“Pengetahuan dalam Perspektif Agama Buddha”

Oleh: Bhikkhu Khemanando Thera.

PENGETAHUAN merupakan salah sa­tu hal yang membedakan an­tara bina­tang dan manusia. Sema­kin luas pe­nge­ta­huan yang dimiliki umat manu­sia, semakin jelas pula per­be­da­an per­adabannya apabila diban­ding­kan de­ngan binatang. Se­ring kita mende­ngar bahwa manusia adalah makhluk social yang lebih tinggi de­rajatnya daripada binatang. Dalam lingkup perbandingan yang lebih men­ciut, pengetahuan sering dijadi­kan sebagai tolak ukur dalam menilai tataran hi­dup seseorang. Bukan ha­nya sekedar untuk meng­hindari pe­nya­­manan diri­nya dengan binatang ataupun sekedar menaikkan gengsi pribadi dalam ma­syarakat, sudah se­yogyanya jika se­tiap orang berusaha menimba penge­ta­huan sebanyak-ba­nyaknya. Seperti nasehat kuno yang sering kita de­ngan; “Bela­jarlah hing­ga ke Negeri bambu” atau belajarlah setinggi-ting­ginya”, kata-kata terse­but sering di­gu­nakan orang tua untuk memotivasi anak-anaknya supaya da­pat belajar sebanyak-banyak­nya. Ka­re­na, penge­tahuan ini tidak hanya sekadar me­ning­katkan pera­daban dan tataran hi­dup, melain­kan juga dapat menjadi be­kal dan pedoman yang sangat ber­harga dalam menga­rungi kehidupan ini. Buddha Gotama ber­sabda: “Me­mi­liki penge­ta­huan luas” adalah Su­atu Mangala, suatu ber­kah Utama.

Menurut beberapa pakar dalam bi­dang bahasa Pali, Bahusacca merupa­kan suatu istilah yang bersifat umum (Dhammaditthana). Padanannya da­lam istilah yang merujuk pada pribadi (Puggaladitthana), yang muncul di dalam banyak Sutta, ialah Bahusutta. Secara harafiah, istilah ini berarti “Banyak Mendengar”. Ungkapan “Ba­nyak Mendengar” ini agaknya mudah dipahami oleh masyarakat pada zaman Buddha Gotama, sekitar Dua Puluh Enam Abad yang lampau. Sebab, pada waktu itu, komunikasi antar individu pada umumnya tidak seperti zaman sekarang yang telah menggunakan banyak media komu­nikasi seperti Handphone, Internet, dll, dan mereka masih menggunakan bahasa Lisan (Oral) untuk mela­kukan komunikasi dengan orang lain. Media massa tulis apalagi cetak ma­sih belum begitu memasyarakat, bo­leh dikatakan masih langka, alih-alih bisa menggunakan Internet atau teknologi yang lain. Dengan begitu, hampir semua cabang pengetahuan umumnya diperoleh dengan jalan Men­dengar secara turun temurun. Pe­ngetahuan tentang Agama buddha, tak terkecuali, juga diterima dengan ja­lan mendengar  langsung dari Buddha Gotama sendiri ataupun me­lalui siswa-siswaNya. Dapatlah dika­takan bahwa mendengar adalah suatu taha­pan yang paling penting dalam men­cari pengetahuan pada zaman itu. Se­makin banyak dan semakin sering se­se­orang mendengar, semakin ber­tam­bah pula pengetahuan yang diper­olehnya. Jadi, secara kemaknaan da­patlah dikatakan bahwa seseorang yang banyak mendengar (Bahu­ssuta) adalah seseorang yang memi­liki pengetahuan yang luas, orang yang memiliki Berkah Utama, Mangala.

Jika pada zaman modern ini berbe­da peradaban dengan zaman ketika Buddha Gotama masih ada, ha yang perlu dicermati adalah jika pada za­man itu banyak orang memiliki pe­ngeta­huan karena banyak mendengar tetapi pada zaman orang yang mau mende­ngar bisa dibilang sedikit, mi­salnya: anak-anak zaman sekarang le­bih mau mendengar Handphone ketimbang mendengar suara orang tua, mendengar Ajaran agama lebih sulit ketimbang mendengar musik, dsb. Suatu feno­me­na yang berbeda jika kita bandingkan dengan zaman dahulu, ketika alat ko­munikasi masih belum memasyarakat seperti seka­rang ini. Tetapi apakah kita harus me­nyalahkan media tersebut? Tidak, me­dia mau digunakan atau tidak ter­gantung si pengguna. Jadi, hal yang ter­penting adalah menggunakan media modern dan juga menjaga serta me­lestarikan tradisi kesantunan, budi pekerti yang telah diajarkan oleh pen­dahulu-pendahulu kita.

Suatu masalah yang menarik un­tuk disinggung disini adalah; me­ngapa Buddha Gotama memilih cara lisan dalam membabarkan Ajaran Nya padahal, berdasarkan beberapa indikasi, pada zaman itu teknik me­nyerat atau menulis di atas daun lon­tar mungkin sudah dikenal. Sebagai Putra Mahkota suatu kerajaan yang sedang berjaya, agaknya tidak sulit bagi Beliau untuk meminta sokongan dari Raja AyahandaNya dalam me­menuhi kebutuhan tersebut. Jawaban yang “Straight to The Point”atas pertanyaan diatas memang sukar un­tuk dapat ditemukan dalam naskah ba­hasa Pali. Meskipun demikian, da­patlah dipastikan bahwa Beliau ten­tunya tidak terimbas oleh keper­ca­ya­an bahwa suatu ajaran agama akan hilang atau lenyap kekhasiatan, ke­am­puhan dan kemanjurannya apabila sudah dialihkan dalam bentuk tulisan – sebagaimana halnya aji-aji atau mantra-mantra yang dipercayai oleh kepercayaan dan aliran-aliran ter­tentu. Ajaran Buddha benar-benar da­ri pengaruh mistis semacam itu. Ala­san yang masuk akal ialah bahwa Bu­ddha Gotama sengaja memper­guna­kan cara lisan dalam membabarkan Ajarannya karena Beliau, mungkin, melihat beberapa pengaruh positifnya jika dibandingkan dengan memper­gunakan cara tertulis sebagai sarana penyuluhan. Dengan cara lisan, da­lam mempelajari suatu ajaran, se­seorang siswa dituntut untuk mencu­rahkan perhatian, minat, dan keteku­nan dengan sungguh. Dalam proses belajar ini, pertama-tama ia harus bisa menampung ajaran yang didengarnya (Sutadharo). Setelah menampung­nya, seseorang harus dapat menyim­pan, menimbun, serta mempertahan­kannya agar tidak hilang (Sutasanni­cayo). Ia kemudian harus dapat de­ngan telak menghafal, mengingat, dan merekam ajaran yang didengar­nya (Dhata) dan dikuasai dengan lan­car dan fasih (Vacasa paricitta), serta merenungkan dan menganalisanya dalam batin (Manasanupekkhita).

Memiliki pengetahuan yang luas diumpamakan oleh Buddha Gotama, dalam Pathama dan Dutiya Dhana Sutta, Suttakanipatta, Anguttara Nika­ya, sebagai salah satu dari tujuh macam kekayaan mulia yang tak ter­nilai harganya (Ariyadhana). Natha Sut­ta, Dasakanipata, Anguttara Nika­ya, Bud­dha Gotama menyatakan bah­wa dengan memiliki pengetahuan luas, se­seorang berarti telah membuat per­lin­dungan bagi dirinya sendiri se­hingga da­pat terhindar  dari kehi­dupan yang pe­nuh penderitaan. Da­lam Vaddhi Sutta, Pancakanipata, Anguttara Nikaya, Bu­ddha Gotama menyatakan bahwa salah satu dari lima hal yang membuat seseorang dapat mencapai ke­majuan atau per­kembangan ialah me­miliki pe­ngeta­huan Luas. Sementara itu, pen­gulas Kitab Papancasudani, Kitab ula­san atas Majjhina Nikaya, Buddha­gho­sa Thera, menuliskan bahwa me­miliki pengetahuan luas adalah salah satu dari enam faktor yang membuat se­seorang berhasil menang­galkan atau me­nying­kirkan keragu-raguan (Viciki­ccha) dan kegelisahan (Udd­ha­cca). Bagi anda yang masih mau mendengar adalah an­da memiliki kualitas seperti yang telah dinyatakan diatas. Sabbe sat­ta bhavantu sukhi­ttata, semoga semua makhluk turut berba­hagia.      

Sabbe satta bhavantu sukhitatta. Semoga semua makhluk turut berba­hagia.

Sadhu…Sadhu…Sadhu…

()

Baca Juga

Rekomendasi