Oleh: Bhikkhu Khemanando Thera
Namo Tassa Bhagavato Arahato Sammasambuddhassa
Buddha dengan sangat tegas mengatakan bahwa ajaranNya bertujuan untuk melepaskan diri dari penderitaan. Penderitaan manusia hanya bersumber dari tiga akar kejahatan, yaitu Lobha (Keserakahan), Dosa (kebencian), dan Moha (kebodohan/kegelapan batin). Atau bisa dikatakan bersumber pada kegelepan batin/ketidaktahuan. Karena kegelepan batin/ketidaktahuan inilah maka kebencian dan keserakahan muncul dan berkembang sehingga berpotensi menggelapkan segalanya. Dengan memahami kata-kata diatas, maka kita mengerti bahwa untuk mencapai kebahagiaan kita harus melenyapkan kegelapan batin. Apabila kita membicarakan rukun dalam hidup berkeluarga, kita juga harus memahami kontek pernikahan dalam agama Buddha. Mari kita menganalisa beberapa dasar untuk keharmonisan sebuah keluarga, dan apa saja yang mendukung keharmonisan tersebut.
Apakah agama Buddha menganjurkan sebuah pernikahan?
Jika kita mengingat kata-kata bijak yang sering kita dengar yaitu “Hidup Adalah Pilihan”. Setiap orang berhak memilih hidupnya masing-masing dan tergantung pilihannya sendiri. Ada yang ingin jomblo selamanya….itu juga hak mereka untuk menjomblo. Banyak orang mengatakan jika menjomblo lebih membahagiakan daripada menikah…WHY NOT? Bahwa kebahagiaan tertinggi bukan di dalam sebuah pernikahan melainkan hati yang terarah dengan baik yang bebas dari segala hal. Ada sebagian orang tidak menikah dan menjadi seorang bhikkhu tetapi mereka berkarya untuk orang lain, dan bahkan mampu membuat banyak orang memiliki kesempatan untuk mengembangkan bakatnya. Ada yang menjadi bhikkhu, yaitu meninggalkan kehidupan berumah tangga. Mereka melakukan latih diri demi kebahagiaan diri sendiri dan kebahagiaan orang lain. Contoh Ajahn Man, Ajahn Chah, Ajahn Brahm, Bhante Jinadhammo, Luangpor Art, dll yang telah banyak memberikan sumbangsih kepada umat dan masyarakat lainnya. Dan ada yang menikah, memiliki suami, istri dan anak. Jelas, bahwa Buddha tidak menganjurkan umat Buddha menikah dan Buddha juga tidak melarang umat Buddha menikah.
Dalam hal ini, Buddha mengerti bahwa tidak semua orang bisa menikah dan tidak semua orang bisa menjadi bhikkhu, sehingga menikah atau tidak adalah pilihan masing-masing. Umat Buddha tidak di paksa untuk menjadi bhikkhu atau harus menikah.
Bolehkah umat Buddha memiliki suami atau istri lebih dari satu?
Kesetiaan dan kasih sayang adalah hal yang patut dipuji. Kesetiaan dan rasa cinta patut diuji, hal itu tida hanya dalam kata-kata saja. Tidak sedikit perumah tangga yang tidak rukun ketika mereka mengetahui dari salah satu mereka memiliki lebih dari satu. Buddha mengatakan Santutthi paramam Sukham; kepuasan adalah kebahagiaan. Puas memiliki satu, tidak lebih adalah sebab kebahagiaan. Sifat yang mudah puas adalah sifat yang dipuji dalam Ajaran Buddha. Dengan demikian, tidak ada kata-kata Buddha menginjinkan atau bahkan menyuruh seseorang memiliki istri atau suami lebih dari satu. Dalam agama Buddha dijelaskan bahwa perumah tangga harus memiliki empat pilar kerukunan menurut Ajaran Buddha, yakni;
1. Saddha; atau keyakinan, memiliki keyakinan dalam artian “ia yakin dan percaya pada penerangan Agung dan Buddha itu sendiri (Majjhima Nikaya, 53). Namun keyakinan tersebut harus masuk akal dan berdasarkan pengertian atau pemahaman yang benar” (Majjhima Nikaya, 47), dengan demikian patut di selidiki dan diuji apa yang diyakini (Majjhima Nikaya 47-49). Sehubungan dengan pengertian atau rumusan tentang keyakinan dalam Samyutta Nikaya, 45 dikatakan “Seseorang yang memiliki pengertian, mendasarkan keyakinannya sesuai dengan pengertian.” Sehingga praktek, penalaran, dan pengetahuan sangat menentukan tingkat keyakinan dari yang bersangkutan. Jelas dikatakan bahwa seseorang yang memiliki penalaran, pengalaman (praktek) dan pengetahuan yang baik, sangat memungkinkan ia memiliki perilaku yang baik dan mampu membuat dasar yang kuat untuk menciptakan kerukunan dan keharmonisan sebuah keluarga.
2. Sila; Perilaku, atau pelaksanaan latihan peraturan moral. Sila bukan peraturan larangan, tetapi ajaran moral dengan tujuan agar umat Buddha menyadari akan akibat yang baik bila melaksanakannya dan akibat buruk bila tidak melaksanakannya. Setiap orang bertanggungjawab atas perbuatannya sendiri. Sehingga menurut agama Buddha, setiap individu harus bertindak dewasa dan bijaksana dalam perilakunya. Pada kontek ini, sila yang dimaksud adalah Pancasila Buddhis; bertekad tidak membunuh, bertekad tidak mengambil barang yang bukan miliknya, bertekad untuk tidak berzinah, bertekad tidak berbohong/berkata kasar, dan bertekad tidak mabuk-mabukan yang menyebabkan lemahnya kesadaran. Jika seorang perumah tangga memiliki sila yang baik, maka kehidupan rumah tangga mereka akan menjadi harmonis dan rukun. Di dalam Anguttara Nikaya, Buddha bersabda pelaksanaan sila membawa manfaat serta menghasilkan kebebasan dari penyesalan, kebebasan dari penyesalan membawa suka cita, kegiuran, ketenangan dan kebahagiaan serta pemusatan batin.
3.Caga; kemurahan hati, kedermawanan, kasih sayang yang dinyatakan dalam bentuk pertolongan melalui perbuatan atau kata-kata, serta tanpa ada perasaan bermusuhan, dan iri hati. Jika seorang perumah tangga memiliki sifat-sifat diatas, dijamin mereka hidup rukun dan bahagia.
4. Pañña atau kebijasanaan; sebagai hasil dari pengalaman, penalaran, dan pengetahuan. Kebijaksanaan merupakan dasar dari perkembangan mental, moral, spiritual dan intelektual seseorang. Perumah tangga akan bahagia dan rukun apabila kedua belah pihak telah mencapai tataran-tataran batin seperti yang disebutkan diatas.
Memiliki empat pilar kerukunan, maka sepasang suami istri mudah menyebrangi lautan hidup berkeluarga yang penuh dengan suka dan duka beserta tantangan-tantangannya. Kebijakan yang sebanding membuat suami dan istri akan hidup saling mengerti, saling percaya sehingga masalah rumah tangga yang sedang dihadapi dapat dipecahkan bersama dengan baik.
Namun, untuk menemukan pasangan yang serasi se-ia dan se-kata adalah tidak mudah, ternyata banyak pasangan suami-istri memiliki sifat atau perangai yang tidak sama. Dengan kata lain perangai pasangan suami–istri adalah berlainan satu dengan lainnya.
Faktor-Faktor pendukung keharmonisan
1. Komunikasi: ucapan yang ramah adalah kunci kerukunan dan keharmonisan perumah tangga.
2. Mental : suami dan istri sebagai teman baik, sahabat dan relasi yang saling mendukung.
3. Saling Mengerti; saling mengerti hal-hal yang disenangi dan tak senangi pasangan. Suami-istri harus mampu hidup bertoleransi dan menghilangkan rasa ego masing-masing pihak.
4. Kesabaran; sebuah pasangan yang mengutamakan dan menjunjung tinggi kesabaran adalah ia telah menjalankan praktek Ajaran yang tertinggi. Buddha bersabda; “Kesabaran adalah latihan tertinggi” (Ovada Patimokkha).
Kesimpulan
Inilah keempat pilar kerukunan yang sulit mengakibatkan perselisihan antar suami isteri. Keempat hal ini seharusnya dipelajari oleh seorang Buddhis demi kesejahteraan dirinya dan orang lain. Inilah kunci kerukunan dan keharmonisan hidup berkeluarga ala Buddhis.
Sabbe Satta Bhavantu Sukhitata
Sadhu…Sadhu…Sadhu…