Oleh: Bhikkhu Aggacitto
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
Festival Qing Ming (cerah dan cemerlang) atau di Indonesia lebih dikenal sebagai Cheng Beng (bhs. Hokkian) adalah salah satu hari ritual tahunan khusus bagi warga etnis Tionghoa untuk bersembahyang dan berziarah ke kuburan (kalau untuk orang Jawa biasa disebut Nyekar). Festival ini biasa jatuh pada hari ke 15 dari pertengahan musim semi, pada umumnya jatuh pada tanggal 5 April. Bagi orang Tionghoa hari ini merupakan momen sangat penting untuk mengingat dan menghormati kepada orang tua maupun leluhurnya. Festival Qing Ming atau Ceng Beng diprakarsai oleh seorang Kaisar Xuanzong dari dinasti Tang pada tahun 732. Dengan alasan, karena kebiasan buruk orang Tiongkok kuno mengadakan upacara pemujaan kepada orang tua maupun leluhur dengan cara terlalu mahal dan rumit. Dalam upaya untuk menurunkan biaya tersebut, Kaisar Xuanzong memaklumatkan bahwa penghormatan tersebut cukuplah dilakukan dengan mengunjungi kuburan orang tua maupun leluhurnya pada hari Qing Ming atau Ceng Beng.
Meskipun zaman sudah mulai banyak pergeseran yang telah membuahkan pola pikir seseorang terhadap sesuatu yang bersifat objektif namun kebiasaan atau kebudayaan Ceng Beng masih tetap melekat sangat erat didalam diri khususnya bagi warga Thionghoa. Lantas bagaimana pandangan Buddhis akan ritual kebiasaan kuno ini ditengah-tengah peradaban zaman yang modern ini…??? Dalam literatur Buddhis dan dari sudut kaca mata Dhamma (Ajaran Buddha), Pemujaan dan penghormatan merupakan suatu tatacara yang memang dianjurkan dan dipuji oleh para bijaksana, yang mana sebagaimana bentuk wujud rasa Katannukatavedi (yaitu sadar diri akan bagaimana cara dalam menunjukan rasa ungkapan bersyukur dan berterima kasih kepada mereka yang telah berjasa). Tindakan baik tersebut tidak hanya sebatas memiliki manfaat baik kepada mereka yang telah meninggal melainkan tindakan tersebut bila dilakukan dengan benar maka akan memiliki manfaat bagi pribadi yang melakukan, sebagaimana yang diuraikan didalam Mangala Sutta disebutkan bahwa; Puja ca pujaniyanam etammangalamuttamam menghormat kepada yang patut dihormati adalah suatu berkah utama. Seseorang yang menyadari akan hakekat hidup tentu ia akan mengerti bagaimana keterkaitan yang saling memiliki hubungan (kammabandhu) Seseorang bisa terlahir dan ada didalam dunia ini tentu semuanya karena adanya jasa orang tua, leluhur dan sanak saudara lainnya, tanpa ada mereka rasanya mungkin akan sangat sulit hal itu dapat terjadi.
Namun dalam kajian kaca mata Dhamma kebiasaan budaya warisan luhur ini akan sangat lebih baik lagi bila dibarengi dengan tindakan-tindakan yang memberikan arti baik kepada yang masih hidup maupun yang sudah meninggal, salah satu hal yang dapat dilakukan oleh keluarga yang masih hidup untuk orang tua, leluhur maupun keluarga lainnya yang telah meninggal adalah “Pattidana (Pelimpahan Jasa), Pelimpahan jasa merupakan bentuk implementasi ungkapan sebagaimana salah satu bentuk wujud dari rasa bakti dan hormat mereka yang telah meninggal. Didalam salah satu Sutta bagian dari Tipitaka juga ada diceritakan ketika Sang Buddha melakukan perjalanan dan sewaktu ditengah perjalanan beliau berhenti sejenak melihat setumpukan tengkorang manusia, setelah itu Sang Buddha Benamaskara didepan tumpukan tulang tersebut. Pattidana dilakukan karena adanya satu hal yang dapat menjadi pengharapan agar orang yang telah meninggal tersebut mengetahui serta merasakan perbuatan baik yang telah dilakukan dan dengan tujuan agar mereka ikut serta merasakan kebahagiaan (bermuditacitta) atas perbuatan kebajikan yang sudah dilakukan keluarganya, sehingga dengan cara demikian keluarga yang masih hidup dapat membantu memberikan sebuah kondisi yang baik, kondisi yg membahagiakan didalam diri mereka, bagi mereka yang mungkin masih terlahir dialam menderita. Sebelum seseorang melakukan pelimpahan jasa, seyogiyannya terlebih dahulu seseorang harus melakukan suatu tindakan/ perbuatan kebajikan, barulah kemudian dari tindakan kebajikan itu dilimpahkan, diungkapkan dan dikabarkan kepada mereka, ”Seperti air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang rendah, seperti air dari sungai besar mengalir mengisi lautan, demikian pula hendaknya semoga jasa kebajikan ini dapat dirasakan oleh orang tua, leluhur, keluarga dan semua makhluk. (Tirokudda Sutta, Khuddakapatha).
Untuk itu festival momen Ceng Beng dalam sudut pandang Buddhis bukanlah suatu kebiasaan yang tidak selaras namun justru hal itu adalah suatu kebiasaan yang patut dilestarikan, meskipun sebagian orang dalam memaknai hari tersebut dengan cara yang berbeda namun secara pandangan dan tujuan memiliki maksud yang baik. Semoga segala daya upaya yang dilakukan tersebut dapat mendorong serta dapat memberikan kebahagiaan bagi orang tua, leluhur, keluarga yang telah meninggal dan semoga dapat mendatangkan berkah bagi diri sendiri maupun keluarga.
Sadhu…Sadhu…Sadhu…