Akankah Ornamen Melayu Meredup?

Oleh: Azmi TS.

Seni Ornamen Melayu  hanya ada di Istana Maimun, Masjid Raya Al Mansun dan Masjid Raya Al Osmani berdaya melampaui peradaban. Apakah dekade be­ri­kut­n­ya Ornamen Melayu mampu bertahan mengarungi zaman?

CIRI kearifan lokal seperti gaya tra­disi berupa seniukir ornamen, mak­na simbolik dan falsafahnya juga ikut memu­dar tergerus oleh zaman. Ter­­dapat banyak bentuk keindah­an ke­tika pandangan mata me­natap seni ba­ngunan yang di­ciptakan para le­luhur Melayu Deli pada zaman da­hulu. Kota Medan, dahulu pernah ber­ta­bu­r­an arsitektur bercirikan akar tra­disi seniukir Melayu De­li, kini tak berdaya.

Mulai dari bangunan eks ke­rajaan kesultanan Deli, kini dikenal dengan Is­tana Mai­moon, tempat ibadah Mas­jid Raya Al Mansun, hingga ru­mah panggung berdiri anggun dan megah. Kota Medan saat ini sudah berganti wajah dari per­kampungan menuju kota me­tropolitan, hutan beton tak ter­­hindarkan. Bangunan kolo­ni­al ber­gaya Art Deco dan Art Nouvo ber­gaya tropikal me­nger­dilkan se­niukir (ornamen) Melayu berci­rikan kearifan lo­kal.

Mulai ukuran bentuk, loka­si, hiasan dan fungsi juga me­ngalami pergeseran termasuk simbol-simbol pendukung­nya. Masih tersisa terlihat ha­nyalah istana kesultanan Deli (Maimun), Masjid raya Al Man­sun, dan Masjid Raya Al Os­mani. Rumah pang­gung su­dah tergerus zaman, ber­ganti ge­dung moderen (hutan beton) terus bertumbuhan di setiap su­dut kota.

Tak jauh dari istana, masih megah dan berdiri kokoh se­buah masjid, menjadi ikon ko­ta Medan. Umat Muslim selalu beribadah khusuk di Masjid Raya Al Mansun ini. Seputar­an kawasan itu juga, dahulu ba­nyak rumah tinggal yang ma­sih kerabat kesultanan Deli, membangun ru­mahnya bernu­an­sakan Melayu.

Dahulu bangunan rumah klasik ini, akrab disebut rumah lama atau rumah panggung, menjadi penanda atau ikon kota Medan. Perubahan wajah kota Medan membuat kebera­da­an bangunan tersebut hilang satu persatu berganti gedung ber­tingkat.

Rumah tinggal beratap mi­rip perahu dan terletak dengan tiang, da­hulu banyak dijumpai di ban­taran Su­ngai Deli. Fung­si tiang setinggi 4 me­ter untuk mengan­tisipasi banjir dan he­wan buas. Rumah Melayu se­bagai tempat hunian yang nya­man. Se­kitar rumah juga ba­nyak ditum­buhi pohon hijau nan asri dan teduh.

Kepedulian Melayu

Kini jangankan rumah ting­gal bangunan besar seperti kan­tor eks kolonial Belanda ju­ga bisa lenyap. Bahkan tanah lapangan juga bisa hilang ber­ganti bangunan hotel dan kuli­ner. Kota Medan yang dahulu ba­nyak bangunan indah bernu­an­sa seniukir Melayu, pernah juga digaungkan lagi oleh wa­likota Bachtiar Jafar.

Semua bangunan baru bo­leh ber­diri jikalau desainnya ada berci­rikan or­namen Mela­yu. Walaupun hanya di­lekat­kan ornamen itu pada sudut atau sisinya saja. Mulailah spi­rit itu hidup kembali. Momen itu mungkin tak akan terulang kembali saat ini, entah kapan tak ada jaminan. Patut dibang­gakan, masih ada saja masya­rakat yang mengganggap seni­ukir tradisi layak dipertahan­kan.

Setelah masa berlalu mulai redup, tak ada lagi orang Mela­yu yang peduli, walaupun dia sempat me­mim­­pin kota Me­dan ini. Ketika pro­vin­si Suma­tera Utara di pimpin oleh sa­lah seorang putra Melayu T. Rizal Nu­rdin asa itu sebenarnya ma­sih bisa di­gaungkan atau diapli­kasikan lagi.

Sayangnya beliau terlalu sing­kat berkarya, keburu di­panggil yang maha Pencipta. Seniukir ornamen Melayu pun belum banyak berperan lagi. Rizal Nurdin masih sempat me­nerapkan seni­ukir ornamen klasik Melayu pada bangunan rumah tinggal, yang disebut­nya rumah “Cindai”.

Diakui untuk mendirikan ru­mah panggung Melayu saat ini, terkendala material kayu. Sulit dan mahal serta ahli se­niukir ornamen juga tiada.

Sayangnya, rumah itu ber­sifat pribadi. Lagi pula letak­nya di kompleks perumahan, ma­ka tak semua publik bisa me­li­hatnya. Kalau ada niat me­li­hatnya lang­sung pihak ahli wa­risnya tak ber­keberatan. Asalkan niat dan tujuannya un­tuk apresiasi dan prototip war­ga kota Medan yang ingin mem­bangun rumahnya seper­ti itu.

Sulitnya litaratur atau refe­rensi membuat aplikasi mem­bangun akar tradisi seperti ba­gaimana cara leluhur dahulu mem­bangun, jadi alasannya. Se­la­in lokasi, ukuran dan juga kelengkapan hiasan bangunan contohnya seniukir ornamen, ah­linya juga hampir tak ada. Apa­kah Seniukir Ornamen Me­layu ini masih bisa berta­han sebagai bagian hiasan dari bangu­nan klasik? Inilah per­ma­salahan­nya saat ini.

Bangunan dan Petuah Melayu

Seniukir Ornamen me­mang dipa­kai untuk penghias te­tapi semua tak raga hias (or­namen) memiliki makna sim­­bolik tertentu termasuk war­nanya juga. Seba­ha­gian besar masih mene­rap­kan pe­warna­an asli (originalitas) se­perti war­na kuning, hijau dan putih. Pe­rubahan warna ter­dapat war­na biru, me­rah, merah mu­­da, cokelat dan kee­masan.

Bentuk atau pola ornamen klasik Me­layu, memiliki mak­na simbolik. Ada motif Bidai Susun I untuk rumah orang biasa. Motif Bidai Susun II un­­tuk rumah bangsawan. Mo­tif Bidai Susun III untuk ru­mah Raja atau Istana. Motif Sayap Latang untuk rumah pen­du­duk biasa (kaum keba­nyakan).

Seniukir ornamen Me­layu, dahulu dibuat oleh sang pemi­lik bangunan un­tuk menun­juk­kan status sosialnya. Seni­ukir ornamen Melayu memili­ki sim­bolik dan prestise nilai artistik ting­kat tinggi sebab pe­ngukir meng­ha­dirkan nuan­sa Melayu.

Zaman ini tak terlihat lagi menghiasi fisik bangunan. Kian hari akar tradisi seniukir ornamen Melayu, malah se­ma­kin meredup saja. Seniukir Ornamen masih layak diper­tahankan karena hiasan ini, selain memperindah sisi ru­mah­pun punya petuah-petuah si­pemiliknya.

Pepatah Melayu yang me­nga­ta­kan, “Takkan Melayu Hi­lang di Bumi”. Artinya kita sadar akan ke­pentingan men­ja­lin agar serasi antara bangu­nan, hiasan dan simboliknya. Meng­hilangkan ciri khas seni­ukir ornamen Melayu berarti ju­ga meng­hi­langkan seni­ukir tradisi para le­luhur Melayu, yang anggun dan megah itu.

()

Baca Juga

Rekomendasi