Oleh: Azmi TS
PEDATI, alat angkutan yang memakai kotak, ditopang oleh roda terbuat dari kayu sudah lama dikenal terutama di Jawa. Sejak masa kerajaan Hayam Wuruk kenderaan ditarik oleh dua ekor sapi atau kerbau ini termasuk mewah.
Masa itu tak semua rakyat bisa menaiki pedati, karena di samping kenderaan penting kerajaan, biaya membuatnya juga mahal. Kalaupun ada yang bisa memiliki kenderaan ini, pastilah kaum kerabat raja atau orang biasa yang punya kelebihan uang.
Pada masa kerajaan di daerah Jawa, ada juga kenderaan lainnya bernama cikar dan andong atau delman. Seiring era kerajaan di Indonesia, ada alat angkut (kenderaan yang ditarik hewan ini) dikenal dengan sebutan gerobak. Anehnya entah sejak kapan kenderaan ini secara khusus menjadi “gerobak sapi”. Pasti istilahnya masih populer sampai sekarang.
Gerobak sapi sebenarnya mengacu kepada balok kayu berdinding anyaman kulit bambu. Bentuk gerobaknya seperti trapesium dilapisi atap seng. Kedua sisinya ada tirai dari karung goni berfungsi untuk menahan tempias air hujan. Untuk menahan laju gerobak pada waktu berhenti dipasang tali, terhubung ke sapi serta disiapkan rem dari kayu.
Pada leher sapi, tersangkut lonceng, ketika berjalan akan berbunyi klonengan. Sang pengendali gerobak atau pedati disebut juga kusir yang selalu memegang cemeti untuk mengarahkan sang sapi ke arah kanan atau ke arah kiri. Pedati atau gerobak pada zaman kolonial Belanda (1920) disebut Ossenkar digunakan untuk mengangkut hasil perkebunan tebu, kopi dan barang petani ke pasar.
Kini walaupun gerobak sapi atau pedati tak terlihat di jalanan, tapi di kabupaten Sleman pada bulan Juni diadakan Festival Gerobak Sapi (FGS). Salah satu upaya pemerintahan lokal untuk memancing kunjungan wisatawan. Ternyata FGS ini mendapat berkah buat masyarakat melalui kerjasama antar peternak dengan seniman setempat.
Kini even yang menjadi agenda pariwisata menjadi lebih meriah karena mengundang peserta di luar Jawa untuk berpartisipasi. Pesertanya juga banyak hampir dua ratusan dengan corak warna-warni hiasan. Selain untuk karnaval FGS juga melombakan kostum dan offroad. Pemenang gerobak sapi ini punya nilai seni tinggi dan biasanya ditawarkan puluhan juta rupiah untuk hewan beserta pernak-perniknya.
Tampilan gerobak sapi penuh hiasan, jadi tambah menarik dan indah karena adanya sentuhan seni kreatif. Pertunjukkan senilukis sekaligus pelestarian budaya ini mengagumkan apabila setiap etnik mengupayakan festival, karnaval dan lomba sejenis lewat etnik.
Seni etnik juga punya potensi cukup besar untuk digali, sekaligus diberdayakan dengan melibatkan semua unsur terkait. Urusan lokasi di mana diadakan dan kalender pelaksaan, dirembukkan oleh kantong budaya dan mendapat restu dari muspida.
Bagaimana dengan Sumatera Utara adakah even serupa? Paling tidak membuat festival yang bisa mengenang kejayaan budaya masa lampaunya. Etnik Sumatera Utara lebih banyak tentunya banyak ragam budaya lampau bisa ditampilkan lagi saat ini. Untuk pagelarannya berikut lomba, bisa mengerahkan seniman dengan kerjasama dengan pemko Medan dengan jajarannya.
Kalau ditilik tentang seniman lukis nusantara tentang pedati, ternyata juga banyak yang sudah pernah memindahkannya ke kanvas. Misalnya ada Raden Saleh, Sudjojono Abdullah, R. Hadi, Frederick Kasenda, Tatang Ganar, Lim Wasim, Pratomo Sugeng. Lukisan Gerobak Sapi mereka, cukup enak dilihat, penampilan tematik yang bersahaja, tapi memunculkan kesan eksotis.
Sejalan dengan itu pelukis S. Toyo, Toro, Men Sagan, Gerard Pieter Adolfs dan Koempoel Sujatno lebih ke eksploitasi bentuk ekspresionisme. Lukisan yang menonjolkan kesan garis dan juga bayangan sedikit mengabaikan bentuk aslinya. Semua lukisan mereka masih terasa ungkapan seni dan juga nilai-nilai estetis.
Menggali seni etnik seperti yang pernah disebarkan S. Soedjojono dalam mengangkat budaya lokal ketimbang paham Barat yang modernis. Tematik yang menggambarkan sesungguhnya tentang nusantara jauh lebih nasionalis, terkenal dengan semboyan “Senilukis adalah jiwa yang kethok (tampak).