Oleh: Wiedya Kristianti Angeline
BATUK sudah dianggap biasa selama ini. Namun bagaimana bila batuk hingga sekitar 100 hari dan tidak berhenti? Tentu saja tidak ada yang mau mengalaminya. Apalagi yang mengalaminya bayi, balita atau anak-anak, pasti kasihan sekali. Pertusis, yang bernama lain penyakit batuk rejan atau dalam bahasa Inggris whooping cough (karena sewaktu terjadi serangan batuk, maka di antara batuk yang bertubi-tubi itu akan terdengar suara tarikan nafas yang berbunyi seperti “whoop”), adalah satu penyakit yang dikenal menular.
Penyakit ini terjadi sekitar 30-50 juta kasus per tahun, dan menyebabkan kematian pada 300.000 kasus (berdasarkan data dari WHO). Penyakit ini biasanya terjadi pada anak berusia di bawah 1 tahun, karena sistem kekebalan tubuh pada bayi masih minim dan belum spesifik terhadap paparan penyakit. Perbandingannya untuk bayi dan anak-anak adalah 60 % dan untuk orang dewasa adalah 40 %. Diketahui pula bahwa sekitar sebanyak 90 % kasus ini terjadi di negara berkembang.
Penyebab penyakit yang terdengar mengerikan ini umumnya diakibatkan oleh Bordetella pertussis, yaitu salah satu bakteri gram negatif. Pada saat berada di dalam tubuh, bakteri tersebut melipatgandakan diri dan menghasilkan racun eksotoksin yang mempengaruhi kemampuan saluran pernapasan. Lendir yang tebal akan terbentuk di dalam saluran pernapasan, dan menyebabkan batuk yang tidak terkontrol. Bakteri juga dapat mengakibatkan pembengkakan yang mempersempit saluran pernapasan. Pertussis juga dapat diakibatkan oleh Bordetella parapertussis walaupun jarang dan klinisnya juga lebih ringan.
Faktor risiko pertussis dapat disebabkan oleh dua faktor utama. Vaksin pertussis yang pernah anda terima saat kecil akhirnya memudar. Hal ini membuat kebanyakan remaja dan orang dewasa rentan terhadap infeksi selama terjadinya wabah, dan kemudian berlanjut menjadi wabah biasa/reguler. Selain itu, anak-anak tidak sepenuhnya kebal terhadap batuk rejan sampai mereka menerima (setidaknya) tiga kali suntikan, yang juga berarti anak usia 6 bulan kebawah paling berisiko tertular infeksi.
Pertusis menular melalui droplet aerosol dari batuk atau bersin penderita, kemudian menyebar dan terhirup oleh orang sehat yang berada di dekat orang tersebut yang tidak mempunyai kekebalan tubuh yang kuat.
Waktu dari sejak terpapar dengan bakteri ini sampai nampak tanda dan gejala penyakit adalah sekitar 7 sampai 10 hari. Pertussis umumnya sulit didiagnosis secara dini karena gejala awalnya sering kali ringan dan mirip dengan flu biasa. Infeksi umumnya berlangsung selama 6 minggu, dan berkembang melalui 3 tahapan setelah masa inkubasi, yakni:
1. Tahap kataral (1-2 minggu)
Gejalanya menyerupai flu ringan, bersin-bersin, cairan hidung keluar terus menerus, mata berair, nafsu makan berkurang, lesu, demam ringan atau bahkan tidak ada, batuk kering.
2. Tahap paroksismal (2-4 minggu)
Batuk semakin parah hingga 5-15 kali, dan setiap batuk diakhiri tarikan nafas yang menghasikan suara “whoop” yang melengking dan berulang-ulang dengan cepat. Batuk atau lendir yang kental sering merangsang terjadinya muntah. Selama batuk, muka penderita kelihatan merah kebiru-biruan karena kekurangan oksigen, mata menonjol keluar, lidah terjulur, urat leher tegang, air mata tergenang dan lemas. Penderita terlihat normal di antara serangan, dan serangan sering terjadi pada malam hari.
Seringkali karena batuk sedemikian hebatnya, sehingga akan terjadi perdarahan dijaringan lunak sekitar mata. Pada bayi, serangan batuk dapat menyebabkan bayi tidak bernafas secara periodik, kekurangan oksigen dan gangguan metabolisme. Serangan batuk bisa diakhiri oleh penurunan kesadaran yang bersifat sementara. Stadium kedua merupakan stadium yang paling rentan. Tetapi pada orang dewasa, bayi dibawah 6 bulan dan orang yang terimunisasi parsial mungkin tidak mengalami rejan dan hanya sedikit paroksismal.
3. Tahap Konvalesen (4-6 Minggu)
Batuk semakin berkurang, muntah juga berkurang bahkan berhenti, anak tampak merasa lebih baik. Kadang batuk terjadi selama berbulan-bulan namun dengan frekuensi batuk rendah, biasanya akibat iritasi saluran pernafasan.
Antibiotik dapat diberikan untuk mengurangi terjadinya infeksi bakterial yang mengikuti dan mengurangi kemungkinan memberatnya penyakit ini (apabila diberikan cepat, sampai pada stadium kataral). Sesudah stadium kataral antibiotik tetap diberikan untuk mengurangi penyebaran penyakit, lalu antibiotik juga diberikan pada orang yang kontak dengan penderita, diharapkan dengan pemberian seperti ini akan mengurangi terjadinya penularan pada orang sehat lainnya terutama dalam keluarga (cocooning immunisation). Antibiotik yang biasa diberikan adalah golongan makrolid, terutama eritromycin.
Selain itu juga dianjurkan pada penderita untuk banyak beristirahat, minum banyak cairan untuk mengganti cairan tubuh yang hilang. Air, jus dan sup adalah pilihan yang baik. Khusus pada anak-anak, perhatikan juga tanda-tanda dehidrasi, seperti bibir kering, menangis tanpa air mata dan jarang buang air kecil. Makanlah dalam porsi kecil tapi sering, untuk menghindari muntah setelah batuk. Bila perlu, menguapkan ruangan menggunakan vaporizer untuk membantu menenangkan paru-paru yang teriritasi dan membantu mengendurkan sekresi pernapasan. Usahakan udara di dalam rumah bersih, jaga agar bebas dari iritan yang dapat memicu batuk, seperti asap tembakau dan asap perapian. Untuk mencegah penularan, pasien diisolasi sementara waktu, tutup mulut ketika batuk dan cuci tanganlah sesering mungkin. Jika harus berada di sekitar orang lain, gunakanlah masker.
Jika penyakitnya berat, penderita sebaiknya penderita dirawat di rumah sakit. Mereka akan ditempatkan di dalam kamar yang tenang dan tidak terlalu terang. Sebab keributan dapat merangsang serangan batuk. Pada kasus yang berat, oksigen diberikan langsung ke paru-paru melalui selang yang dimasukkan ke trakea. Untuk menggantikan cairan yang hilang karena muntah dan karena bayi biasanya tidak dapat makan akibat batuk, maka diberikan cairan melalui infus. Gizi yang baik juga sangat penting untuk diperhatikan.
Sebagian besar penderita mengalami pemulihan total, meskipun hal tersebut berlangsung lambat. Hanya sekitar 1-2% anak yang berusia dibawah 1 tahun meninggal. Kematian terjadi karena berkurangnya oksigen ke otak dan bronkopneumonia.
Cara terbaik untuk mengatasi penyakit ini adalah yang pertama tentunya dengan menghindari orang yang terinfeksi, kemudian dengan vaksinasi, yaitu pemberian vaksin yang terdiri dari bakteri pertussis yang telah dimatikan akan membuat bayi kebal tetapi tidak seumur hidup. Vaksin ini akan diberikan bersama-sama dengan vaksin difteri dan tetanus. Karena itu, imunisasi yang diberikan adalah DPT (Difteri, Pertussis dan Tetanus). Dokter biasanya merekomendasikan agar vaksinasi dimulai pada masa bayi. Vaksin ini terdiri dari lima rangkaian suntikan, biasanya diberikan kepada anak-anak pada usia 2 bulan, 4 bulan, 6 bulan, 15-18 bulan, dan 4-7 tahun.
Tingkat kekebalan dari vaksin pertussis cenderung berkurang pada usia 11, sehingga disarankan pula suntikan booster pada usia tersebut untuk melindungi kelompok usia remaja dari pertussis, difteri dan tetanus. Balita atau anak kecil kemungkinannya terinfeksi bakteri Bordetella Pertussis setelah imuninasi. Bila memang terinfeksi, biasanya tidak akan separah dengan yang tidak diberikan vaksinasi sebelumnya.
Bagi orang dewasa, selain untuk melindungi terhadap pertussis, vaksinasi juga akan mengurangi risiko penularan terhadap bayi. Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit merekomendasikan bahwa wanita hamil dapat menerima vaksin pertusis setelah 20 minggu kehamilan. Hal ini juga bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada bayi selama beberapa bulan pertama kehidupannya.