Oleh: Ingot Simangunsong.
AylAR Hagai menatap Abigail Agatha. Keduanya tersenyum bahagia, telah menerima pemberkatan dari Pendeta Benedict.
Aylar memasukkan cincin perkawinan ke jari manis Abigail. Begitu juga dengan Abigail, memasukkan cincin ke jari Aylar.
Pendeta mengumumkan, bahwa usai acara pemberkatan, pasangan pengantin akan melaksanakan penanaman pohon kasih di tanah leluhur, sebagai wujud kasih sayang dan kepedulian keduanya kepada lingkungan yang hijau dan asri.
Prosesi barisan pengantin untuk penanaman pohon kasih bergerak meninggalkan gereja. Seorang gadis cantik berada di barisan paling depan, membawa pohon beringin. Di belakang gadis cantik itu, berjalan Pendeta Benedict, disusul kedua pengantin dan keluarga serta undangan lainnya.
Tanah seluas dua hektar yang diwariskan kepada Aylar, persis menghadap ke hamparan luas kawasan Danau Toba. Dari ketinggian itulah, dengan rasa kagum yang luar biasa, kita dapat menatap keindahan Danau Toba dan kokohnya Gunung Pusuk Buhit.
Betapa pasangan pengantin ini, telah menggoreskan komitmen melalui media pohon kasih. Tidak terbayangkan, pada perayaan pernikahan perak mereka, 25 tahun mendatang, kerindangan pohon beringin akan semakin menambah keteduhan hati mereka dan keturunannya, menatap keindahan Danau Toba dan Gunung Pusuk Buhit.
Aylar didampingi istrinya Abigail, menyampaikan kata pengantar sebelum penanaman pohon. “Saudara-saudaraku yang terkasih di dalam nama Tuhan Yesus Kristus, gagasan untuk menanam pohon ini, bukanlah semata-mata ingin menunjukkan sesuatu yang meninggikan diri. Ini merupakan bentuk kerendahan hati kami terhadap rasa cinta kasih sayang. Pohon adalah penguat, pohon adalah tempat berteduh dan membuat keteduhan, serta menjadi lambang keteduhan bagi rumahtangga kami.”
Bagi Aylar, apa yang dikumandang para penyanyi dalam lyrik “tung so huloas ho ito diago arsak,tung so huloas ho tumatangis,” bukanlah sekadar ungkapan, tetapi pernyataan isi hati yang demikian dalam. Terkhusus dalam memberikan perlindungan dan rasa nyaman bagi pasangannya di kemudian hari.
Itulah yang ingin disampaikan Aylar melalui simbol penanaman pohon beringin tersebut. Senyuman Abigail ketika Aylar menanamkan pohon itu, membuat Aylar merasa semakin kuat untuk menjaga dan menyayangi wanita yang sangat dicintainya.
Pohon kasih itu telah ditanam. Abigail menyiram air kehidupan. Mereka berdua mengumandangkan doa-doa kepada Tuhan dari dalam hati masing-masing. Yang pasti, keduanya mendoakan agar pohon itu dapat bertumbuh bersamaan dengan pertumbuhan cinta kasih sayang mereka hingga ke anak-cucu.
***
Bagi Abigail, tidaklah berkurang tingkat kehormatannya sebagai seorang istri, jika harus lebih dominan aktif untuk memberikan curahan komunikasi, dan bagi Aylar, sisi agresif yang lebih tinggi dari istrinya, merupakan tujuan mulia. Untuk itu, Aylar tidak ingin memanfaatkannya menjadi alat penekan untuk menguasai kehidupan istrinya.
Bagi Aylar dan Abigail, ada kalimat yang senantiasa mereka jadikan sebagai pedoman dalam menjalani kehiupan rumahtangga, hingga mereka memiliki tiga buah hati yakni Galumbang Hatigoran, Shinta Uli, dan Poltak Hamonangan. Kalimat itu, “ihutononku do ho, bohannonku do ho dan haholonganku do ho”
Ihutononku do ho-bagi Aylar dan Abigail-menggambarkan kepatuhan dan panutan, bagi yang mengikuti dan diikuti. Si pengikut harus patuh dengan yang diikuti, dan yang diikuti harus menjaga agar menjadi panutan sehingga yang mengikutinya tidak ragu.
Bohanonku do ho—diikutsertakan untuk sebuah tujuan yakni keluarga bahagia, dan kebahagiaan tidak hanya diartikan pada kelimpahan harta benda. Yang lebih penting adalah bagaimana dalam setiap perjalanan hidup, senantiasa dimasukkan dalam doa, dan mereka memahami hal itu.
Haholonganku do ho—bagaimana mereka menunjukkan betapa kasih sayang adalah segalanya, yang harus dipupuk secara bersama-sama, tidak mungkin dilakukan sepihak saja.
Aylar selalu mengingatkan Abigail, “kita sudah menjadi bagian dari yang tidak terpisahkan satu sama lain, setiap kata, setiap kalimat dan setiap perbuatan, adalah milik kita bersama, dan wajib bersama-sama menjalani dan menikmati suka duka, maupun pahit-manisnya.”
***
Pendeta Benedict, sudah berusia 75 tahun dan sedang terbaring di tempat tidur. Sudah tiga tahun lamanya, tidak dapat menggerakkan kedua kakinya. Di samping pembaringannya duduk putri sasadanya Pendeta Dante Adelina.
“Dante, ini tanggal dan bulan berapa,” tanya Pendeta Benedict.
“11 April, bapak,” jawab Dante.
Pendeta Benedict terdiam dan pikirannya membayangkan 25 tahun silam, ketika ia memberkati Aylar dan Abigail serta pohon kasih. Tidak terasa sudah memasuki tahun perak. Bagaimana kabar pasangan yang memiliki pohon kasih itu?
Pendeta Benedict masih ingat, bagaimana ia memberikan nasehat kepada Aylar dan Abigail tentang pentingnya dibangun komunikasi kebersamaan antara pasangan suami dan istri.
“Komunikasi kebersamaan itu, tidak dilakukan sebelah pihak, harus secara bersamaan, dan tingkat kesadaran bersama itu, harus dilakukan dalam kesepakatan, terserah pasangan itu untuk membentuk kesepakatan seperti apa,” kata Pendeta Benedict.
“Dante, lusa tanggal 13 April, kita berangkat ke Samosir, siapkan semua keperluan untuk kesana. Bapak ingin melihat, bagaimana pertumbuhan pohon kasih yang ditanam pasangan yang bapak berkati. Tanggal 14 April, 25 tahun usia pohon kasih itu, apakah mereka akan berada di sana, merayakan perkawinan perak mereka,” kata Pendeta Benedict.
Dante menganggukkan kepala. Ia juga ingin melihat, bagaimana sebenarnya tentang pohon kasih tersebut, dan betapa teguhnya keyakinan bapaknya tentang kasih sayang pasangan Aylar dan Abigail.
***
Di lahan seluas dua hektar itu, berdiri sebuah rumah dengan ornamen Batak. Sungguh sangat sederhana, hanya memiliki tiga kamar tidur yang tidak lebar namun memiliki kamar mandi di setiap kamar, ruang tamu 5 x 7 meter melebar, ruang makan dan dapur. Di bagian belakang terdapat sebuah pendopo sama lebarnya dengan ruang tamu.
Bangunan itu, keseluruhannya terbuat berdinding papan dan tiang kayu. Sentuhan rumah adat Batak, demikian dominan. Di dalam ruang tamu, pada dinding bagian kanan rumah, menggelantung beberapa foto keluarga Aylar dan Abigail.
Yang kelihatan menonjol, adalah foto pemberkatan, dimana terlihat Pendeta Benedict saat meletakkan kedua telapak tangannya di kepala Aylar dan Abigail. Kemudian saat mereka menanam pohon kasih serta foto bersama Aylar dan Abigail dengan ketiga buah hati mereka.
Di halaman, kelihatan kesibukan warga yang sedang memasang tratak, karena 14 April akan ada perayaan perkawinan perak Aylar dan Abigail. Di sudut kanan halaman rumah itu, berdiri kokoh dengan dedaunan yang rindang, pohon beringin yang ditanam Aylar dan Abigail 25 tahun silam.
Pohon kasih itu tumbuh subur. Pendeta Benedict duduk di kursi roda, hanya dua meter dari pohon itu. Di belakangnya berdiri Pendeta Dante, putrinya.
“Sungguh Tuhan memberkati pasangan ini, kuasa Tuhan bekerja atas kasih sayang yang terpelihara di antara mereka berdua. Semoga pasangan yang ada didalam tangan Tuhan, dapat menauladani pasangan ini, amin,” kata Pendeta Benedict.
Pendeta Dante membatin, “Semoga Tuhan, kelak memberikan kebahagiaan yang sama terhadapku.”
Aylar dan Abigail, menghampiri Pendeta Benedict.
“Horas Amang Pandita,” Aylar menyapa.
Kemudian, keduanya bersimpuh memberi hormat di depan Pendeta Benedict, persis ketika 25 tahun lalu saat menerima pemberkatan. Pendekat Benedict mengangkat kedua tangannya dan meletakkan di kepala Aylar dan Abigail.
“Tuhan memberkati kalian berdua hingga selama-lamanya. Berdirilah, dimana cucu-cucuku,” kata Pendeta Benedict.
Galumbang Hatigoran, Shinta Uli, dan Poltak Hamonangan yang melihat adegan mengharukan tersebut, menghampiri Pendeta Benedict. Sama seperti kedua orangtuanya, mereka bertiga berbaris sesuai dengan urutan di hadapan Pendeta Benedict.
Galumbang yang sulung menyalam dan mencium tangan Pendeta Benedict, kemudian pendeta meletakkan tangan di kepala Galambung, memberikan berkat. Hal yang sama juga didapatkan Shinta dan Poltak.
“Jadilah anak-anak yang taat pada orangtua dan senantiasa takut kepada Tuhan,” kata Pendeta Benedict.
Pendeta Dante diperkenalkan Pendeta Benedict kepada Aylar dan Abigail. “Pendeta Dante ini, boruku sasada, dan akan bertugas di gereja HKBP dimana kalian menerima pemberkatan,” kata Pendeta Dante.
“Kalau Tuhan mengizinkan tiga tahun lagi, Pendeta Dante yang akan memberkati pernikahan Galumbang Hatigoran, bukankah begitu amang Pandita,” kata Abigail Agatha.
Pendeta Benedict tersenyum. Ada yang melintas di pikirannya, yakni ingin menikmati suasana yang menggembirakan ini, hanya bertiga bersama Aylar dan Abigail.
“Aku ingin selama setengah jam bertiga bersama kalian di bawah pohon kasih ini, “ kata Pendeta Benedict.
Pendeta Dante melepaskan pegangannya di kursi roda Pendeta Benedict dan melangkahkan kaki meninggalkan bapaknya. Hal yang sama, juga dilakukan Galumbang Hatigoran, Shinta Uli, dan Poltak Hamonangan.
“Aku merasa paling bahagia hari ini. Masih dapat melihat kalian berdua tumbuh berkembang sesubur pohon kasih yang kalian tanam. Kalian telah membuktikan betapa komunikasi kebersamaan itu, yang tidak sepihak melakukannya, dan tidak adanya penekanan-penekanan dalam berkeluarga, memberikan buah kebaikan yang demikian indah. Untuk semua itu, kusampaikan rasa terimakasihku kepadamu anak-anakku,” kata Pendeta Benedict.
Aylar dan Abigail yang berdiri di belakang Pendeta Benedict, sama-sama menundukkan kepala dan menghadiahkan ciuman di kedua pipi Pendeta Benedict.