BEGITU telepon berdering, Ken Mon, mantan tentara Khmer Merah itupun cepat-cepat meraih tasnya yang penuh dengan obato-obatan. Iapun melompat ke atas sepeda motor dan langsung meluncur menuju sebuah desa yang miskin di Kamboja.
Ken Mon adalah seorang dokter otodidak setempat. Sebagai dokter otodidak, Mon yang kini mengijak usia 55 tahun itu tidak pernah mendapat pelatihan medis secara formal, ia hanya belajar dari pengalaman dan orang-orang seperti dia.
Sementara gelar “dokter” itu hanyalah panggilan masyarakat terhadap orang-orang yang berprofesi seperti Mon. Mon memang satu-satunya petugas kesehatan dan sumber pengobatan bagi ribuan warga miskin di desa Ang Ro Ngeang, sekitar 70 kilometer (45 mil) selatan Phnom Penh .
Tidak perduli dengan medan yang akan dilalui, Mon meluncur, sepuluh menit ke arah selatan, tepatnya ke provinsi Speu Kampong. Iapun tiba di rumah Chei Tana, 27 tahun, yang mengeluh sakit perut luar biasa.
"Banyak angin di dalam perut kamu," katanya menjelaskan setelah memeriksa pasiennya dan memberinya sebungkus pil antacid.
Mon adalah salah satu dari ratusan dokter tanpa izin merawat pasien di seluruh negara yang sistem medisnya hancur gara-gara kebrutalan rezim Khmer Merah tahun 1970-an dan belum mampu membangun sistem pelayanan publik yang komprehensif.
Tujuh puluh persen rakyat Kamboja mencari kesehatan dari sektor swasta termasuk dari apotek, dokter ilegal atau dukun, yang dikenal sebagai "Kru Khmer", demikian menurut survei Organisasi Kesehatan Dunia.
Namun, dokter gelap kini telah berada di bawah pengawasan ketat setelah wabah HIV merebak secara massal di sebuah desa terpencil di Kamboja barat November lalu.
Pihak berwenang mengatakan sumber terjadinya wabah HIV itu disebabkan oleh seorang dokter yang tidak memenuhi syarat, Yem Chroeum, telah mengaku jarum suntiknya ia pergunakan berulang kali.
Lebih 200 pasiennya setelah diperiksa dinyatakan positif HIV dan Chroeum menghadapi pengadilan atas tuduhan pembunuhan, sengaja menginfeksi orang dengan virus dan mengoperasikan klinik ilegal. Skandal itu membuat pemerintah bersumpah akan menindak penyedia layanan kesehatan tanpa izin.
Praktek mereka "mempengaruhi kehidupan orang-orang, dan reputasi negara", begitu menurut Sok Srun, direktur departemen pelayanan rumah sakit Departemen Kesehatan, yang mengawasi perizinan tenaga medis dan klinik.
Meskipun besar kekhawatiran di kalangan pemerintah, namun para pejabat belum datang dengan kebijakannya untuk membujuk dokter baru untuk dilatih dan untuk bersedia meninggalkan perkotaan yang lebih lebih nyaman pindah berpraktek ke wilayah terpencil di desa-desa Kamboja.
Tak pandang bulu mereka yang telah berkemampuan meningkatkan barisan dokter secara memadai dan juga yang profesional, mereka dihancurkan oleh Khmer Merah dengan membantai sebagian besar orang-orang terdidik.
Warisan
Angka Bank Dunia mengatakan Kamboja, salah satu negara termiskin di Asia, hanya memiliki 0,2 dokter untuk setiap 100.000 jiwa, setara dengan Afghanistan. Demikian pula negara miskin Myanmar memiliki 0,4 per 100.000 jiwa, sementara Perancis sebanyak 3,2 per 100.000 jiwa.
Bagi jutaan orang Kamboja, dokter seperti Mon dipilih karena biaya termurah dan juga karena tidak ada pilihan lain.
"Saya belajar keterampilan medis saya di universitas kehidupan," katanya kepada AFP, sambil menambahkan pemerintah sama sekali tidak pernah menyuruhnya berhenti melakukan praktek kedokteran.
Ironisnya pendidikannya tentang pengobatan ia peroleh dari orang yang berprofesi seperti dirinya yang sama-sama justru menghancurkan sistem kesehatan di Kamboja.
Mon bergabung dengan Khmer Merah sebagai seorang pejuang pada tahun 1974, tak lama sebelum rezim komunis garis keras merebut kekuasaan.
Ketika akhirnya berhasil digulingkan pada tahun 1979, setelah mengakibatkan kematian hingga dua juta warga Kamboja melalui eksekusi, kelaparan atau kerja paksa, ia dan banyak kader lainnya melarikan diri ke Samlot, sebuah benteng di perbatasan Thailand.
Di sanalah ia belajar keterampilan medis, pertama dari petugas medis Khmer Merah dan kemudian dari dokter asing yang bekerja untuk Palang Merah.
Menyuntik
"Hari pertama, mereka memberi saya jarum suntik dan obat-obatan dan meminta saya untuk menyuntik seorang tentara terluka," kenangnya sambil menambahkan ia sekarang dapat menangani segudang prosedur dari mengobati penyakit seperti malaria dan tifus hingga menjahit luka.
Nuch Dy, seorang janda berusia 56 tahun dari desa terdekat, tidak pernah melihat seorang dokter yang berkualitas.
"(Puskesmas) jauh dan saya tidak punya uang untuk membayar segera," katanya.
Ia merawat masalah perut yang sudah lama ia derita dengan mengonsumsi obat penghilang rasa sakit dan obat antacid yang dibeli dari Mon, sering dalam bentuk tablet.
Tetangganya Uon Sreang, 35 tahun, mengatakan kepada AFP bahwa semua orang di desa menyadari dokter mereka tidak memiliki pelatihan formal.
"Tapi kami percaya padanya. Dia selalu menggunakan jarum suntik baru ketika dia memberikan suntikan kepada anggota keluarga saya," katanya sambil memeluk bayi sembilan bulan di gendongannya.
Logis memang mereka percaya terhadap keterampilan Mon karena pusat kesehatan masyarakat yang resmi sering tak menjamin kualitas pelayanan yang mereka berikan lebih baik.
WHO mengatakan bahwa 43 persen dari 11.000 pusat kesehatan di Kamboja, yang menjadi pusat pelayanan kesehatan bagi masyarakat , tidak dapat memberikan layanan penuh karena kurangnya dokter, obat-obatan atau peralatan.
Sementara itu, survei Bank Dunia tahun lalu hanya ditemukan satu dari tiga dokter resmi di pusat-pusat kesehatan desa mampu benar mendiagnosa serangkaian penyakit.
Dari mereka yang bisa, hanya 17 persen yang dapat meresepkan obat yang cocok. Bagi pasien sakit parah dan masih sangat muda, klinik kota hampir satu-satunya pilihan.
Di luar rumah sakit anak-anak di Phnom Penh, Heng Hen, 45 tahun, menunggui dengan sabar tiga cucunya yang sedang sakit se-telah melakukan perjalanan sejauh 80 kilometer pada waktu fajar.
"Petugas medis di pedesaan tidak memiliki kemampuan untuk mengobati anak-anak lagi," kata Hen.
Dia mengakui wabah HIV baru-baru ini telah memberinya kesempatan untuk memikirkan kebijaksanaan agar masyarakat tidak terus-terusan mencari pengobatan dari petugas medis tanpa izin.
"Tapi kami tidak punya pilihan karena kami miskin," katanya. (afp/ar)