Oleh: Dian Tiara. Pembahasan tentang kepercayaan, dianggap sebagai sesuatu yang akan menimbulkan pertentangan. Apalagi masyarakat Indonesia terdiri dari berbagai macam kepercayaan, sebagai suatu cara untuk melakukan interaksi dengan Sang Pencipta. Bukankah setiap kepercayaan mengajarkan hal yang sama dan memiliki sanksi yang sama jika pelaksanaannya salah?
Kepercayaan atau agama, di Indonesia tidak terlepas dari proses adat masing-masing suku. Penyelesaian delik adat selalu dikaitkan dengan proses keagamaan, karena berhubungan dengan yang lahir dan batin. Ini keunikan tersendiri dari adat yang ada di Indonesia. Tanpa terkecuali karena semua pelaksanaan adat dalam suku apapun pasti selalu dibarengi dengan ritual agama. Emile Durkheim mengatakan, ritual dijadikan sebagai sarana untuk keluar dari yang kotor menuju ke suci. Artinya manusia melakukan ritual untuk membersihkan dirinya dari segala kesalahan yang telah diperbuatnya–baik melalui ritual agama maupun adat.
Tidak ada salahnya mengajarkan nilai-nilai agama kepada anak melalui kebiasaan atau adat istiadat sebagai jati diri bagi kalangan/suku tertentu. Hanya saja proses dan cara penyampaian nilai-nilai, akan terkesan kurang pas dan tidak dapat saling melengkapi.
Filosofi tentang agama dan adat istiadat sama-sama menyanjung tinggi nilai moral. Dengan adanya asimilasi antara pelaksanaan suatu ritual adat dengan proses keagamaan akan menimbulkan demoralisasi. Secara tidak langsung dilaksanakan secara terus menerus dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Demoralisasi yaitu penurunan atau kerusakan moral yang dialami oleh individu.
Dari segi ritual adat tidak akan ditemukan ketimpangan, sedangkan dari segi agama otomatis mengurangi atau bahkan menghilangkan nilai guna dari pelaksanaan keagamaan tersebut. Pelaksanaan keagamaan merupakan hubungan antara manusia dengan Tuhan sedangkan proses adat lebih condong antara hubungan manusia dengan manusia yang telah tiada kemudian dikait-kaitkan dengan Tuhan. Hubungan seperti ini terkadang akan melahirkan paradogma, manusia yang telah tiada lebih dihormati dari Tuhan. Lebih baik lagi, jika mulai sekarang anak-anak diperkenalkan secara terpisah proses adat dan agama serta menjelaskan kedudukan dari kedua hal tersebut. Baik dari segi kepentingan ataupun manfaatnya.
Ritual adat identik dengan persembahan terhadap sesuatu hal yang gaib–terhadap orang yang sudah meninggal. Caranya menyajikan makanan atau wewangian yang dibarengi dengan pembacaan mantra (sering dianggap sebagai doa). Tujuannya untuk mengingat ataupun menghargai orang yang telah tiada.
Ritual adat mengajarkan untuk tidak melupakan orang telah tiada walaupun sudah tidak dapat dilihat dengan mata, tetapi masih memiliki hubungan. Hal ini seringkali disandingkan dengan pelaksanaan keagamaan. Contohnya, pelaksanaan pintan untuk menyambut datangnya bulan Ramadan. Dilakukan masyarakat suku Jawa–memegang adat istiadat sukunya di Sumatera Utara. Pelaksanaan ini masih banyak dilakukan di beberapa kawasan yang memiliki mayoritas suku Jawa di dalamnya.
Pintan merupakan sebutan dalam menyediakan berbagai jenis makanan untuk menyambut datangnya bulan suci Ramadan. Pintan hampir sama dengan sesaji. Hanya saja sesaji selalu diidentikkan dengan hal-hal yang bersifat tidak baik. Seperti untuk memperoleh kesuksesan, kekuatan dan lain-lain. Walaupun memiliki fungsi yang sama, sebagai penangkal ataupun penjaga, kedudukan keduanya tetap saja berbeda–hal ini dikarenakan pintan tidak menggunakan kemenyan sedangkan sesaji menggunakannya.
Wangi kemenyan dianggap dapat mengundang kedatangan makhluk gaib. Selain itu, pintan hanya digunakan saat menyambut bulan Ramadan–sesaji bisa kapan saja. Pintan menjadi salah satu lambang adat istiadat masyarakat suku Jawa. Seperti halnya bendera merah putih di Indonesia atau makna pembuatan bubur merah putih.
Tujuan dibuatnya pintan, setiap manusia pasti memiliki keluarga yang sudah meninggal dunia, baik itu kakek ataupun nenek. Sebagai manusia yang masih hidup dan memiliki arwah diharuskan untuk mengingat keluarga yang sudah meninggal. Agar bukan hanya yang masih hidup merasakan kebahagiaan dan anugerah Ramadhan, juga yang sudah meninggal. Alasan mengapa pintan disajikan pada saat Ramadan tiba, karena masyarakat suku jawa percaya waktu bulan puasa arwah-arwah, dibebaskan dari alam kubur mereka dan kembali ke rumah masing-masing.
Menyediakan makan yang biasanya merupakan kesukaan dari keluarga yang telah meninggal dunia adalah hal-hal yang terdapat dalam pintan. Misalnya kopi, air putih dan makanan kesukaan lainnya. Dalam tradisi Jawa menyediakan makanan ini merupakan cara menyambut para arwah keluarga yang kembali ke rumah.
Pintan biasanya disajikan dengan bunga, pisang, cok bakal atau cikal bakal, makanan (berupa nasi, lauk pauk, sayuran, buah-buahan,), minuman (air putih, kopi, teh atau susu), rokok, dan kinangan. Semua bahan, dipercaya melambangkan adat istiadat naluri atau melambangkan adanya asal mula, cara bertahan hidup dan kesukaan atau kebiasaan selama hidup.
Cok bakal atau cikal bakal (asal mula), biasanya disimbolkan dengan kelapa, gula, serta bubur merah dan putih, mengandung arti kita terlahir dari darah merah dan putih kedua orang tua. Biasanya saat seorang anak lahir, dalam tradisi Jawa akan dibuatkan bubur merah dan putih sebagai lambang cok bakal dan bayi yang lahir itu disebut lahir sak kepyar tunggil pertapaan cedek tanpa senggolan lebih tanpa wangonan. Dekat tapi tidak pernah bersentuhan dan jauh tapi tidak pernah kelihatan dimana itu adalah kita.
Kakang barep adekke ragil kakang kawah adi ari-ari. Artinya kita terlahir bersamaan dengan ari-ari. Kalau dalam tradisi jawa perlu adanya peringatan hari kelahiran manusia yang setiap 36 hari sekali ada terdapat hari kelahiran, misalnya hari jumat pon dan lain – lain. Pada hari kelahiran atau weton, biasanya jika tidak diperingati, akan menyebabkan seseorang tersebut uring-uringan dan sering melakukan hal-hal yang emosional.
Bunga sebagai jenang bonang baning, melambangkan saudara-saudara kita yang terurus ataupun yang tidak terurus. Bunga menjadi salah satu hal wajib dalam pintan karena bunga itu memiliki wewangian yang kuat. Walaupun tidak pernah kenal saudara yang telah meninggal, setidaknya akan tetap merasakan wangi atau berkah doa dari orang yang masih hidup.
Pisang melambangkan pisang ayu sekar ayum. Bunga wangi pisang raja merupakan pisang sangat enak dan banyak disukai oleh orang-orang. Selain ukurannya besar dan daging yang manis pisang raja juga dianggap mampu menangkal segala bentuk sihir dan kekuatan jahat. Apem gula jawa melambangkan makanan untuk disedekahkan kepada orang yang masih hidup. Apem dipilih karena mengenyangkan dan rasanya manis.
Pada masa dahulu, masyarakat suku jawa selalu menyediakannya saat berbuka puasa karena rasa manisnya. Terdapat dua jenis apem yang disajikan. Apem yang dibungkus dengan daun nangka. Daun nangka bersih dan tidak berbau atau disebut sebagai pasung dan apem yang hanya digoreng.
Untuk mengimbangi pintan, malam sebelum datangnya bulan Ramadan, masyarakat Jawa biasanya mengadakan kenduri punggahan di mesjid dengan tujuan menyambut datangnya bulan puasa. Berbagi makanan dengan orang lain dan mendoakan para keluarga yang telah meninggal dunia. Punggahan dilakukan dengan saling menukar makanan yang dibawa dengan wadah terbuat dari kedebok pisang dan bambu. Setelah dibersihkan kemudian dilapisi dengan daun pisang kepada setiap orang yang hadir di acara.
Sebelum melaksanakan pintan, terdapat satu hal lagi yang harus dijalankan di samping melaksanakan kenduri punggahan. Nyekar ke makam keluarga. Nyekar atau lebih dikenal dengan sebuatan ziarah kubur, menjadi suatu tradisi yang tidak pernah lepas dalam menyambut datangnya Ramadan. Dalam nyekar ada beberapa ketentuan selain memberi bunga dan air ke kubur, masrahkan. Masrahkan atau mendoakan dilakukan sebelum pembacaan doa atau bisa disebut juga sebagai protokol. Caranya, pegang tanah kubur dan tepuk tiga kali dengan mengucapkan salam kemudian meyebutkan biyen ileng saiki ileng, ileng ono wong nang dunio bektiku karo mbahku, mugo-mugo arwahe mbahku iki dijembarke kubure diampuni segala dosane dan diterimo amal ibadahe dan ditempatke di tempat seapik-apike.
Pintan ini dibuat sebagai naluri orang-orang yang masih hidup terhadap orang yang meninggal. Pemasangan pintan dilakukan saat malam menjelang bulan puasa disertai dengan doa yang dilakukan oleh orang yang dituakan dalam keluarga. Sesuai dengan ajaran nabi saat bulan Ramadan, harus berbuat kebaikan dan mendoakan arwah-arwah keluarga kita yang sudah meninggal. Terdapat satu persamaan antara pintan dengan sesaji. Sama-sama menyediakan makanan dan wewangian di dalam suatu ruangan selama kurun waktu tertentu. Tidak boleh dimakan selama masih proses persembahan dilakukan.
Alasan mengapa pencampuran proses ritual adat dapat mengakibatkan demoralisasi? Dikarenakan kepercayaan merupakan salah satu dari komponen sikap. Émile Durkheim mengatakan, agama merupakan suatu kepercayaan dan praktek langsung yang bersistem untuk mencari kebenaran tentang hal yang suci (ketuhanan). Kepercayaaan agama dengan kepercayaan ritual adat memiliki komponen yang sama: kognitif (perkembangan pengetahuan); afektif (kehidupan emosional/sikap) dan konatif (kecenderungan orang untuk bertindak).
Jika kepercayaan ini digabungkan, akan terjadi perbandingan pemikiran yang dilahirkan oleh manusia dalam bertindak. Akhirnya menuntut seseorang untuk memilih mana yang lebih nyaman atau tidak terlalu memberatkan dirinya. Dampak yang ditimbulkan; cenderung menjadi pengganti agama. Hanya mengikuti ritual tanpa tahu untuk menghayati keimanan dan perkembangan kerohanian dengan baik. Akhirnya ritual adat menjadi kebiasaan serta agama; menghambat perkembangan kerohanian. Sulit mengembangkan keimanan dan pola pikir bila agama dipenuhi oleh ritual adat. Ritual bisa berpotensi menolak pembaruan dan kebenaran. Mengikuti ritual adat untuk melestarikan keberagaman suku sebagai ciri khas, tidak ada salahnya selama hal itu tidak dijadikan takaran murni dalam bersikap. Jadikan ritual adat sebagai filter dan pembanding untuk menentukan mana yang baik dan buruk dari dua sisi yaitu ritual adat dan ritual agama.
Gelitar, 2015