Oleh: Robby Irwansyah.
BERJALAN di bawah terik matahari sudah menjadi hal biasa bagi Budi. Apalagi jika cuaca sedang tidak bersahabat dengan manusia. Setiap hari menghirup udara kota Medan yang selalu bercampur debu tebal dan asap knalpot yang berwarna hitam adalah satu dari ciri kemiskinan hidupnya.
Budi seorang peminta-minta di sudut sebuah jalan di ibu kota yang semakin tua. Bersama beberapa orang temannya dari berbagai tingkat umur, mereka menghabiskan sepanjang hari di sana, di dekat lampu merah. Terkadang mereka berteduh di bawah pohon atau sekedar duduk di samping trotoar.
Namun lampu merah terlalu penting untuk ditinggalkan jauh-jauh, karena benda itu selalu memberikan tanda kapan mereka harus beraksi atau pergi. Merah artinya jalan dan hijau artinya mundur. Dari lampu merah jugalah Budi dan temannya bisa menyambung nafas kehidupan di tengah suasana kota yang semakin lama tak bersahabat.
Akhir-akhir ini, bocah yang masih berumur belasan tahun itu sering melihat dan memandangi wajah-wajah yang lewat di hadapannya. Baik itu orang-orang yang berjalan kaki melewatinya atau pun yang duduk di dalam mobil-mobil yang ia ketuk kaca jendelanya. Budi sedang dilanda rasa rindu. Rindu akan ibunya dan juga rindu akan wajah ibunya, wanita yang melahirkannya. Entah di mana ibunya sekarang. Budi berharap bisa mengenalinya di antara wajah-wajah wanita yang ditemuinya setiap hari. Harapannya, suatu hari nanti ia akan bisa menemukannya.
Menurut cerita orang-orang yang berada di sekitar tempat tinggalnya, Budi dibuang saat masih bayi, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Tak ada yang pernah melihat wajah ibunya. Tak ada yang tahu termasuk juga Bu Torus yang membesarkannya bersama Pak Lokot yang menanggung seluruh biaya hidupnya selama ini. Karena sejak bayi hingga sekarang Budi telah ikut Bu Torus mengemis di mana-mana.
Sejak pikiran tentang ibu telah mengganggunya, Budi terus berusaha mencari informasi dari orang-orang sekitarnya tentang perempuan yang telah melahirkannya ke dunia. Namun tak banyak yang bisa dikoreknya untuk menjadi informasi penting. Pernah ia memberanikan diri bertanya kepada Pak Lokot. Lelaki itu menatapnya dengan alis yang tertaut sedemikian rupa, yang menambah kesangaran wajahnya.
“Ibumu sudah mati! Itu informasi yang bisa kuberikan sama kau”, katanya dengan suara menggelegar.
Semalamam Tono menangis dan bersedih. Kata-kata Pak Lokot terus terngiang-ngiang di kepalanya. Esok paginya, Budi bangun dengan mata sembab dan wajah pucat. Tak ada yang menanyakan mengapa. Tak ada yang prihatin dengan awan kesedihan di wajahnya. Pak Lokot malah tampak puas ketika melihatnya. Karena semakin membuat Budi menjadi sedih maka semakin besar kesempatannya memperoleh penghasilan yang tinggi hari itu.
Pernah juga Budi duduk di samping Bu Torus dan menanyakan hal yang sama dengan yang pernah ia tanyakan pada Pak Lokot. Bu Torus malah mengelus-elus kepala Budi.
“Ucok-ucok! Nasibmu memang malang. Aku sendiri tak tahu dimana ibumu sekarang. Aku juga tak tahu apakah ibumu masih hidup atau sudah mati,” ucap Bu Torus memanggil Budi dengan panggilan ucok, panggilan kesayangan untuk anak laki-laki Batak.
Budi hanya terdiam dan membisu. Bukan itu jawaban yang diinginkannya. Karena itu akhirnya Budi bertekad mencari ibunya sendiri. Ia tak terlalu percaya kalau ibunya sudah mati seperti kata Pak Lokot. Budi berkeyakinan kalau ibu yang telah melahirkannya masih hidup. Hanya saja tak tahu entah di mana.
Sebenarnya sempat terpikir oleh Budi untuk melapor ke pos polisi di seberang sana. Seperti yang sering ia lihat di siaran televisi yang biasa ditontonnya di kedai nasi dekat simpang empat. Katanya polisi bisa membantu menemukan anak yang hilang.
“Tapi ini ibu yang hilang. Apakah mereka akan dapat menolong mencari ibuku?”, desis Budi dalam hatinya.
Sayangnya, Tono tak tahu bagaimana ciri-ciri ibunya. Tapi pencarian ibunya tak akan ia hentikan, meski tidak bisa mendapatkan bantuan siapa pun. Budi telah bertekad bulat akan mencari sendiri. Budi masih punya tangan, kaki, mata dan mulut. Ia yakin akan menemukan ibunya suatu hari nanti. Dia hanya harus lebih teliti memperhatikan orang-orang yang lewat setiap hari. Suatu hari nanti ibunya pasti akan lewat. Tono percaya akan hal itu.
Lampu merah kembali menyala. Kenderaan baik itu roda dua dan roda empat berhenti pelan. Budi yang tersadar dari lamunan panjangnya mendekat.
“Bu,” ujar Budi lirih.
Budi mengetuk kaca jendela mobil sedan warna hijau dengan pelan dan memandang ke arah wanita muda di dalam. Wanita itu hanya menoleh, melihat Budi sekejap dan kemudian melambaikan tangannya. Tanda untuk pergi. Namun, Budi tak menyerah begitu saja. Budi kembali mengetuk sekali lagi dan memasang wajah yang lebih memelas. Ini yang diajarkan selalu oleh Pak Lokot, jangan cepat menyerah. Selalu minta sekali lagi dan tunggu sampai diberi uang. Kalau tidak? Jangan bergerak dari sana.
Pak Lokot adalah pimpinan gerombolan mereka. Budi sendiri tidak tahu siapa sebenarnya laki-laki itu. Yang dia tahu hanyalah, setiap sore hari menjelang gelap, mereka semua pulang ke tempat yang mereka sebut rumah dan harus menyetorkan uang hasil mengemis yang diperoleh sepanjang hari itu kepada Pak Lokot.
Rumah yang mereka tempati sebenarnya hanya berupa kotak kayu yang berlubang dan penuh tambalan, yang berada di sebuah lorong sempit di belakang kawasan pembuangan sampah. Dan setelah penyetoran selesai, Pak Lokot akan memberikan makian atau pukulan untuk beberapa orang yang kurang setoran uangnya dan yang membuatnya tak puas dan kemudian diakhiri dengan ceramah singkat agar hasil yang mereka peroleh esok harinya bisa lebih banyak.
Wanita yang memakai kaca mata hitam itu menoleh lagi, tampak sedikit jengkel. Karena Budi terus mengetuk pintu kaca mobil yang sedang dikenderainya. Namun kali ini tangannya bergerak ke bawah jendela. Dari lubang jendela yang terbuka sedikit, ia menjatuhkan sekeping uang logam. Budi menadahnya cepat dan mengucapkan terima kasih. Wanita itu tampaknya tak mendengarnya, karena secepat tangan Budi terulur, secepat itu pula kaca mobilnya tertutup kembali.
Sebelum berjalan menghampiri mobil belakang, Budi sempat memperhatikan wajah ibu yang telah memberinya sekeping uang logam.
“Harusnya dia bukan ibuku,” pikir Budi.
Kulit wanita itu kuning langsat, alisnya tebal dan matanya jernih. Sementara Budi sendiri hampir tak beralis dan matanya tak sebesar mata wanita itu. Kulitnya? Jauh dari kuning langsat. Walau Budi sendiri tidak yakin apa warna kulitnya itu. Coklat kehitaman? Sepertinya. Tapi rasanya, mereka yang mengemis di sana, rata-rata memiliki warna kulit yang sama. Entah karena rusak terbakar matahari atau karena debu yang menempel setiap hari sudah melekat.
Budi bahkan sering tidak mandi. Mandi adalah sebuah kemewahan di kawasan tempat tinggalnya. Butuh dua ribu perak untuk sekali mandi di WC umum. Kalau dua kali sehari berarti empat ribu perak. Kalau tiap hari dia mengurangi jatah setorannya hanya untuk mandi dua kali, Budi harus mau menanggung resiko dan merelakan telapak tangan Pak Lokot yang besar singgah di wajahnya. Rasanya pedas dan panas. Bahkan bisa membuatnya pusing selama berjam-jam. Sehingga Budi lebih suka dengan bau menyengat tubuhnya daripada merasakan penderitaan itu.
Mobil berikutnya yang ada di belakang ia melihat seorang wanita lebih berumur dari wanita yang tadi duduk di belakang setir. Wajahnya cantik, dandanannya tebal. Mobilnya bagus. Budi tidak tahu apa namanya. Belum sempat ia mengetuk, kaca mobil telah turun. Selembar uang lima ribuan disodorkannya pada Budi. Seolah tak sadarkan diri, Budi tersenyum lebar.
“Terima kasih, Bu!”, ucap Budi
Ia mengangguk dan balas tersenyum. Wangi parfumnya lewat, singgah di hidung Tono. Budi kembali menatap ibu yang telah memberikannya selembar uang lima ribuan.
“Ah, seandainya dia adalah ibuku. Cantik, kaya, baik Akuu pasti sangat beruntung, bisa ke mana-mana naik mobil mewah. Aku pasti sangat disayang dan dimanjakan olehnya.” Begitu pikir Budi dalam hatinya.
Suara klakson kenderaan yang bersahutan membuat Budi tersentak dan kaget. Lampu pengatur jalan telah hijau. Mobil mewah itu perlahan melaju pergi, meninggalkan Tono yang masih tertegun di tepi jalan.
Sebuah tarikan di sikunya membuat Budi sedikit oleng ke belakang.
“Kau mau mati?”, teriak Anton dengan suara yang keras.
“Wah! Kau sungguh beruntung dapat uang lima ribuan,” tambah Anton.
Budi segera menyusupkan uang lima ribu tadi di saku celana rombengnya. Takut suara Nuno terdengar oleh yang lain. Bisa-bisa uangnya dirampas. Apalagi oleh Bu Torus, yang duduk mengemis di samping pohon. Sebetulnya Budi tak pernah suka kepada Bu Torus. Walau terkadang ia tak mampu menahan iri melihat Anton memiliki ibu kandung. Bu Torus adalah seorang wanita bertubuh gemuk dengan rambut awut-awutan dan mulut yang senantiasa mencibir. Matanya selalu menatap siapa saja dengan tatapan mencela dan tak suka. Dia punya kebiasaan meludah setiap beberapa menit. Dan Anton sahabatnya itu, sering menjadi bulan-bulanan makian kasarnya. Tono tak bisa membayangkan seandainya dia punya ibu seperti itu. Padahal Anton adalah anak satu-satunya dari Bu Torus dan Pak Lokot.
Budi mengangkat wajah pada seorang seorang wanita muda yang hampir disenggolnya ketika Anton berusaha untuk mengejarnya. Wanita itu tersenyum padanya dan tetap berdiri di tempatnya seraya memperhatikan lalu lalang kendaraan di depannya. Tampaknya dia akan menyeberang. Budi masih menatapnya dan tak mampu berkata apa-apa.
Wanita itu menoleh dan melihat Budi. Kali ini dia merogoh tasnya dan hendak menyodorkan selembar uang ribuan pada
bocah itu. Mengira Budi sedang menunggu pemberiannya. Namun pesona wanita muda itu telah membuatnya tak berdaya seakan-akan seluruh tubuhnya lumpuh. Sedangkan wanita muda itu tak memperdulikanh Budi. Budi tetap menguatkan dirinya. Kalau tidak sekarang, mungkin tak ada lagi kesempatan yang berharga.
“Bu..maaf, bu! Ibu ini adalah ibuku atau bukan? Aku sedang mencari ibuku. Aku sedang rindu akan wajah ibu yang telah melahirkanku. Ia telah meninggalkanku sejak masih bayi sehingga aku sampai sekarang tidak tahu wajah ibuku sendiri,” ujar Budi dengan tersenyum.
Lima menit telah berlalu. Budi berharap wanita muda yang ada di depannya menganggukkan kepalanya. Namun wanita muda itu menggeleng.
“Bukan, Dik. Saya belum menikah dan belum pernah melahirkan apalagi sudah punya anak,” jawab wanita muda itu.
Kemudian wanita muda yang telah disangkanya adalah ibunya tersenyum sebelum berbalik dan menyeberang. Sedangkan Budi sendiri hanya bisa memandang wanita muda yang telah hilang batang hidungnya itu. Pencarian Tono rasanya tak akan pernah berujung. Ia tak pernah mengenal lelah. Hari demi hari lewat tanpa pernah menemukan ibunya itu.
“Oh, Ibu di manakah dirimu berada?”, Tono merintih.
Rasanya begitu banyak orang yang lalu lalang setiap hari, bagaimana dia mampu menemukan wanita itu di antara mereka? Ia tak mampu lagi membendung kerinduan akan ibunya dan ingin tahu bagaimana wajah ibunya sesungguhnya.
Hingga akhirnya Budi berjalan tak tentu arah, meninggalkan tempat bertugasnya sehari-harinya. Ia menemukan banyak lukisan yang tergantung di sepanjang jalan. Tempat para pelukis jalanan mangkal. Tono terpesona akan wajah-wajah yang dilukiskan mereka. Ada wajah-wajah yang dikenalnya. Wajah-wajah yang biasa dilihatnya di layar kaca. Begitu mirip.
Saat itulah terbit ide yang bagus di kepalanya. Bila saja lukisan wajahnya bisa digantung di sana dan mungkin suatu hari nanti ketika ibunya lewat tempat itu dan mengenali kemiripan wajah mereka, maka wanita itu akan dapat menemukannya. Budi masih berkeyakinan kalau ibunya yang telah membuangnya dulu ketika masih bayi masih hidup sampai sekarang.
Budi lalu memberanikan diri dan mendekati seorang lelaki tua yang tengah asyik melukis sebuah wajah yang mirip dengan foto kecil di samping kanvas.
“Pak!”, ucap Budi dengan suara yang pelan.
Lelaki yang tengah melukis sebuah foto itu menoleh dan matanya langsung menyipit ketika melihat Budi. Kulitnya hitam kasar, dengan jemarinya yang berbonggol-bonggol. Rambutnya panjang terurai berantakan, sementara sebuah kacamata dengan kaca kekuning-kuningan karena dimakan waktu, bertengger di atas hidungnya yang pesek.
“Saya mau dilukis, Pak,” kata Budi menatap lurus ke mata lelaki itu.
“Kamu punya uang apa tidak?!”, tanya bapak pelukis yang ragu akan permintaan Budi.
Budi merogoh sakunya dan mengeluarkan semua uang yang dimilikinya. Sebagian uang lembaran ribuan yang lecek dan beberapa uang logam.
Lelaki tua itu menoleh. Matanya membesar.
“Kamu sudah gila, ya! Pergi sana! Mengganggu kerjaan orang saja!”, bentak lelaki tua sambil mengusir Budi agar pergi dari hadapannya.
Budi lalu berlari kencang karena ia kaget akan suara lelaki pelukis yang suaranya menggelegar secara tiba-tiba. Ditinggalkannya tempat itu. Dari sana ia berjalan perlahan, masih mengamati lukisan-lukisan sepanjang jalan. Masih dengan keinginan menggebu untuk bisa memajang foto dirinya di sana. Tapi lelaki tua tadi telah mengagetkannya. Ia tak berani lagi sembarang bertanya.
Tiba di kios terakhir, langkah kaki Budi terhenti. Ia tak mau meninggalkan tempat itu tanpa hasil. Namun ia sendiri juga tak tahu harus bagaimana. Seorang lelaki tua, berambut putih menengok ke arahnya. Lelaki itu sedang duduk menghisap sebatang rokok. Tampak menikmati setiap kepulan yang dihembuskannya. Ia menatap Budi. Tatapan Budi dari lukisan beralih ke wajah tua itu. Lelaki tua itu tersenyum sehingga membuat Budi tertegun. Sedetik kemudian ia balas tersenyum sementara kakinya melangkah masuk.
“Permisi, Pak,” sapanya sopan.
“Oh iya, silakan masuk saja. Kamu cari siapa?”, tanya lelaki tua yang tersenyum ramah kepadanya.
“Begini, Pak. Namaku Budi. Aku sedang mencari Ibu saya”, jawab Budi dengan sopan.
“Oh.. Memangnya ibumu kemana, nak?”, tanya lelaki tua itu ingin tahu.
“Aku tidak tahu, Pak. Kata orang-orang ibuku meninggalkanku di pinggir jalan sehingga Pak Lokot telah merawatku sejak masih bayi. Sampai sekarang ibuku tidak pernah kembali. Aku sendiri tidak tahu wajah ibuku,” jelas Budi panjang lebar.
Lelaki tua itu berhenti menghisap rokoknya. Ia bangkit sedikit, meluruskan punggungnya tanpa berkedip sedikit pun dari wajah Budi. Tanpa ragu-ragu Budi kemudian menceritakan usahanya untuk menemukan ibunya. Suara kecilnya atau mungkin ekspresi wajahnya yang polos membuat lelaki yang bernama Pak Regar tersentuh. Kepalanya mengangguk-angguk di antara cerita yang dituturkan Tono.
“Jadi maksudmu, kamu mau bapak melukis wajahmu dan menggantungnya di sini?”, tanya Pak Regar.
“Boleh, Pak. Saya punya uang tapi memang tidak banyak,” ucap Budi sambil merogoh sakunya.
“Kamu yakin ibumu akan mengenali wajah kamu?”, tanya Pak Regar sambil tertawa-tawa.
“Wajahku pasti mirip dengan ibuku. Bukan begitu, Pak?”, ucap Budi menganggukkan kepalanya dengan cepat.
“Lantas, jika lukisan ibumu telah siap namun kamu tidak juga berhasil menemukan ibumu, bagaimana?”, tanya Pak Regar mengangkat bahunya.
“Aku tak akan menyerah, pak. Aku akan terus mencari ibuku, pak. Aku hanya ingin tahu bagaimana wajah ibuku,” ucap Budi dengan suara yang lirih.
Mendengar ada nada yang sedih dari perkataan Budi, Pak Regar menepuk pundak Budi dengan lembut. Kepada Budi, Pak Regar akan berusaha keras untuk membuat lukisan wajah ibunya.
“Begini saja, bapak akan berusaha membantu untuk melukiskan wajah ibumu. Bagaimana?”, ujar Pak Regar memberikan bantuan.
“Bapak tahu wajah ibuku?”, tanya Budi yang masih ragu.
Mendengar perkataan Budi, Pak Regar tertawa terbahak-bahak.
“Tentu saja tidak! Tapi kamu tadi mengatakan wajah anak pasti akan mirip dengan ibunya. Berarti sama artinya kalau wajahmu pastinya akan mirip dengan wajah ibumu. Sehingga mudah untuk melukis wajah ibumu,” ujar Pak Regar dengan wajah yang serius.
“Begini saja, kamu duduk disini. Bapak akan melukis wajahmu”, kata Pak Ghali seraya menggeser sebuah bangku kecil ke arah Budi.
Budi hanya menurut saja tanpa mampu berkata-kata. Kemudian lelaki tua itu mengambil kuasnya dan kanvas baru. Beberapa saat kemudian ia mulai melakukan pekerjaannya. Matanya berpindah-pindah dari kanvas ke wajah Budi. Budi menahan napas, takut untuk bergerak. Dia takut merusak karya besar bapak itu sehingga tidak berhasil untuk melukis wajah ibunya.
“Kamu mau rambut ibumu panjang atau pendek?”, tanya Pak Regar.
Budi tersentak, terkejut akan pertanyaan itu. Panjang atau pendek? Bayangan ibunya di kepalanya adalah seorang wanita lembut berambut panjang.
“Panjang, Pak,” jawabnya pelan.
Pak Regar menganggukkan kepalanya. Kemudian ia kembali larut dalam pekerjaannya. Hening menyelimuti tempat itu. Entah berapa lama kemudian, Budi hanya tahu tubuhnya mulai terasa keram karena tidak digerakkan dalam waktu
“Sudah selesai,” ucap Pak Regar seraya berdiri.
“Mari sini! Lihat wajah ibumu,” ujar Pak Regar melambaikan tangannya ke arah Budi.
Dada Budi seakan dipukul palu berat, bertalu-talu. Ia bangkit dengan kaki yang mati rasa dan sedikit gemetar. Akhirnya, untuk pertama kalinya ia akan melihat wajah ibunya. Budi terpaku melihat lukisan sederhana itu. Wajah wanita di kanvas benar sungguh mirip wajahnya. Hanya saja wajah itu terlihat lebih halus dan tatapan matanya begitu lembut. Wanita itu tengah tersenyum ke arahnya. Hingga tak sadar, airmatanya keluar.
“Jangan nangis. Nanti bapak akan pajang lukisan ini di luar. Setiap hari kamu bisa lewat sini, memandangi wajah ibumu kalau kamu rindu. Dan semoga kalau ibumu lewat sini, dia bisa mengenali wajahnya dan singgah untuk menanyakanmu,” si lelaki tua menepuk-nepuk pundak Budi.
“Terima kasih, Pak. Terima kasih banyak,” ujar Budi berusaha untuk tersenyum.
Budi kembali menganggukkan kepalanya. Budi mengucapkan terima kasih dan sekali lagi memandangi wajah ibunya dengan senyum terlebar yang dimilikinya. Kini, ia tak perlu mencari-cari wajah ibunya di antara orang-orang yang lewat. Kini ia telah tahu wajah ibunya. Wajah Ibu yang selama ini dicari-carinya.