Oleh: M. Praja Wibawa
Kebangkitan Nasional merupakan suatu rasa persatuan dan kesatuan nasionalisme masyarakat demi negara yang ia bela dan ia pertahankan. Kata bangkit bagi negara Indonesia memiliki banyak arti, bangkit dari penjajahan, bangkit dalam kemiskinan, bangkit dalam keterpurukan, dan bangkit dalam ketidakadilan.
Sejak zaman penjajahan hingga pada saat ini kata bangkit sering sekali tergiang di kuping kita, entah apa maksud dari kata bangkit tersebut, tapi yang jelas masyarakat sangat menginginkan penerapan kata bangkit tersebut di negeri ini.
Kemajemukan masyarakat Indonesia merupakan suatu nilai lebih bagi negara ini, Indonesia memiliki kepulauan tidak kurang dari 13.000 pulau yang tersebar dari sabang sampai merauke (hasil survey terakhir Kementerian Kelautan dan Perikanan) serta memiliki ratusan etnis atau budaya, jangan sampai semua kekayaan negara ini direbut dari negara lain dan Pemerintah harus bisa menjaga semua ini agar tidak terjadi kericuhan atau perpecahan dalam kemajemukan dalam berbangsa dan bernegara. Sejarah Kebangkitan Nasional diawali dengan berdirinya Organisasi Budi Utomo pada 20 Mei 1908 dan Ikrar Sumpah Pemuda pada 28 Oktober 1928.
Organisasi Budi Utomo yang didirikan pada tanggal 20 Mei 1908 oleh Dr. Sutomo dan para mahasiswa STOVIA (School Tot Opleiding Van Indische Artsen) yaitu Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeraji serta digagas oleh Dr. Wahidin Sudirohusodo pada awalnya bukan organisasi politik, tetapi lebih kepada organisasi yang bersifat sosial, ekonomi, dan kebudayaan.
Namun seiring waktu Boedi Oetomo kemudian menjadi cikal bakal gerakan yang bertujuan untuk kemerdekaan Indonesia. Karena dianggap sebagai organisasi yang menjadi pelopor bagi organisasi kebangsaan lainnya, maka tanggal kelahiran Budi Utomo yaitu 20 Mei ditetapkan sebagai Hari Kebangkitan Nasional.
Bangsa Indonesia, yang dijajah oleh Belanda, hidup dalam penderitaan dan kebodohan selama ratusan tahun. Bahkan tingkat kecerdasan rakyat, sangat rendah. Semua ini disebabkan pengaruh sistem Kolonialisme yang berusaha untuk “membodohi” dan “membodohkan” bangsa jajahannya. Hal inilah yang memicu munculnya Organisasi Budi Utomo untuk mencerdaskan dan membangkitkan rasa Nasionalisme bangsa, agar bangkit dari penjajahan dan pembodohan negeri.
Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Kota Yogyakarta. Hingga diadakannya kongres yang pertama ini, BU telah memiliki tujuh cabang di beberapa kota, yakni Batavia, Bogor, Bandung, Magelang, Yogyakarta, Surabaya, dan Ponorogo.
Pada kongres di Yogyakarta ini, diangkatlah Raden Adipati Tirtokoesoemo (mantan bupati Karanganyar) sebagai presiden Budi Utomo yang pertama. Semenjak dipimpin oleh Raden Adipati Tirtokoesoemo, banyak anggota baru BU yang bergabung dari kalangan bangsawan dan pejabat kolonial, sehingga banyak anggota muda yang memilih untuk menyingkir.
Pada masa itu pula muncul Serikat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Serikat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Serikat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan.
Ditakuti Belanda
Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut.
Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah. Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel “Als ik Nederlander was” (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda.
Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi. (sumber : www.InfoNews.web.id)
Sekarang dalam Pemerintahan Jokowi-JK Indonesia telah dihadapkan berbagai masalah internal maupun eksternal, baik dalam hal sosial, ekonomi, dan politik.
Sejak pelantikan atau peresmian Pemerintahan Jokowi-JK banyak Pro dan Kontra yang muncul di kalangan masyarakat Indonesia, dengan dipicu kemunculan Program Revolusi Mental, banyak para pakar Pemerintahan yang kurang setuju akan penerapan program tersebut. Karena menurut mereka, masyarakat Indonesia belum mampu atau belum sanggup menerapkan program yang digadang-gadang menjadi jurus ampuh demi perubahan jatidiri bangsa Indonesia.
Dibukanya Pasar Internasional dan Pasar Tenaga Kerja Internasional, membuat masyarakat kita kurang bisa mengikuti pasar tersebut, serta pengaplikasian sistem demokrasi yang terkesan ada sedikit unsur Liberalisme yang membuat prasangka masyarakat agak sedikit buruk terhadap Pemerintahan ini. Kebangkitan negeri, sekarang telah dijalankan, sebagai warga kita harus mendukung segala program yang ada, dan kita sebagai fungsi Yudikatif harus juga mengawasi jalannya program tersebut.
Jadi, mari kita jadikan Hari Kebangkitan Nasional ini menjadi hari yang benar-benar bermakna bagi semua lapisan masyarakat Indonesia, tak terkecuali kalangan Pedagang dan Buruh agar semua kalangan dapat merasakan perubahan-perubahan yang dilakukan Pemerintahan. Tapi, perubahan yang Pro akan kepentingan rakyat, bukan perubahan yang menjurus akan kepentingan kelompok semata.
Mari bangkit dari Kesenjangan Sosial, bangkit dalam Perekonomian Nasional, dan bangkit dalam Pertahanan Nasional. ***
Penulis adalah Staf Sekretariat Dewan Pengawas Tirtanadi Sumatera Utara