Wanita itu menyadari bahwa suaminya akan wafat, tak lama lagi. Butir-butir air mata mulai membasahi pipinya.
“Mengapa engkau menangis?” tanya lelaki itu, yang tak lain adalah Abu Dzar Al Ghifari ra,
“Bagaimana mungkin aku tidak menangis, sementara engkau akan wafat dan aku tidak punya kain untuk dijadikan kafan…” jawabnya sesenggukan.
“Jangan menangis, bergembiralah. Sebab saya mendengar Rasulullah bersabda, ‘Akan wafat seorang laki-laki diantara kalian di tanah gersang, disaksikan sekelompok orang beriman.’ Para sahabat yang mendengar hadits ini, semuanya telah meninggal di kota, di kampung, atau di tempat lain. Tinggallah aku yang kini akan meninggal di tanah gersang ini.”
Abu Dzar sengaja mengasingkan diri di tanah gersang perbatasan Madinah dan Rabdzah. Sebab, sahabat yang zuhud ini tak mau terkena fitnah dunia. Umat Islam saat itu telah mencapai kemenangan dan perluasan wilayah. Ia melihat banyak orang hidup mewah dan meninggalkan kesederhanaan. Ia telah berdakwah dan mengajak khalifah untuk menggerakkan umat Islam kembali hidup sederhana seperti pada zaman Nabi, namun dakwahnya yang ‘tegas’ dipandang sahabat lain tidak tepat dengan kondisi masyarakat. Akhirnya ia pun mengasingkan diri, demi persatuan umat Islam.
Beberapa saat kemudian sang istri keluar dari gubuk mereka dan melihat ke kanan dan ke kiri. Dan dengan izin Allah, rupanya ada rombongan musafir yang melintasi tempat itu.
“Tolong, lelaki muslim meninggal, kafanilah dia.”
“Siapa laki-laki ini?” tanya para musafir.
“Abu Dzar Al Ghifari.”
“Sahabat Rasulullah?”
“Iya..”
Dengan penuh haru mereka pun mendatangi Abu Dzar Al Ghifari. Salah seorang pemuda kebetulan membawa kain pemberian ibunya. Kain itulah yang dipakai untuk mengkafani Abu Dzar Al Ghifari.
Siapakah Abu Dzar Al Ghifari ini?
Namanya adalah Jundub bin Junadah bin Sakan beliau adalah sahabat Rasulullah Saw.
Ia berasal dari suku Ghifar (dikenal sebagai penyamun pada masa sebelum datangnya Islam). Namun ketika Islam ‘hadir’. Ia lalu memeluk Islam dengan sukarela dan meninggalkan perbuatan-perbuatannya selama ini.
Menurut riwayat ia merupakan salah satu sahabat yang terdahulu dalam memeluk Islam.
Ketika ia mendengar ada seorang Nabi yang membawa agama yang benar, maka ia mendatanginya Nabi Muhammad ke Mekkah untuk menyatakan keislamannya.
Setelah menyatakan keislamannya, ia berkeliling Mekkah untuk meneriakkan bahwa ia seorang Muslim, hingga ia dipukuli oleh suku Quraisy. Atas bantuan dari Abbas bin Abdul Muthalib, ia dibebaskan dari suku Quraisy, setalah suku Quraisy mengetahui bahwa orang yang dipukuli berasal dari suku Ghifar. Ia mengikuti hampir seluruh pertempuran-pertempuran selama Nabi Muhammad hidup.
Abu Dzar dikenal sangat setia kepada Rasulullah. Kesetiaan itu misalnya dibuktikan sosok sederhana ini dalam satu perjalanan pasukan Muslim menuju medan Perang Tabuk melawan kekaisaran Bizantium. Karena keledainya lemah, ia rela berjalan kaki seraya memikul bawaannya. Saat itu sedang terjadi puncak musim panas yang sangat menyengat.
Dia keletihan dan roboh di hadapan Nabi Saw. Namun Rasulullah heran kantong airnya masih penuh. Setelah ditanya mengapa dia tidak minum airnya, tokoh yang juga kerap mengkritik penguasa semena-mena ini mengatakan, "Di perjalanan saya temukan mata air. Saya minum air itu sedikit dan saya merasakan nikmat. Setelah itu, saya bersumpah tak akan minum air itu lagi sebelum engkau meminumnya ya Rasul."
Dengan rasa haru, Rasulullah berujar, "Engkau datang sendirian, engkau hidup sendirian, dan engkau akan meninggal dalam kesendirian. Tapi serombongan orang dari Irak yang saleh kelak akan mengurus pemakamanmu." Abu Dzar Al Ghifary, sahabat setia Rasulullah itu, mengabdikan sepanjang hidupnya untuk Islam.
Inilah sosok dari Abu Dzar, orang yang sangat dekat dengan Nabi. Pada saat Nabi berpulang ke rahmatullah. Maka ia lalu pergi dari Madinah untuk melakukan dakwah. Ia tidak ingin hidupnya hanya untuk mengejar kekuasaan seperti yang ia lihat, di mana banyak umat Islam pada waktu itu sudah lebih mementingkan kehidupan dunia daripada akhirat.
Kehidupan sulitnya di dunia, insya Allah akan terbayar di akhirat karena ia sangat cinta kepada Rasulullah. Baginya kekayaan dunia tidak akan sebanding dengan kenikmatan akhirat yang kelak akan menempatkannya di sisi Rasulullah.
Ya, itulah Abu Dzar yang saat ia meninggal tidak ada satu kain kafan pun yang bisa menyelimuti tubuhnya, karena ia dan keluarganya lebih mementingkan dekat dengan Allah dan Rasulnya dibanding dengan mengejar kehidupan dunia.