Menulis dan Terus Menulis

Oleh: Jhon Rivel Purba.

Dulunya saya menganggap bahwa orang-orang yang menulis khususnya di media cetak itu adalah mereka yang memiliki bakat khusus, cerdas, dan berwawasan luas. Anggapan seperti itu membuat saya kurang percaya diri menuangkan ide ke dalam tulisan. Untungnya, pada 2005 saya aktif di sebuah komunitas (Kelompok Diskusi dan Aksi Sosial, KDAS) yang “memaksa” anggotanya membaca, berdiskusi, dan membuat tulisan selebaran aksi serta buletin. Selain itu saya juga ikut beberapa kali pelatihan menulis. Dengan modal tersebut, pada September 2007 saya memberanikan diri mengirimkan dua buah tulisan (opini dan puisi) ke media cetak. Ternyata kedua tulisan tersebut dimuat. Saya sangat senang waktu itu. Ada kepuasan batin yang tak ternilai harganya. Rasa percaya diri pun semakin tinggi. Pada saat itu juga timbul keyakinan dan semangat bahwa saya bisa menulis dan harus terus mengasah kemampuan menulis.

Masing-masing orang (penulis) tentu memiliki pengalaman berbeda dalam belajar menulis. Tetapi yang terpenting dari semuanya adalah proses itu sendiri. Tidak ada yang instan seperti membalikkan telapak tangan. Belajar menulis itu ibarat menaiki anak tangga. Dengan latihan, satu per satu anak tangga bisa dilewati. Tetapi seorang penulis yang sudah merasa mapan (apalagi sombong) di satu anak tangga, maka dia akan sulit berkembang. Makanya, dalam belajar menulis itu butuh kesungguhan, kerendahan hati, keterbukaan, kejujuran, dan siap dikritik. Melalui tulisan ini, saya tidak bermaksud menggurui siapapun. Saya hanya ingin berbagi pengalaman dan kegelisahan. Pada saat yang sama, saya ingin mengingatkan diri saya sendiri untuk melakukan apa yang saya tulis dan mencoba terus menulis.

“Orang boleh pandai setinggi langit, tapi selama ia tidak menulis, ia akan hilang di dalam masyarakat dan dari sejarah. Menulis adalah bekerja untuk keabadian”, begitu kata Pramoedya Ananta Toer. Saya mungkin tidak akan bisa mengenal Pramoedya Ananta Toer jika dia tidak menulis. Demikian juga dengan Soekarno, Mohammad Hatta, Tan Malaka, Sutan Sjahrir, Ki Hadjar Dewantara, Soe Hok Gie, Wiji Thukul, tidak akan bisa kita kenal jika mereka tidak menulis atau setidaknya ditulis. Melalui tulisan-tulisan yang diwariskan, mereka menjadi inspirasi bagi generasi sekarang. Mereka dikenang dan dirindukan karena cita-cita perjuangannya yang diabadikan lewat tulisan.

Bagaimanapun juga tulisan menjadi alat paling kuat untuk menyebarkan kegelisahan, menyuarakan kebenaran, mempengaruhi orang lain, mempengaruhi kebijakan publik, dan memperjuangkan keadilan. Sejarah telah membuktikan hal ini. Perubahan selalu dimulai dari gagasan/keyakinan yang dituliskan dan disebarkan. Namun tidak semua tulisan bertujuan untuk kebaikan umum. Racun juga bisa ditebar lewat tulisan.

Penguasa yang korup dan kejam sangat takut pada tulisan-tulisan yang mengganggu kekuasaan mereka. Makanya tidak mengherankan jika ada pembredelan koran, pelarangan buku tertentu, dan intimidasi serta penghilangan terhadap aktivis/jurnalis pada masa rezim Orde Baru. Tujuannya adalah untuk menutupi keburukan dan ketidakadilan yang menguntungkan si penguasa dan kelompoknya. Pada saat yang sama, penguasa mereproduksi tulisan-tulisan (sejarah versi penguasa) untuk melanggengkan kekuasaannya.

Adapun Wiji Thukul adalah aktivis/seniman yang berjuang melawan rezim Orde Baru yang otoriter. “Jika aku menulis dilarang, aku akan menulis dengan tetes darah!”, demikian penggalan salah satu puisinya. Puisi-puisinya yang kritis dianggap sebagai ancaman bagi penguasa, sehingga dia dihilangkan, dan sampai sekarang belum ditemukan. Meskipun dia telah dihilangkan, tapi dia tetap hadir lewat puisinya. Dia tetap ada dan hidup dalam jiwa orang-orang yang melawan status quo yang anti rakyat. Dalam aksi-aksi demonstrasi, puisinya selalu diucapkan dengan lantang oleh massa aksi “hanya ada satu kata: lawan”. Puisinya menjadi percikan api yang membakar semangat jiwa banyak orang untuk melawan ketidakadilan.

Belajar menulis bukan berarti harus menjadi seperti Wiji Thukul, tetapi yang terpenting adalah bagaimana supaya tulisan-tulisan yang dihasilkan bisa bermanfaat bagi orang lain. Bisa menjadi inspirasi bagi orang lain. Biarlah Wiji Thukul dan teman-temannya menjadi inspirasi bagi kita, tetapi kita juga hendaknya menjadi inspirasi atau bermanfaat bagi orang lain.

Memang belajar menulis bukanlah segampang mengucapkannya. Biasanya hambatan seseorang menulis adalah kebingungan mau menulis tentang apa dan tidak percaya diri. Mengenai apa yang ditulis, tentu banyak hal yang bisa ditulis. Kuncinya adalah bertanya atas segala hal: apa yang kita lihat, dengar, pikirkan, rasakan, baca, dan tonton. Kita patut mempertanyakan kenyataan yang tidak seharusnya, mempertanyakan ketidakadilan, mempertanyakan segala persoalan yang ada.  Dari bertanya akan dengan sendirinya mengalir ide.

Belajar menulis itu tidak cukup dengan teori-teori dan pelatihan menulis. Seberapa banyak pun teori yang diketahui, tetapi jika tidak dipraktikkan maka hasilnya nihil. Oleh karena itu, harus ada keberanian, kerja keras dan cerdas (latihan) untuk mengasah kemampuan menulis. Seseorang tidak akan bisa menjadi perenang jika ia tidak masuk ke dalam air. Demikian halnya dengan menulis. Belajar menulis itu sama halnya dengan belajar berenang. Latihan, latihan, dan terus latihan adalah kuncinya.

Semua orang bisa menjadi penulis, asalkan memiliki kemauan dan kerja keras. Jadi kemampuan menulis itu bukanlah persoalan bakat, tetapi soal kemauan dan ketekunan. Sekali lagi, menulis dan terus menulis adalah kunci utama menjadi penulis. Menuliskan apa yang terlintas di kepala, apa yang diketahui, apa yang disukai, dan apa yang dikuasai. Selain itu perlu didukung juga dengan budaya membaca, berdiskusi, dan bersahabat dengan penulis. Menulis tidak bisa dipisahkan dengan membaca. Apa yang dibaca seorang penulis akan menentukan kualitas tulisannya. Apa yang dibaca adalah vitamin bagi tulisan. Kemudian, dengan berdiskusi akan menambah pengetahuan dan wawasan baru yang nantinya menjadi ide ataupun penyempurnaan sebuah tulisan.

Terakhir, bersahabat dengan penulis itu sangat penting untuk saling menajamkan dan saling memberi dukungan. Seseorang yang belajar menulis atau bahkan yang sudah terbiasa menulis sekalipun akan mengalami masa titik jenuh karena berbagai hal. Dalam kondisi seperti inilah sahabat sesama penulis akan dengan sendirinya membangkitkan kembali semangat menulis. Dengan bersahabat dengan penulis (lewat komunitas misalnya) juga mempermudah penyebaran ide, informasi, dan memperluas jaringan komunikasi.

Di zaman sekarang ini, ruang untuk menyebarkan tulisan sangat terbuka lebar baik di media online (blog, facebook, twitter, dan sejenisnya), media komunitas (buletin), media cetak (lokal dan nasional), dan penerbitan buku. Sangat disayangkan jika ruang dan kesempatan tersebut tidak dimanfaatkan dengan baik. Oleh karena itu, mari kita mengisinya dengan menulis dan terus menulis yang bermanfaat bagi orang lain, bangsa, dan negara. Sebab, bangsa yang besar adalah bangsa yang masyarakatnya gemar membaca dan menulis. ***

Penulis bekerja di Balai Pelestarian Nilai Budaya (BPNB) Manado.

()

Baca Juga

Rekomendasi