Konfigurasi Manusia Terbaik

Oleh: Prof. Dr. H. Abdullah, M.Si

Pada dasarnya semua orang ingin disebut sebagai manusia terbaik. Ini adalah wajar, manusiawi dan merupakan pengaruh dari fitrah kemanusiaannya. Sebab Allah swt. telah menciptakan manusia memiliki kecenderungan kepada yang baik (Q.S. Ar-Rum [30]: 30). Akan tetapi tidaklah setiap orang  dapat mengklaim begitu saja bahwa dirinya adalah manusia terbaik. Apakah diri kita termasuk orang terbaik? Jawabannya, belum tentu. Untuk menilai apakah diri kita termasuk dalam kelompok manusia-manusia terbaik, mari mengacu kepada kriteria manusia terbaik menurut hadits Nabi.

Dalam menyebutkan manusia terbaik, Nabi  menggunakan tiga istilah, yaitu khairunnas (sebaik-baik manusia), khairukum (sebaik-baik kamu) dan khairu ummati (sebaik-baik umatku). Cukup banyak kriteria manusia terbaik berdasarkan hadits Nabi. Namun karena keterbatasan tempat, dalam artikel ini hanya disebutkan lima kriteria saja, dan insya Allah akan dilanjutkan dalam artikel berikutnya.

1. Manusia Terbaik

Karena Akhlaknya

Misi utamadiutusnya Nabi Muhammad   adalah untuk memperbaiki akhlak manusia. Hal ini sejalan dengan Sabda Nabi: “Aku hanya aku diutus untuk menyempurnakan  akhlak yang mulia”(H.R.Malik).  Akhlak merupakan ajaran yang terpenting dalam Islam. Bahkan seluruh ibadah (ritual) yang diajarkan oleh Islam (salat, puasa, zakat dan haji), bertujuan untuk mendidik manusia agar berakhlak mulia. Berkaitan dengan hal itu, Nabi bersabda: “Manusia yang paling baik adalah yang paling baik akhlaknya” (H.R. Bukhari dan Muslim). Demensi akhlak, meliputi akhlak kepada Allah swt., akhlak kepada manusia,kepada kedua ibu bapak, akhlak kepada  isteri, anak, kerabat, dan akhlak kepada tetangga. Selain itu, Islam juga mengajarkan untuk berakhlak kepada semua makhluk yang ada disekitar kita atau berakhlak kepada lingkungan hidup.

Skala perioritas dalam berakhlak dan berbuat ihsan sesungguhnya telah diatur dalam Islam. Perhatikan firman Allah dalam surah An-Nisa’ ayat 36 yang artinya:“Sembahlah Allah dan janganlah kamu mempersekutukan-Nya dengan sesuatu apa pun. Dan berbuat baiklah kepada dua ibu bapak, karib kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin, tetangga yang dekat dan tetangga yang jauh, teman sejawat, orang yang dalam perjalanan dan hamba sahayamu”.

2. Terbaik terhadap keluarganya

Bahwa sudah menjadi kecenderungan naluriyah manusia untuk lebih mencintai orang-orang yang dekat dan berjasa dalam hidupnya. Mereka  yang  berjasa itu adalah ibu bapak, isteri/suami, anak-anak dan keluarga lainnya yang memiliki hubungan keturunan. Dalam kaitan ini, Nabi bersabda: “Yang paling baik di antara kamu ialah yang paling baik  terhadap keluarganya. Aku adalah orang yang  paling baik terhadap keluargaku”.

Mendahulukan keluarga dalam berbuat baik adalah dianjurkan oleh al-Qur’an dan Hadits. Penting untuk diperhatikan, jika fasilitas yang kita gunakan untuk berbuat ihsan itu merupakan milik pribadi kita secara otonom. Namun jika ditangan kita ada kekuasaan, fasilitas negara atau fasilitas umum, maka disini harus ditegakkan keadilan berdasarkan norma, aturan dan ketentuan yang berlaku. Jika fasilitas tersebut kita  gunakan untuk kepentingan dan memperioritaskan keluarga (nepotisme), perilaku ini  dicela oleh Islam. Perhatikan hadits berikut ini: “Yang paling baik diantara kamu adalah yang membela terhadap kepentingan keluarganya selama tidak dalam dosa”.

3. Manusia yang bermanfaat bagi orang lain

Setiap Muslim dituntut untuk menjadi pelita di tengah-tengah manusia lainnya. Hal itu dapat dilakukan melalui amal saleh, karya nyata dan gemar berbuat ihsan. Dalam kaitan ini, Nabi bersabda: “Manusia yang paling baik ialah manusia yang paling banyak manfaatnya  kepada sesama manusia”.

Nilai manfaat seseorang terhadap orang lain dapat bermacam-macam bentuknya. Antara lain, jika kita  dapat memberi bantuan dalam bentuk materi, tenaga, mengajari, menasehati, dan menanam rasa gembira dalam hati orang lain. Sebaliknya jika tidak mampu kita melakukan hal tersebut, maka jangan sampai akibat tangan (kekuasaan) maupun dengan lisan kita dapat menggangu mereka.

4. Tepat Waktu Membayar Hutang

Sebaiknya kita harus menghindari diri dari berhutang. Sebab orang yang berhutang, siang hari merasa hina dan malam hari gelisah. Ada perasaan rendah diri orang berhutang (inferior), jika bertemu dengan orang lain, terutama terhadap pemberi hutang. Sedangkan malam hari akan menjadi beban pikiran karena memikirkan hutang.

Namun, kadang-kadang dalam  hidup ini tidak dapat menghindari  dari berhutang. Di saat-saat mendesak terhadap suatu keperluan, seringkali kita harus berhutang. Bahkan berhutang dan kredit, kini telah menjadi tradisi dikalangan masyarakat kita, terutama di kalangan pegawai negeri sipil (PNS).

Hutang-piutang sebenarnya ditolerir oleh Islam. Sebab, itu merupakan salah satu cara atau jalan   membantu sesama. Tapi hal penting yang harus diperhatikan adalah membayar hutang sesuai dengan janji. Nabi mengingat kita bahwa manusia yang paling baik  adalah orang  yang paling baik dalam membayar hutangnya.Tapi seringkali hutang tidak dapat dibayar tepat waktu, karena belum punya kemampuan. Jika kondisi ini yang terjadi, seharusnya yang berhutang bersikap dewasa dan meminta agar waktu pembayaran hutang dapat diundurkan, atau membayar hutang sebahagian lebih dahulu.

Tampaknya masih sering kejadian, penagih  harus mengemis-ngemis. Bahkan yang lebih ironis lagi, berhutang untuk tujuan menipu pemberi hutang. Akhirnya hutang membuahkan permusuhan dan retaknya persahabatan. Oleh sebab itu, jadilah orang terbaik dalam berhutang, dengan membayar hutang tepat waktunya.

Bagaimana pula jika hutang tak sanggup dibayar? Katakan sejujurnya kepada pemberi hutang. Jika hal ini yang terjadi, sebaiknya dilakukan pemutihan dan bagi yang membebaskan hutang dapat meniatkan sebagai sedekah.

5. Berhati Hati Tulus dan

Berlidah Lurus

Hati dan lidah merupakan instrumen penting dalam kehidupan manusia. Nabi menyebutkan hati yang tulus dan lidah yang lurus sebagai ciri manusia terbaik.Al-Qur’an menggambarkan macam-macam hati manusia. Ada hati yang sakit dan berpenyakit (Q.S, 33:32), hati yang lalai serta terkunci (Q.S, 45:23). dan ada hati yang sehat (tulus), yang disebut dengan istilah qalbun salim  (Q.S, 42:89).

Qalbun salim adalah hati yang beriman, ikhlas dan terhindar dari penyakit-penyakit hati. Salah satu do’a Nabi Ibrahim adalah memohon kepada Allah agar ia memiliki qalbun salim. Untaian do’a itu terdapat dalam surah As-Syu’ara ayat 88-89, yang artinya: “Dan janganlah engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan, pada hari yang tidak ada gunanya baik harta maupun anak-anak, kecuali orang menghadap Allah dengan hati yang bersih”.

Kebersihan dan ketulusan hati merupakan kunci keberhasilan para Rasul dalam berdakwah. Hal itu menjadi daya tarik bagi manusia lainnya. Ketulusan dalam berbuat sesuatu, akan mengantarkan seseorang kepada dua hal. Pertama, jika ia sukses maka tidak akan membusungkan dada. Ia sadar kesuksesan itu adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa. Kewajibannya hanya sebatas berusaha secara maksimal dan optimal. Kedua, jika  gagal ia tidak akan berputus asa. Sebab hati yang tulus tidak mengenal putus asa. Putus asa hanya ciri dari orang-orang kafir (Q.S,12: 87).

Sebenarnya terdapat hubungan atau korelasi positif antara hati tulus dengan lidah lurus. Pemilik hati yang tulus, biasanya berlidah lurus. Bersumber dari hati yang bersih, maka akan keluar pula tutur kata yang jernih, jujur dan dapat dipercaya. Karena itu, untuk membangun kepribadian yang memikat, antara lain melalui memelihara dan menjaga hati yang tulus dan lidah yang lurus.

Oleh sebab itu, perlu bermuhasabah, yaitu menilai diri masing-masing, dan memastikan telah memiliki ciri-ciri atau konfigurasi sebagai manusia terbaik. Jika belum tentu harus berusaha menjadi manusia terbaik, berdasarkan lima kreteria di atas. Sebab fitrah, naluri dan cita-cita semua orang adalah ingin menjadi manusia terbaik. Semoga kita dapat berikhtiar untuk menampilkan diri menjadi manusia terbaik.  

Penulis Dekan Fakultas Dakwah dan Komunikasi UINSU

()

Baca Juga

Rekomendasi