Oleh: Rhinto Sustono.
BERSAHAJA. Begitu gambaran singkat setiap kali kita menyaksikan film dokumenter yang menggambarkan kehidupan rakyat di nusantara pada masa lampau. Kesederhaan yang tergambar menyangkut banyak aspek kehidupan, dari tata cara bersosialisasi, pakaian, peralatan yang digunakan, hingga ritual tradisi untuk mencari keseimbangan hidup. Tidak kalah penting, kebiasaan yang tertata dalam ritual religiusitas.
Kebhinnekaan yang tercipta, menjadi karakteristik pembeda antara satu suku bangsa, etnis, dan anutan kepercayaan yang memperkaya khasanah ke-indonesiaan kini. Kelak, dengan mudah kita mengenali batik dan kebaya yang menjadi ciri khas Jawa, Melayu dengan songket yang indah, atau ulos yang memiliki filosofi sosial-kemasyarakat bagi orang Batak.
Dari ragam pembeda itu, ada satu hal menarik yang menyatukan kebiasaan lama orang Indonesia dalam beraktivitas, baik di keluarga maupun di tengah masyarakat. Yakni penggunaan wadah yang dibuat dan didesain menggunakan bahan tanah liat, dengan memanfaatkan kekayaan sumber daya alam tempatan. Wadah dari tanah liat ini, menjadi alat utama untuk menanak nasi pada masa silam: periuk tanah liat. Atau juga kendi dan gentong kendi kecil sebagai dupa persajian dan gentong untuk wadah menampung air yang sejatinya merupakan gerabah asli Indonesia.
Peralatan primer masyarakat itu, sampai kini pun masih banyak digunakan. Meski sebagian besar masyarakat sudah beralih kepada perkakasa modern yang berbahan plastik, logam, serat kaca, kaca, dan lainnya.
Sejak tembikar tertua ditemukan di Indonesia antara 3500-2500 SM berupa kendi dari Melolo, Sumba dan beberapa benda tanah liat dengan ragam hias bangun berulang dari Kalumpang, Sulawesi Selatan memungkinkan terjadinya eksplorasi dan teknik penyempurnaan dari sisi desainnya. Hingga pada puncaknya, pada masa kerajaan Majapahit abad ke-14 abad ke-16 masehi. Tidak hanya untuk keperluan perkakas sehari-hari, perkembangan desain tembikar menyentuh pada benda-benda seperti celengan, relief hiasan bangunan, juga patung-patung.
Hingga kini, perkembangan daya cipta pembuatan tembikar lebih diperkaya dengan eksplorasi desain bentuk dan sentuhan material lain (selain tanah liat). Sedangkan teknik pada tingkat proses pembuatan, masih banyak menganut tradisi lama: buatan tangan tulen dengan bantuan tatap batu dan roda pemutar, serta diakhiri pada tungku pembakaran.
Proses Pembakaran
Kita kerap bingung membedakan antara gerabah, tembikar, dan keramik. Hal ini memunculkan jalan pintas untuk menyimpulkan ketiganya adalah sama. Keramik menjadi sebutan masygul untuk mewakili tembikar dan gerabah. Dari banyak literatur bisa ditarik pemahaman jika tembikar merupakan benda-benda tanah liat berbentuk wadah yang dibakar dengan suhu panas sekitar 500 derajat Celcius. Pendapat lain menyebut, secara umum perkakas yang diproses dengan cara demikian disebut keramik.
Kesimpulan lain yang agak lunak dan bisa kita dijadikan rujukan adalah dengan membedakannya berdasarkan bahan, proses pembakaran, dan tahapan finishing. Pertama kita mengenal benda dengan sebutan porcelain – berbahan tanah liat putih atau kaolin yang dibakar dengan suhu sekitar 1.500 derajat Celcius. Kemudian ada stoneware dibuat dari bahan batuan dan dibakar dengan suhu sekitar 1.000 derajat Celcius misalnya kita kenali pada jenis piring batu. Yang terakhir earthenware dibuat dari tanah liat dan dibakar dengan suhu sekitar 500 derajat Celcius, gerabah masuk dalam kategori ini.
Sampai pada tahapan finishing untuk memberikan sentuhan artistik pada tampilan gerabah, maka akan disapukan ragam warna sesuai desain yang diinginkan. Paling akhir, gerabah yang sudah melewati pengecatan akan dilapisi dengan pelitur untuk mengilatkan, Jadilah ia disebut dengan tembikar.
Tembikar tanah liat bukanlah sesuatu yang baru bagi masyarakat Medan sekitarnya. Keberadaan tembikar dengan ragam desain yang terbarukan, kini hampir menggeser kecintaan masyarakat pada guci-guci impor berdesain kuno. Motif desain dan penggabungan material lain pun menjadikan tembikar semakin memadati sudut-sudut ruangan.
Ukuran tembikar yang juga disesuaikan dengan tingkat kebutuhan, juga kian merubah fungsi primer dari hanya sekadar peralatan rumah tangga kepada benda seni yang multi fungsi. Misalnya untuk tatakan lampu tidur, vas dan pot bunga, sebagai barang pajangan, hingga keperluan untuk menambah sentuhan indah pada ruang terbuka: taman dan koridor. Kehadirannya juga tidak hanya di rumah, tetapi juga di hotel, dan tempat umum lainnya.
Tembikar Lokal
Sumatera Utara adalah negeri yang kaya dengan sumber daya alam dan keunggulan SDM. Tidak berlebihan jika Pemprov Sumut mengusung tema sentral, “Optimalkan Kekayaan Sumber Daya Menuju Sumut Bangkit ” pada peringatan HUT ke-67 beberapa hari lalu. Kekaguman masyarakat dengan keramik dan porcelain China kuno yang banyak ditemukan dari peninggalan sejarah lampau, sudah saatnya dialihkan pada tembikar yang lebih modern, yang khas buatan lokal. Sehingga ekonomi kreatif daerah ini bisa bangkit dan mensejahterakan masyarakatnya.
Terkait desain tembikar lokal, Abdul Malik Sembiring di Sanggar Karya Cipta Lestari, Desa Wonosari, Tanjung Morawa sudah memulainya sejak berpuluh tahun lalu. Untuk penemuan desain terbaru, ia bahkan melakukan studi banding ke sejumlah perajin tembikar di berbagai kota di Jawa. Hasilnya, kini ia justru mampu menguasai pasar lokal bahkan menjadi pemasok untuk sejumlah kota di Sumatera dan Jawa.Soal desain jangan tanya. Desain tembikar Tamora ini tak berhenti pada bentuk persegi dan bulat dengan kombinasi warna pastel hingga paling mencolok, merah. Dari sisi ukuran, tersedia dari paling kecil hingga ukuran raksasa lebih 2 meter. Jangan tanya soal keunikannya, bahkan kadang kita sempat menduga dan tidak percaya jika tembikar yang kita lihat adalah produk tangan tulen di kampung yang tak jauh dari domisili kita.
Agar lebih menyeni dan elegan, Sembiring pun memadukan desain tembikarnya degan ragam materi lokal yang mudah didapat. Misalnya dengan balutan kulit rotan yang dipilin. Kulit telur yang kita anggap sampah, di tangan Sembiring menjadi karya kreati yang menghasilkan uang.
Ada juga gerabah yang dibalut cangkang kerang, pecahan kaca, dan bahan lainnya. Sehingga menjadi tembikar yang tampil mengkilap.Selain Sembiring, ada banyak perajin sama di kawasan Tanjung Morawa.
Namun Sembiring lebih unggul dan memiliki kelas pasar tersendiri. “Produk ini jadi salah satu andalan bagi Sumut.
Makanya setiap tahun kita juga memamerkan peroduk dari sini di pavilion Deliserdang pada gelaran PRSU,” ungkap Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Deliserdang H.Faisal Arif Nasution kepada Analisa di sanggar itu, beberapa waktu lalu.
Jika masyarakat luar Sumut saja demikian memburu produk lokal kita, masihkan kita akan tidak peduli dengan kekayaan daya cipta yang kita miliki? Bagaimana pun, desain dan produk tembikar lokal patut menjadi kebanggan kita, kebanggaan masyarakat Sumut.