Oleh: Pardison Yurlius.
Berkaitan dengan keamanan pangan, berita-berita di berbagai media dari waktu ke waktu tetap saja memprihatinkan. Sangat sering terjadi kasus keracunan makanan di masyarakat. Di samping itu sering diinformasikan macam-macam komponen makanan seperti zat pewarna sintetik, bahan pengawet, pemanis buatan seperti sakarin dan siklamat, dan lain sebagainya.
Kekhawatiran terhadap keamanan pangan ini meningkat seiring makin beragamnya produk makanan dari industri. Di industri pengolahan pangan, hampir selalu ditambahkan bahan kimia yang disebut Bahan Tambahan Pangan (BTP) yang digunakan untuk meningkatkan kualitas produk atau membantu pengolahan. Hal kedua yang membuat kekhawatiran bagi banyak orang adalah sering ditemukannya pelanggaran hukum, misalnya kecurangan atau pemalsuan dalam perdagangan pangan.
Untuk faktor pertama, yaitu kekhawatiran karena penggunaan BTP, sebetulnya hal ini lebih karena ketidaktahuan dan ketidakpahaman masyarakat umum tentang apa itu BTP, karena sebetulnya penggunaan BTP sudah ada aturannya. Adapun faktor kedua, yaitu karena pemalsuan atau adulterasi, inilah yang lebih mengkhawatirkan. Istilah adulterasi adalah pemalsuan atau pencampuran bahan pangan dengan bahan lain yang lebih rendah mutunya atau dengan bahan yang berbahaya, atau bahan yang dilarang digunakan. Penambahan formalin untuk mengawetkan pangan seperti ikan, mi, atau tahu merupakan contoh adulterasi. Contoh adulterasi lainnya adalah penggunaan bahan berbahaya, zat tersebut tidak termasuk BTP.
Persepsi Berbeda
Faktor-faktor yang menyebabkan pangan berpotensi bahaya tidak hanya bahan-bahan kimia seperti disebutkan di atas. Dalam bidang keamanan pangan, berbagai tipe faktor bahaya pangan dapat dikelompokkan dengan beberapa cara. Salah satu cara adalah berdasarkan evaluasi risiko yang melibatkan tiga macam kriteria utama, yaitu tingkat keparahan (severity), insiden (incidence), dan onset.
Tingkat keparahan menunjukkan tipe dan intensitas pengaruh keracunannya berkisar pada pengaruh ringan, pengaruh yang lebih serius tetapi masih reversible, sampai pengaruh sangat serius dan irreversible, termasuk mengakibatkan kematian. Insiden menunjukkan jumlah kasus atau frekuensi terjadinya kasus keracunan makanan. Adapun onset adalah lama waktu yang dibutuhkan dari mulai terkena zat yang bersifat toksik sampai timbulnya gejala keracunan, berkisar dari pengaruh segera (immediate) sampai pengaruh jangka lama dan kronis.
Berdasarkan kriteria tersebut dapat dibuat suatu ranking risiko, sehingga dapat diperoleh gambaran praktis masalah keamanan pangan secara keseluruhan. Hasil kajian ilmiah, potensi bahaya pangan dapat digolongkan menjadi 5 kelompok, yang urutannya sebagai gerikut:
1. Bahaya makanan karena mikrobia
2. Ketidakseimbangan gizi
3. Kontaminan kimi
4. Zat toksik alami dalam bahan
5. Bahaya karena BTP
Persepsi publik terhadap risiko bahaya makanan ternyata tidak sama dengan risiko yang dinilai berdasarkan kriteria yang disepakati oleh para ahli. Umumnya masyarakat mempunyai kekhawatiran tinggi terhadap zat-zat pengawet dan BTP lainnya. Suatu hasil survei menunjukkan ranking bahaya makanan menurut persepsi publik adalah: BTP, kontaminan lingkungan, bahaya karena mikrobia, toksin alami dalam bahan, dan Gizi tak seimbang.
Meskipun berbeda dengan persepsi publik, namun para ahli pangan tetap konsisten terhadap hasil kajian ilmiah yang urutan risikonya berlawanan seperti di atas. Bobot relatif risiko bahaya makanan yang aktual telah diranking sebagai berikut:
1. Bahaya makanan karena
mikrobia 100.000 kali.
2. Ketidakseimbangan
gizi 100.000 kali.
3. Kontaminan lingkungan
(pollutant) 100 kali.
4. Toksikan alami 100 kali.
5. Residu pestisida 1 kali.
6. Bahan tambahan pangan 1 kali. Dengan demikian, berdasarkan kajian ilmiah, ternyata risiko bahaya penggunaan BTP sangat kecil dibanding karena mikrobia atau lainnya, yang merupakan kebalikan persepsi publik.
Namun uraian tersebut bukan berarti kita boleh mengabaikan usaha kewaspadaan penggunaan BTP. Pemaparan ini dimaksudkan agar kita lebih meningkatkan lagi perhatian terhadap faktor mikrobia sebagai pengancam utama keamanan pangan. Karena itu kita perlu meningkatkan usaha sanitasi dan higene perusahaan pangan.
(Penulis dosen Akademi Keperawatan di Jakarta)