Oleh: Hidayat Banjar. IZINKAN saya ikut dalam polemik, Nevatuhela dan Lea Willsen berkaitan dengan diksi. Nevatuhela membahas puisi Lea Willsen ”Minim Diksi dalam Puisi Sepasang Kekasih Lea Willsen” (Rebana, 8 Febuari 2015). Puisi itu dimuat pada 23 November 2014 di Rebana. Tulisan Nevatuhela tersebut ditanggapi penulis puisi (Lea Wilsen) dengan judul “Haruskah Puisi Bersayap?” (Rebana, 01 Maret 2015).
Jujur saja, saya agak terperanjat membaca tulisan Lea Willsen. Mengapa tidak, sebagai seorang penulis puisi, cerpen, novel dan karya sastra lainnya, kuranglah pantas jika karya kita dikritik (ditanggapi), lantas kita tanggapi lagi.
Manakala kata-kata (karya) sudah kita publikasikan, maka dia milik publik. Artinya, para pembaca (akademisi ataupun tidak) punya hak untuk menanggapinya. Nevatuhela, meskipun tidak pernah belajar khusus mengapresiasi maupun mengkritik puisi secara akademis -menurut teori resepsi- punya hak untuk menanggapi.
Sudahlah, kita ikuti saja ungkapan Voltaire: “Meskipun pendapatmu tidak aku setujui, tapi hakmu untuk berkata-kata akan aku bela sampai mati”. Ya, meskipun kita tak setuju dengan Lea Willsen yang menanggapi tanggapan Nevatuhela terhadap puisinya, tapi haknya (Lea Willsen) untuk berkata-kata wajib kita bela.
Membentuk Kata
Jika menulis atau berbicara -kecuali bahasa isyarat- kita tentu menggunakan kata. Kata dibentuk menjadi kelompok kata, klausa, kalimat, paragrap dan akhirnya sebuah wacana. Di dalam sebuah karangan, diksi bisa diartikan sebagai pilihan kata pengarang untuk menggambarkan sebuah cerita.
Diksi bukan hanya berarti pilih memilih kata. Melainkan digunakan untuk menyatakan gagasan atau menceritakan peristiwa juga meliputi persoalan gaya bahasa, ungkapan-ungkapan dan sebagainya. Gaya bahasa sebagai bagian dari diksi yang bertalian dengan ungkapan-ungkapan individu atau karakteristik, atau memiliki nilai artistik yang tinggi.
Jika menurut Nevatuhela “Diksi yang Mengabadikan Haiku” (Rebana, 29 Maret 2015, halaman 7), sejatinya tidak hanya puisi yang memerlukan diksi. Jika surat kabar mengabaikan suara hati (consience) masyarakatnya, samalah dia dengan seteman kertas untuk pembungkus ikan basah (Joseph Pulitzer).
Kenapa Pulitzer -Bapak Pers Dunia itu- menggunakan kata (diksi): suara hati masyarakat, seteman kertas, ikan basah? Suara hati masyarakat (frase abstrak) untuk menggabarkan nilai-nilai yang diperlukan oleh media cetak. Seteman kertas (frase nyata) untuk menggabarkan sekelompok, satu kumpulan atau sama saja. Ikan basah (frase konkrit), penegasan, kalau kertas yang digunakan untuk pembungkus ikan basah, pasti seketika akan hancur (lumer).
Politik itu kotor, puisilah yang membersihkannya demikian Jhon F Kennedy salah seorang mantan Presiden Amerika Serikat secara terbuka pernah berujar. Tidakkah kata-kata: kotor, puisi, membersihkannya merupakan diksi? Apa yang diungkapkan Kennedy puluhan tahun lampau masih dikenang karena diksi!
Kennedy mengingatkan politikus, betapa politik memerlukan hati nurani yang dilambangkan dengan puisi. Asas politik yang kotor -menurut perspektif Kennedy- karena targetnya hanyalah menang atau mempertahankan. Asas kesusastraan adalah menyuarakan humanisme universal. Dua kutub yang berbeda ini harus duduk berdampingan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sehingga terbangun cakrawala politik yang berhati nurani.
Definisi Diksi
Diksi adalah pemilihan kata-kata yang sesuai dengan apa yang hendak diungkapkan. Diksi atau pilihan kata mencakup pengertian kata-kata mana yang harus dipakai untuk mencapai suatu gagasan. Bagaimana membentuk pengelompokan kata-kata yang tepat atau menggunakan ungkapan-ungkapan. Gaya mana yang paling baik digunakan dalam suatu situasi.
Diksi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Indonesia adalah pilihan kata yang tepat dan selaras (dalam penggunaannya). Untuk mengungkapkan gagasan, sehingga diperoleh efek tertentu (seperti yang diharapkan). Fungsi dari diksi antara lain:
·Membuat pembaca atau pendengar mengerti secara benar dan tidak salah paham terhadap apa yang disampaikan oleh pembicara atau penulis.
·Untuk mencapai target komunikasi yang efektif.
·Melambangkan gagasan yang diekspresikan secara verbal.
·Membentuk gaya ekspresi gagasan yang tepat (sangat resmi, resmi, tidak resmi) sehingga menyenangkan pendengar atau pembaca.
Manfaat diksi, pertama untuk dapat membedakan secara cermat kata-kata denotatif dan konotatif, bersinonim dan hampir bersinonim, kata-kata yang mirip dalam ejaannya. Kedua, dapat membedakan kata-kata ciptaan sendiri dan juga kata yang mengutip dari orang terkenal.
Beberapa contoh kalimat diksi:
1.Sejak dua tahun lalu, dia membanting tulang untuk memeroleh kepercayaan masyarakat.
2. Dia wanita cantik (denotatif).
3.Dia wanita manis (konotatif).
4.APBN RI mengalami kenaikan lima belas persen (kata konkrit).
5.Kebenaran (kata abstrak) pendapat itu tidak terlalu tampak.
Makna Denotatif dan Konotatif
Makna denotatif adalah makna asli, makna asal atau makna sebenarnya yang dimiliki sebuah kamus. Contoh: Kata kurus, bermakna denotatif keadaan tubuhnya yang lebih kecil & ukuran badannya normal.
Makna konotatif adalah: makna lain yang ditambahkan pada makna denotatif tadi yang berhubungan dengan nilai rasa orang/kelompok orang yang menggunakan kata tersebut. Contoh: Kata kurus pada contoh di atas bermakna konotatif netral. Artinya tidak memiliki nilai rasa yang mengenakkan. Tetapi kata ramping bersinonim dengan kata kurus itu memiliki konotatif positif, nilai yang mengenakkan. Orang akan senang bila dikatakan ramping.
Terkadang banyak eksperts linguistik di Indonesia mengatakan, makna konotasi adalah makna kiasan, padahal makna kiasan itu adalah tipe makna figuratif, bukan makna konotasi. Makna Konotasi tidak diketahui oleh semua orang atau dalam artian hanya digunakan oleh suatu komunitas tertentu. Misalnya Frase jam tangan.
Contoh: Pak Saleh, seorang pegawai kantoran yang sangat tekun dan berdedikasi. Dia selalu disiplin dalam mengerjakan sesuatu. Pada saat rapat kerja, salah satu kolega yang hadir melihat kinerja beliau dan kemudian berkata kepada sesama kolega yang lain “Jam tangan Pak Saleh bagus, ya”.
Dalam ilustrasi di atas, frase jam tangan memiliki makna konotasi yang berarti disiplin. Makna ini hanya diketahui oleh orang-orang yang bekerja di kantoran atau semacamnya yang berpacu dengan waktu. Dalam contoh di atas, Jam Tangan memiliki Makna Konotasi Positif karena sifatnya memuji.
Jelas bukan, diksi diperlukan tidak hanya dalam puisi.
Penulis; Pengajar Bahasa Indonesia dan Teknik Penulisan Ilmiah di Sekolah Tinggi Agama Buddha (STAB)Bodhi Dharma