ribu.

Kholil (55) penjara 15 hari gara-gara memetik satu buah semangka milik tetangga, Nenek Nuy (50) dituduh mencuri berondolan sawit dengan ancaman penjara 3 bulan dan percobaan 6 bulan.

Tidak tanggung-tanggung, pasal yang dituduhkan kepada mereka Pasal 362 KUHP tentang pencurian, Pasal 40 jlo Pasal 19 dan Pasal 33 UU Nomor 5/1990 tentang konservasi Sumber daya Alam Hayati dan Ekosistem, Pasal 363 KUHP tentang pencurian dengan pemberatan bahkan Nenek Asyani sendiri dituduhkan dengan Pasal 12 jo Pasal 83 dan Pasal 87 UU Nomor 18/2013 tentang pencegahan dan Pemberatasan Perusakan Hutan.

Luar biasa pasal-pasal tersebut karena menyangkut pencurian, perusakan hutan dan sumber daya alam. Tetapi lupa bahwa mereka rata-rata adalah orang kurang mampu, sudah tua dan terpaksa mengambil milik orang lain. Bahkan kasus Nenek Nuy yang dituduh mencuri berondolan sawit di PT Lonsum sangat-sangat sulit diterima. Mungkin saja Nenek Nuy melakukan hal tersebut karena terpaksa alasan ekonomi. Lagipula berondolan sawit tidak berdampak mengerikan seperti pencuri uang negara (koruptor), pembalak hutan, mafia migas, mafia beras, serta perampok.

Hukum tidak salah, hukum adalah panglima tidak pandang bulu siapa salah, tetapi dalam konteks ini dinilai kurang tepat dan tidak proporsional. Bila nurani berbicara, maka sepatutnya negara bertanggung jawab menyantuni fakir miskin seperti mereka. Apalah arti sebuah semangka, tiga buah kakao serta 7 batang kayu jati yang notabene milik sendiri dibandingkan kasus hukum lebih serius di luar sana. Atau jangan-jangan jaksa penuntut dan pengadilan sudah kenyang disogok pelaku kejahatan yang lebih besar sehingga fokus mengurusi hukum yang remeh temeh sekadar menunjukkan diri bahwa hukum itu tegas, tapi aslinya lembek dan bisa dibeli.

Keadilan yang Proporsional

Jangan sampai terulang kasus seperti Nenek Asyani. Karena selain dinilai tidak profesional, pihak penegak hukum juga dinilai tidak punya nurani dan akal sehat. Wibawa hukum Indonesia bisa rusak bila membiarkan pelaku kejahatan skala besar bebas, tetapi giat menangkapi pelaku kasus hukum skala kecil, bahkan sebenarnya tidak bersalah tetapi dipaksakan bersalah.

Semoga kasus yang menimpa Nenek Asyani tidak terulang untuk kesekian kali, karena sudah terulang berkali-kali dan berharap hukum dan keadilan di Indonesia tegas menindak pelaku kejahatan tanpa pandang bulu. ***

Penulis alumnus UMSU Medan, Mahasiswa S2 Universitas Negeri Semarang (Unnes).

()

Baca Juga

Rekomendasi