Banyak Suku Punya Tradisi Makan Sirih

Medan, (Analisa). Tradisi makan sirih di Provinsi Su­matera Utara pada zaman dahulu meru­pakan elemen penting dalam hubungan so­sial. Bahkan, makan sirih selalu iden­tik dalam acara perkawinan di sejumlah suku yang ada di daerah ini.

“Makan sirih selalu identik dengan acara perkawinan di sejumlah suku yang ada di Sumut. Apalagi perka­wi­nan adalah fase penting dalam hidup manusia. Sirih merupakan elemen pen­ting dalam hubungan sosial maupun seksual kedua mempelai,” kata Kepala Museum Negeri Sumut, Sri Hartini, melalui Fungsional Museum Sumut Martina Silaban kepada wartawan di stand Museum Negeri Sumut beberapa waktu lalu. Dia didampingi Kasubag TU Mu­seum Sumut Sepakat Sebayang, Sek­disbudpar/PPTK Avon Syaffrullah Na­sution, dan Kasi Konservasi/Pre­parasi Hernauli Sipayung.

Berbagai jenis peralatan makan sirih pada tradisi dulu menjadi catatan se­jarah. Museum Negeri Sumut me­nyim­pannya dengan baik. “Dalam situasi tertentu, barang tersebut kita pamerkan seperti pada Pekan Raya Sumatera Utara (PRSU) belum lama ini,” ucapnya.

Acara lamaran

Dijelaskan, selain dalam acara per­nikahan itu sendiri, sirih juga disertakan dalam acara pertunangan atau lamaran. Sirih merupakan pem­buka dalam diskusi mengenai pasa­ngan, mas kawin dan hal-hal penting lainnya, untuk per­siapan upacara perkawinan. Diteri­ma­nya sirih akan menandakan persetujuan terhadap lamaran yang diajukan.

Dalam upacara meminang dalam adat Melayu misalnya, sirih dan segala kelengkapannya adalah hal yang tak bisa ditinggalkan. Demikian juga pada suku Karo ada prosesi yang disebut mbaba belo selambar, upacara lama­ran yang secara harfiah berarti mem­bawa sehelai sirih.

Berbagai perlengkapan makan sirih yang ada di Sumut, sebutnya, seperti puan yang terbuat dari logam, ku­ni­ngan, perak dan emas. “Puan ini ber­ben­tuk bundar atau segi enam. Ke­mu­dian cerana, fungsinya hampir sama dengan puan, cuma berbentuk nampan berkaki dan biasanya diguna­kan saat acara adat Melayu,” katanya.

Dia mengatakan, peralatan makan sirih lainnya seperti tepak, dompet aya­man terbuat dari daun pandan yang be­rasal dari Karo, bolanafo dari Nias, tap­pa salipi dipakai pada adat Ang­kola/Mandailing, dongsi dipakai da­la­m adat Pakpak, dan tepak juga dipakai dalam adat Karo. Selanjutnya, ada wa­dah tem­bakau, wadah kapur, pani­tuan napuran dari Batak Toba, ketur dan kacip.

Dikatakannya, beberapa pakaian pe­ngantin tradisional juga masih di­leng­kapi dengan penginangan. Misal­nya pengantin wanita Karo membawa kam­pil, pengantin wanita Pakpak mem­bawa ucang marsemsem, dan pe­ngan­tin wanita Angkola/Mandailing mem­bawa tappa salipi. “Semua ini, ada aset budaya kita yang patut kita lesta­rikan,” katanya. (nai)

()

Baca Juga

Rekomendasi