Oleh: Gigih Suroso
Islam pernah dikenang dunia sebagai pusatnya ilmu pengetahuan, hal ini ditandai dengan lahirnya para cendikiawan muslim yang menghasilkan karya mereka dalam sebuah tulisan yang dituangkan ke dalam buku. Ini adalah bukti, bahwa menulis membawa pengaruh yang signifikan terhadap kemajuan Islam. Tidak terfokus pada ilmu keislaman, tapi juga menguasasi keseluruhan ilmu pengetahuan, hal ini benar-benar terjadi, saat sebelum perang salib dimulai, dan masa keemasan itu berakhir. Imam Ghazali, adalah satu diantara banyaknya cendikiawan yang aktif menulis.“Kalau kamu bukan anak raja dan engkau bukan anak ulama besar, maka jadilah penulis”. Bisa dibayangkan, jika saat itu Imam Al-ghazali enggan menulis, maka sampai saat ini kita tidak bisa menyerap ilmu-ilmunya dalam kitab Ihya’ Ulumuddin.
“Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu Yang Menciptakan,” (1) “Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah.” (2) “Bacalah, dan Tuhanmulah Yang Maha Pemurah,” (3) “Yang mengajar (manusia) dengan perantaran qalam (pena),” (4) “Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (5). (QS. Al-Alaq: 1—5). Pada ayat pertama kali yang diwahyukan kepada Rasulullah ini, Allah menyampaikan banyak pesan kepada manusia, satu diantaranya untuk membaca. Selanjutnya pada pada ayat keempat, allah mengajarkan manusia dengan perantara Qalam (pena), banyak ahli tafsir memaknainya sebagai lauhul mahfuzh. Begitu pun manusia, seharusnya menyimpan apa yang telah dibacanya dalam sebuah tulisan. Sebagaimana perkataan Ali Bin Abi Thalib “ ikatlah ilmu dengan menulis”, senada dengan Imam Syafi’i. “"Ilmu adalah ibarat hewan buruan, dan tulisan adalah ibarat tali pengikatnya. Oleh karenanya ikatlah hewan buruanmu dengan tali yg kuat."
Menulis adalah cara untuk mengabadikan ilmu yang kita punya, apa jadinya umat Islam saat ini jika kegiatan membaca dan menulis tidak dilakukan oleh ulama dan para cendikiawan. Pada masa Rasulullah, dunia tulis-menulis sudah ada, ini dibuktikan dengan pelapah kurma, dan kulit hewan yang dijadikan sebagai media untuk menulis. Seiring dengan majunya teknologi, kita mengenal kertas, untuk selanjutnya dikumpulkan dan tulis ulang dalam sebuah mushaf. Begitulah eksistensi menulis dalam sejarah Islam
Dengan menulis, ilmu yang kita miliki dapat lebih manfaat dan dengan mudah sampai kepada umat. Dewasa ini, kita disuguhkan pada buku-buku pelajaran yang menampilkan para ilmuan barat sebagai penemunya, sehingga pengetahuan kita pun dangkal, keoptimisan kita sebagai muslim berkurang, sebab telah disuguhkan dengan paradigma bahwa semua ilmu pengetahuan umum dikuasai oleh barat. Ini adalah bukti bahwa menulis berpengaruh penting pada kemajuan dan sejarah Islam. Minimnya buku yang membahas tentang teori dan karya peninggalan cendikiawan muslim, yang sebenarnya lebih dulu mencetuskannya. Misalnya
Galileo yang terkenal dengan teleskopnya ternyata kalah awal oleh ulama-ulama di Baghdad yang telah lebih dahulu menciptakan observatorium untuk mengamati pergerakan dan fenomena bintang- bintang.
Penyebaran agama Islam akan lebih mudah jika disampaikan dengan cara dakwah bil kitabah. Semua orang dari seluruh penjuru dunia dapat mempelajari Islam melalui sebuah buku karangan ulama dan cendikiawan muslim. Barang kali kita harus bercermin dari kegigihan Imam Syafi’i yang mengarang kitab Al-Umm, hingga saat ini, meskipun Imam Syafi’i telah meninggal dunia, tapi jiwanya masih hidup, kemanfaatannya masih dirasakan oleh banyak orang. Dakwahnya masih terus berjalan, mengajarkan pengetahuan Islam.
Menulis Adalah Ibadah
Di satu sisi, menulis akan menjadi sumber kebaikan bagi kita dan bernilai ibadah. Dan sebaliknya menulis juga akan menjadi pedang yang siap menghunus kedangkalan akidah muslim, bahkan dapat menyesatkan orang lain. Seperti yang telah terjadi beberapa waktu lalu, saat beberapa situs yang diblokir oleh pemerintah, sebab tulisanya dianggap berisikan paham radikalisme. Terlepas dari benar dan salahnya tindakan pemerintah, sebagai muslim yang baik, etika dalam menulis juga harus dipegang agar menulis bernilai ibadah
Empat sifat Rasul adalah etika yang mesti dipenuhi oleh seorang penulis. Pertama, ‘Shiddiq’ atau benar. Seorang penulis harus menyampaikan kebenaran dalam isi tulisannya. Tidak mebambahkan kebohongan, kendatipun itu untuk menarik para pembaca. Kedua, ‘Tabligh’ atau menyampaikan. Kegiatan menulis adalah bagian dari interpretasi dan transmisi sifat tabligh ini. Ketiga, ‘Amanah’ atau terpercaya. Tulisan yang disajikan harus memenuhi kualifikasi amanah, hal ini bisa dilakukan jika penulis itu sendiri adalah seorang yang memiliki karakteristik ‘amanah’ atau terpercaya, artinya ia tidak hanya pandai menulis, menasehati atau mengkritik orang lain, tapi juga berupaya agar ia mampu menyelaraskan antara perkataan dan perbuatannya. Keempat, ‘Fathanah’ atau cerdas. Seorang penulis harus memenuhi persyaratan ‘cerdas’ dalam menulis. Kecerdasan dimaknai sebagai pemahaman kita terhadap apa yang akan kita sampaikan dalam tulisan.
Semangat membaca dan menulis harus lahir dari para generasi muda, terlebih pada umat Islam. Kita kembalikan kejayaan Islam yang dulu pernah ada. Bangkitkan kembali ilmu pengetahuan, sehingga dapat bersaing dengan kemajuan yang sudah ada. Ilmu pengetahuan yang sudah ada pada cendikiawan muslim harus segera diabadikan dalam sebuah tulisan, baik dalam buku maupun kitab. Dengan menulis, umat Islam akan abadi, dikenang oleh zaman. Menulis akan membantu penyebaran Islam kepenjuru dunia.
Penulis: Mahasiwa Jurusan Perbankan Syari’ah FEBI dan Kru LPM Dinamika UIN SU.