Oleh: Elfa Suharti Harahap. Letaknya masih berada di sisi kanan Istana Maimoen. Dinaungi oleh ruangan 5x6 meter bermotif kotak-kotak. Sebelum masuk ke lokasi tersebut, terdapat tanda yang bertuliskan ‘Meriam Puntung 8 meter’. Tak jauh dari sana, terdapat prasasti yang menjelaskan asal muasal Meriam Puntung. Berjalan lurus mengikuti jalan utama, pengunjung dengan mudah menemukan lokasi ini. Wanita berumur 47 tahun bernama Sarida langsung menyambut ramah kedatangan setiap tamu.
“Tiga ribu rupiah saja jika ingin masuk,” katanya.
Tempat ini terasa sejuk didalamnya. Pengunjung melihat-lihat dengan teliti. Sesekali ada yang bertanya kepada Sarida. Meriam Puntung diletakkan di bawah sebuah tempat yang atapnya terbuat dari ijuk. Di sisi kanan dan kiri terlihat jelas gambar kepala kerbau. Dilihat lebih teliti, atapnya berbentuk rumah adat Karo. Bagian atas Meriam diletakkan berbagai macam warna bunga, mulai dari merah, kuning dan putih. Melirik sedikit ke arah kiri, ada sebuah mangkuk berwarna putih yang diisi air. Terdapat pula hiasan yang biasa digunakan masyarakat pada pernikahan. Biasa disebut bale-bale.
Seorang anak Sekolah Menengah Pertama (SMP) terlihat takjub saat meletakkan telinganya ke lubang Meriam. Sebab, lubang berdiameter dua centimeter tersebut menghasilkan suara berdengung. Kisah dari Meriam Puntung berasal sejak kerajaan Aru berdiri pada 1612 atau 20 tahun sebelum kerajaan Deli berdiri. Meriam Puntung dipercaya sebagai seorang putri cantik dari kerajaan Aru.
Seorang Pangeran Aceh ingin meminang sang putri, namun keinginannya tidak dapat dipenuhi. Penolakan Putri Hijau mengakibatkan perang besar antara kerajaan Aceh dan kerajaan Aru. Konon katanya, Saudara laki-laki Putri Hijau dapat berubah menjadi meriam. Perang membuat Meriam terbelah dua. Satu sisi berada di tanah melayu dan satu sisi terbelah ke Desa Sukanalu Simbelang Kecamatan Barusjahe tanah Karo bersama pelurunya.
Di balik sejarah Putri Hijau yang selalu dikaitkan dengan kecantikan dan peperangan, Meriam Puntung dikatakan pernah berpindah tempat sekitar dua meter dari ruangannya.
“November 1995, Meriam pernah ditemukan berada dua meter di depan pintu ruangan ini. Masyarakat sekitar yang menemukan. Padahal, pintu ruangan terkunci dengan baik dan tidak mengalami kerusakan. Tidak ada yang tahu pasti mengapa bisa keluar,” kata Sarida.
Kejadian-kejadian di atas bukanlah sebuah kejadian yang dianggap aneh. Meriam Puntung menjadi salah satu benda yang dikeramatkan di Kota Medan. Kehadirannya banyak memberikan nilai. Para pengunjung dari berbagai daerah pada umumnya ingin mengenal dan belajar sejarah. Bagi segelintir orang, Meriam Puntung dianggap sebagai nenek moyang mereka. Berbagai ritual atau hanya sekedar membacakan doa kerap dilakukan disini.
“Mereka yang datang biasanya memiliki niat seperti ingin memiliki keturunan atau baru sembuh dari sakit. Saya sendiri awalnya tidak terlalu yakin. Setelah menikah, saya dan suami saya lama diberi keturunan. Sebagai penjaga Meriam Puntung, suami saya menyarankan berdoa disini saja. Saya melakukannya, tapi tetap memintanya pada Allah. Satu bulan kemudian, entah secara kebetulan atau tidak, saya dikabarkan hamil,” kenangnya.
Bagi Sarida, ritual seperti meletakkan bunga diatas Meriam atau meletakkan bale-bale di dalam ruangan tidak menjadi masalah. Bunga memberikan keindahan tersendiri di dalam ruangan. Begitu pula dengan bale-bale yang diberikan. Lain orang, lain niatnya. Beberapa kali, bangunan Meriam Puntung sempat diperbaiki oleh pengunjung karena keinginannya terkabul. Memberikan sedekah atau makanan juga tidak sedikit.
“Saya selalu bilang, meminta pada Tuhan meski berdoanya disini. Pernah ada yang menangis sampai meraung-raung. Saya mengatakan jangan terlalu berlebihan karena ada Tuhan yang maha mengetahui. Saya pulak yang dimarahi. Anehnya lagi, ada yang ingin menyembelih kambing di dalam ruangan. Ritual seperti ini dilarang. Mereka bisa saja menyembelih kambing, asal di luar ruangan. Itu sama saja, kan masih di lokasi yang sama,” lanjutnya.
Wanita paruh baya berpakaian rapi masuk ke dalam. Dia langsung duduk di sebelah Meriam. Dia membaca doa dengan khusuk. Tidak jelas doa apa yang dibacanya. Tidak terlalu lama, hanya sekitar lima menit. Dia tersenyum dan memberikan uang sebesar tiga ribu rupiah kepada penjaga.
“Memberikan doa saja tidak ada masalah menurut saya. Sama seperti berziarah. Kita hanya mengenang. Saya sendiri tidak terlalu sering. Jika sempat, saya kesini untuk berdoa, jika tidak ya tidak. Tidak ada keinginan atau sejenisnya. Bedoa saja untuk kebaikan,” kata wanita yang tidak ingin disebutkan namanya.
Satu dari banyak tempat yang sama, makam Datuk Darah Putih tidak jauh berbeda. Terletak di Jalan Palang Merah Medan. Lokasinya tepat dibelakang Kantor Imigrasi Polonia Medan. Ditutupi pagar besi berwarna hijau dan berdinding tinggi, makam tidak terlihat dari luar. Terdapat dua makam berwarna putih. Di antara makam terdapat sebuah kendi berukuran sedang berdiameter 50 centimeter. Kendi digunakan untuk meletakkan dupa setelah selesai berdoa. Makam pertama terlihat tinggi dibandingkan makam kedua. Makam lebih tinggi adalah makam Datuk Darah Putih. Tepat yang ada di sebelahnya merupakan makam istri datuk. Makam terlihat sedikit aneh karena tidak ada keterangan nama, tanggal lahir dan tanggal meninggalnya datuk. Nisan Datuk Darah Putih berbentuk persegi dengan ukiran-ukiran dibagian bawah. Ukiran bagian atas memudar. Nisan istrinya jauh berbeda. Lebih berbentuk seperti tanda salib yang semakin ke atas semakin mengecil dan memiliki ukiran lebih banyak. Satu-satunya tanda yang membenarkan bahwa itu adalah Makam Datuk Darah Putih ada pada tulisan di batu marmer yang diletakkan di tempat terpisah di dekat kepala makam.
“Makam Datuk Darah Putih adalah Datuk Kesawan yang beristrikan Datuk Aceh. Pada makam datuk terdapat beberapa ukiran-ukiran kuno melayu tua. Salah satu jenis ornamennya bernama lapan petale. Ornamen jenis ini tidak ada lagi di bangunan Melayu manapun di Kota Medan karena nisannya dari abad ke-16. Dikaji secara metafisis, tidak ditemukannya kerangka di dalam makam. Hanya saja, di dalam ditemukan benda-benda lain,” kata Ketua Umum Kaji Metafisika Indonesia, Tengku M. Muhar Omtatok.
Menurut Usman, penjaga sekaligus pemilik rumah dimana makam berada, tidak ada yang tahu pasti sejarah awal mengapa makam ini banyak dikunjungi. Datuk Darah Putih merupakan penganut agama Islam semasa hidupnya. Meski begitu, tidak hanya dari masyarakat muslim yang datang berdoa. Masyarakat Tionghoa Kota Medan lebih mendominasi.
“Masyarakat yang datang dari berbagai daerah, serta latar belakang berbeda. Dari luar negeri juga ada, tapi tidak banyak. Dari luar kota yang banyak dari Pakam dan Siantar. Pada umumnya masyarakat Tionghoa di Medan. Paling sedikit ada 100 orang datang berkunjung dalam satu pekan. Mereka datang dengan tujuan masing-masing. Keinginannya berbeda-beda. Tujuan untuk memperlancar usaha kebanyakan. Berdoa disini menurut kepercayaan masing-masing. Bagi muslim membaca Yasin. Tionghoa membakar dupa,” Jelas Usman.
Makam Datuk Darah Putih dibuka dua hari setiap minggunya, yakni setiap Kamis pukul 18.00 WIB sampai 23.00 WIB dan Jumat pukul 09.00 WIB sampai 12.00 WIB. Masyarakat yang datang berkunjung hanya diminta membeli bunga, air, pisang, atau kemenyan yang dijual di depan pintu masuk.
Kemudian, tempat-tempat keramat di Kota Medan lainnya adalah Makam Syeikh Bahrin di Jalan Putri Hijau, Makam Panglima Denai, makam raja-raja di Masjid Al-Osmani, Putri Merak Jingga di Johor, Pancur Gading Putri Hijau di kawasan Namu Rambe. Dari seluruh tempat-tempat yang disebutkan, kondisinya dikatagorikan memprihatinkan. Sebut saja Makam Syeikh Bahrin. Dibandingkan kedua tempat keramat sebelumnya, Makam Syeikh Bahrin nyaris tidak dikenali siapapun. Dari keterangan Omtatok, makam ini belum menjadi cagar budaya dan sulit masuk ke dalamnya karena masyarakat yang tinggal disana melarang. Sebenarnya, ada dua makam. Makam kedua belum dapat diketahui secara pasti. Disebabkan belum ada penelitian lebih lanjut. Syeikh Bahrin merupakan wali penyebar Islam di tanah Deli abad ke-15 dan 16. Sebelum dikenal sebagai makam Syeikh Bahrin, lebih dahulu disebut makam keramat gelugur. Nisan Syeikh Bahrin menjadi makam yang wajib dijaga kelestariannya karena nisannya satu zaman dengan kerajaan Jayakarta.
Untuk makam Panglima Denai, terdapat tiga makam disana. Makam Panglima Denai itu sendiri, makam Panglima Hali dan Said Abdul Falaif yang masih memiliki hubungan darah dengan raja pertama Melayu. Kondisi dari ketiga makam telah berubah, baik dari segi nisan ataupun badan makam. Begitu pula kondisi makam raja-raja di komplek Masjid Al-Osmani. Kondisinya nyaris tertimbun tanah.
“Patut diperhatikan bahwa ada satu tempat yang dikeramatkan, yakni Pancur Gading Putri Hijau yang kondisinya benar-benar memprihatinkan. Benteng dan kolam tempat Putri Hijau mandi telah tertimbun bangunan modern. Kondisi semakin memprihatinkan karena situs telah menjadi milik pribadi. Kami telah melakukan penelitian, situs tersebut memiliki air yang baik. Air dari kolam Putri Hijau mengandung mineral tinggi dan tidak mengandung kuman meski diminum langsung. Lokasi ini masih dijadikan pemujaan-pemujaan dan sejenisnya,” tutup Tatok.