Pengusaha Jangan Semena-mena

Oleh: Hidayat Banjar

Ketika pengusaha merasa pekerja/buruh tak lagi produktif, pemutusan hubungan kerja PHK) diperbolehkan, sepanjang memenuhi ketentuan UU No 13 Tahun 2003. Ka­rena itu, Kementerian Ketenagakerjaan menegas­kan bahwa pengu­saha tidak dapat melakukan PHK kepada pekerja buruh secara sepihak tanpa adanya kesepakatan atau perjanjian bersama.

Hal itu disampaikan Dirjen Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja Kementerian Ke­tena­gakerjaan (Kemenaker) Ruslan Irianto Simbolon dalam per­si­dangan di Mahkamah Konstitusi Jakarta (Rabu, 11/3/15).

“Tidak bisa PHK dilakukan secara sepihak. Harus ada ke­se­pakatan atau perjan­jian bersama atau penetapan, atau izin dari instansi yang berwenang, dalam hal ini Lembaga Pe­nye­lesaian Perselisihan Hubu­ngan Industrial atau pengadilan hubungan industrial,” ujar Ruslan.

Dirjen Ruslan menyampaikan hal itu mewakili Presiden RI, saat memberikan keterangan pada sidang uji materi UU PPHI (Undang-undang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial yang dimohonkan oleh para buruh. (Analisa, Kamis, 12 Maret 2015).

Undang-undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 151 ayat 1 mene­gaskan: Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerin­tah, dengan segala upaya harus mengusaha­kan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.

Jika terpaksa, Ayat 2 menekankan: Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihin­dari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

Penetapan

Jika perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh peneta­pan dari lembaga penyelesaian hubungan industrial (ayat 3). Jadi pengusaha tidak boleh semena-mena mem-PHK karyawan atau pegawainya.

Pasal 153: Ayat (1) Pengusaha dilarang melakukan pemutusan hubungan kerja dengan alasan:

a. pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menu­rut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;

b. pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewaji­ban terhadap negara sesuai dengan keten­tuan peraturan perundang- undangan yang berlaku;

c. pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya;

d. pekerja/buruh menikah;

e. pekerja/buruh perempuan hamil, melahir­kan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya...dan seterusnya.

Pada ayat (2) disebutkan: Pemutusan hubu­ngan kerja yang dilakukan dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) batal demi hukum dan pengusaha wajib mem­pekerjakan kem­bali pekerja/buruh yang bersangkutan.

Pasal 155 ayat (1) dan (2) menegaskan: Pemutusan hu­bungan kerja tanpa penetapan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 151 ayat (3) batal demi hukum. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan, baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melak­sana­kan segala kewajibannya.

Ayat (3): Pengusaha dapat melakukan penyimpangan ter­hadap ketentuan seba­gai­mana dimaksud dalam ayat (2) berupa tin­dakan skorsing kepada pekerja/buruh yang sedang dalam proses pemutusan hubungan kerja dengan tetap wajib membayar upah beserta hak-hak lainnya yang biasa diterima pekerja/buruh.

Dalam upaya tetap memanusiakan manu­sia, toke/pe­ngusaha pun tidak boleh mem­perlakukan karyawan/pegawainya dengan ucapan maupun perilaku kasar. Pasal 169: Ayat (1) pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan pemutusan hubungan kerja kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal pengusaha melakukan perbuatan sebagai berikut:

a. menganiaya, menghina secara kasar atau mengancam pekerja/buruh;

b. membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perun­dang-undangan;

c. tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah diten­tukan selama 3 (tiga) bulan berturut-turut atau lebih;

d. tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/ buruh;

e. memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang diperjanjikan; atau

f.   memberikan pekerjaan yang membaha­yakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedang­kan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja.

Ayat (2): Pemutusan hubungan kerja dengan alasan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) pekerja/buruh berhak mendapat uang pesangon 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

Uang Pesangon

Pasal 156: Ayat (1): Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.

Ayat (2): Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:

a. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;

b. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;

c. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;

d. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;

e. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;

f.   masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;

g. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah.

h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;

i.   masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.

Undang-undang tentang ketenagakerjaan dibuat agar para pe­kerja maupun owner (toke) menjadikannya pedoman, bah­wasa­nya bekerja bukan semata-mata mengejar 5 P, yaitu power (kekuasaan), position (posisi), pleasure (kesenangan), prestige (kewiba­waan) dan prosperity (kekayaan). Setiap usaha yang hanya berorientasi kepada lima hal tersebut memang menjamin kesuksesan atau bahkan hasil yang melimpah ruah, tetapi tidak menjamin sebuah akhir yang menye­nangkan.

Pemimpin (pengusaha) yang memotivasi pekerja agar: be­kerja, bekerja dan bekerja, perlu diingatkan, hal itu salah. Seyogianya motivasi yang diberikan adalah: bekerja, ber­ibadah dan beristirahatlah dengan cukup.

Fakta tentang miliarder di Amerika Serikat yang berkumpul di Hotel Edge Water Beach di Chicago, Illionis pada tahun 1923 jadi pelajaran buat kita. Mereka adalah orang-orang yang sangat sukses, tetapi mengalami nasib tragis 25 tahun kemudian.

Salah seorangnya adalah Charles Schwab, CEO perusahaan besi baja ternama pada waktu itu, yaitu Bethlehem Steel. Charles Schwab mengalami kebangkrutan total. Sehingga ia terpaksa berutang untuk mem­bia­yai hidupnya selama 5 tahun sebelum meninggal.

Yang kedua adalah Richard Whitney, President New York Stock Exchange. Pria ini ternyata menghabiskan sisa hidupnya di penjara Sing Sing. Nah, bagaimana ?. ***

Penulis adalah Founder LBH dan Anggota Badan Pengurus Laskar Keadilan Indonoesia (LKI).

()

Baca Juga

Rekomendasi