PRSU dari Masa ke Masa

Oleh: Elfa Suharti Harahap.

Bak melihat ‘wajah’ Sumatera Utara (Sumut) yang sesungguhnya, Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) telah menemani masyarakat Sumut dalam 44 tahun terakhir. Memiliki fungsi sebagai wadah untuk mempecrkenalkan wilayah di seluruh Sumut, PRSU memberikan banyak informasi tentang kebudayaan, hasil alam dan adat istiadat. Informasi ini tentunya membantu masyarakat, khususnya bagi para pelajar yang ingin mengenal daerah Sumut secara luas.

Dari segi perekonomian, kegiatan PRSU diharapkan menjadi kegiatan yang mampu mendorong investasi daerah lebih baik di masa mendatang. 2015 disebut sebagai tahun Masyarakat Ekonomi Asean (MEA). MEA dibentuk sebagai ‘alat’ meningkatkan daya saing dan menarik investasi asing, dimana suatu negara dimungkinkan menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara. Penanaman modal asing di wilayah tertentu dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan.

Berdasarkan data BPS per Agustus 2014 diperoleh peningkatan data pengangguran menjadi 5,94 persen dibanding pada Februari 2014 yang mencapai 5,70 persen. Dari survei yang sama, wirausahawan per Januari 2015 jauh tertinggal dibandingkan negara-negara Asia Tenggara lainnya. Indonesia hanya memiliki jumlah wirausahawan sebesar 1,6 persen. Angka ini jauh di bawah Negara Tiongkok dan Jepang yang mencapai 10 persen, Malaysia 5 persen, dan Singapura 7 persen. Masalah semakin serius saat data menyatakan bahwa hampir 70 persen pengangguran berada dalam usia muda produktif 15-29 tahun.

Selain sebagai wadah pembelajaran adat budaya, PRSU berfungsi menciptakan potensi anak muda melalui kegiatan-kegiatan enterpreuner yang akhirnya membentuk kaula muda untuk menghadapi MEA. PRSU sendiri menyediakan banyak stan dan mengayomi berbagai UKM. Pengoptimalan fungsi menjadi kata mutlak.

Dari masa ke masa, PRSU mengalami banyak perubahan. Baik dari segi bangunan, hingga pengoptimalan kegiatan itu sendiri. Acara yang lebih dikenal sebagai ajang pesta rakyat ini awalnya memiliki nama Medan Fair. Bangunan Medan Fair berada di pusat Jalan Gatot Subroto. Dimana, sebelumnya merupakan makam dari masyarakat Tinghoa yang tinggal di Medan. Lokasi ini pun menjadi lokasi bersejarah karena saat dijadikan sebagai makam, dua orang Jendral Jepang pernah ditembak mati oleh sekutu pada 11 Juli 1949. Dua orang Jendral Jepang tersebut adalah Mori Take Tanabe dan Saiko Sikikan Kake. Dimana keduanya menjalani tugas sebagai tentara ke-25 untuk kepemimpinan militer seluruh wilayah Sumatera.

“Medan Fair itu seharusnya tidak hanya dikenal sebagai lokasi yang dahulunya sebagai tempat dimana masyarakat selalu datang beramai-ramai untuk melihat Sumut dalam versi mini. Jauh sebelum Medan Fair dibangun, lokasi itu pernah menjadi tempat bersejarah di zaman penjajahan. Dua orang jendral paling penting dari Jepang dieksekusi mati di lokasi tersebut. Mereka ditangkap dan ditahan, hingga diputuskan menjalani hukuman mati oleh pemerintah militer Belanda. Kedua jenazah dikremasi di tempat yang sama. Abunya sebagian dibawa ke Jepang dan sebagian lagi diletakkan di makam Tionghoa yang ada di kawasan Deli Tua,” kenang seorang wartawan senior Kota Medan, H. Muhammad Yusuf, Rabu (25/03).

Memiliki luas 4,5 hektar, makam diubah menjadi kawasan Medan Fair di akhir tahun 60-an oleh Walikota Medan ke-10, Sjoerkani yang menjabat dari 26 September 1966 hingga 3 Juli 1974. Pada tahun 1971 Medan Fair atau biasa disebut dengan Taman Ria resmi dibuka. Medan Fair menjadi acara yang selalu dinanti masyarakat setiap tahunnya. Medan Fair tak ubahnya sebagai ikon dari Sumatera Utara bagi provinsi-provinsi lain di Indonesia.

“Medan Fair dikemas sebagai pesta rakyat. Sebagai acara yang baru bagi masyarakat, Medan Fair membutuhkan publikasi yang baik. Itulah sebabnya dibentuk sebuah badan yang menangani informasi,” kata Humas pertama Medan Fair, Drs. H. Muhammad TWH.

Seiring berjalannya waktu, 32 tahun setelah Medan Fair diselenggarakan, lokasinya dipindahkan ke Tapian Daya yang sebelumnya adalah lokasi untuk Badan Pembina Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (BP7). Disebutkan pula bahwa Tapian Daya sempat menjadi bangunan termegah untuk kegiatan kesenian, se-Asia Tenggara pada zaman kepemimpinan Marah Halim Harahap dengan pembangunan yang menelan biaya hingga Rp 1,5 miliar. Tertulis pula siapa yang meresmikan bangunan megah ini pada masanya. Sebuah prasasti menjelaskan ‘diresmikan oleh Presiden Soeharto pada tahun 1973’ mulai rusak.

“Sebelum Medan Fair dipindahkan ke Tapian Daya, Walikota Medan yang saat itu menjabat sebenarnya ingin memindahkan Medan Fair ke daerah Sunggal. Di kawasan Sunggal terdapat lima hektar tanah. Tanah ini merupakan lahan yang seharusnya digunakan sebagai tempat para pencipta film. Saat itu, hubungan pemerintah dan para pekerja seni film sangat baik. Tiga film karya anak Medan sukses di Festival Film Indonesia (FFI), antara lain, Setulus Hatimu, Butet, dan Batas Impian. Lokasi yang diharapkan sebagai ajang untuk ‘unjuk gigi’ para pencipta film tidak berlangsung lama. Hanya dua film yang diproduksi setelah bangunan ini didirikan, yakni Musang Berjanggut dan Buaya Deli. Perubahan demi perubahan terjadi dan bangunan terbengkalai. Itulah sebabnya mengapa walikota mengusulkan Medan Fair dipindahkan ke Sunggal. Namun, tanpa alasan yang pasti usul tersebut ditolak. Medan Fair akhirnya dipindahkan ke Tapian Daya,” terang TWH.

Medan Fair dipindahkan ke Tapian Daya pada tahun 2003 dengan alasan luas wilayah. Tapian Daya memiliki luas hingga 6,7 hektar. Luas kawasan ini dianggap cukup untuk menampung 33 stan daerah kabupaten dan kota, juga menambah stan-stan UKM lebih banyak. “Kawasan yang sempit menjadi alasan utama. Tapian Daya memiliki kawasan yang lebih luas. Dibandingkan Medan Fair, Tapian Daya lebih luas 2,2 hektar. Ditambah lagi, saat itu pemerintah kota mengalami pemekaran. Seiring pemekaran wilayah, lokasi harus dipindahkan,” kata salah satu staff Yayasan PRSU, Eni Dalimunte.

Eni melanjutkan, pindahnya Medan Fair ke Tapian Daya memiliki banyak cerita. Khususnya nama dari tempat itu sendiri. Pada umumnya, sulit mengubah mindset masyarakat yang telah melekat sejak dahulu. Kepindahan Medan Fair tidak seutuhnya membuat masyarakat Kota Medan dengan mudah mengubah sebutan Tapian Daya. “Medan Fair memang telah pindah dan seharusnya disebut dengan Pekan Raya. Masyarakat tetap menyebutnya sebagai Tapian Daya,” lanjut Eni.

Dua belas tahun pasca kepindahan Medan Fair ke Tapian Daya, masyarakat menilai perpindahan lokasi mampu mengurangi jumlah pengunjung dan kurang diminati karena terlalu jauh. Faktor ini pula yang membuat jumlah pengunjung dan masa kejayaan PRSU terus terkuras. Benarkah?

“Untuk masalah lokasi, saya pikir tidak menjadi persoalan karena Tapian Daya berada di lokasi yang tidak kalah strategis. Ada banyak angkutan umum yang menuju kesini. Lokasinya cukup mudah untuk dijangkau. Sedangkan untuk masalah kejayaan, tidak dapat dibandingkan dengan Taman Ria. PRSU menyajikan berbagai kebudayaan setiap malam. Setelah magribh, selalu ada tari-tarian dari setiap daerah Sumut secara bergantian. Jika dahulu Taman Ria menjadi tempat yang banyak dikunjungi, itu karena zaman dahulu belum banyak mall atau tempat permainan masyarakat. Dibandingkan saat ini, masyarakat lebih suka memilih mall atau tempat perbelanjaan modern lainnya . Minat masyarakat untuk mempelajari dan mengenal kebudayaannya sendiri semakin berkurang dari masa ke masa. Pengaruh dunia global terlalu besar. Melihat kondisi ini pula lah mengapa konsep PRSU digelar lebih bersahabat dengan zaman. Band-band dari ibukota dihadirkan untuk menjawab keinginan masyarakat,” kata Ketua Yayasan PRSU, Drs. H. Taufik Margandi Lubis.

()

Baca Juga

Rekomendasi