Oleh: Riduan Situmorang.
BERBAHAGIALAH kita karena sesungguhnya perang yang hampir kekal antara Palestina dan Israel bukanlah perang agama seperti yang jamak diterjemahkan. Perang itu murni perang politik. Kalaupun kemudian ada agama yang melabelinya, itu hanyalah faktor lanjutan—atau bahkan kebetulan—yang coba dimanfaatkan oleh sekelompok orang. Faktanya, Vatikan yang adalah pusat pemerintahan Gereja Katolik sudah sejak dulu konsisten mendukung Palestina menjadi sebuah negara. Andai perang agama, bukankah Vatikan sejatinya harus lebih mendukung Israel ketimbang Palestina?
Tetapi, sekali lagi, ini bukan perang bermotif agama. Maka itu, Vatikan meletakkan Palestina dan Israel pada timbangan yang sama. Bahkan pada praktiknya, Vatikan justru lebih sering berkunjung atau berjumpa dengan pemimpin Palestina daripada Israel karena diposisikan, Palestinalah kini yang sedang “terjajah”. Karena itu, suara Vatikan murni suara kemanusiaan. Lihat saja, sebelum PBB pada November 2012 mengakui status Palestina sebagai nonmember observer state, negara pengamat bukan-anggota, Vatikan sudah lebih dahulu mengusulkannya.
Damai Lebih Penting
Vatikan pun tercatat berhubungan baik dengan Palestina. Takhta Suci, misalnya, sudah menjalin hubungan diplomatik dengan PLO (organisasi yang ketika itu secara resmi mewakili Palestina) sejak 26 Oktober 1994, setahun setelah menjalin hubungan diplomatik dengan Israel. Hubungan itu bukanlah hubungan kering. Terhitung, Paus Yohanes Paulus II sudah bertemu 12 kali dengan Yasser Arafat. Pertemuan pertama mereka berlangsung pada 15 September 1982 di Vatikan. Paus Benediktus XVI bertemu enam kali dengan Presiden Palestina Mahmoud Abbas.
Paus Fransiskus boleh dikatakan lebih spektakuler lagi karena dengan sengaja, dia mengundang Mahmoud Abbas dari Palestina dan Shimon Peres dari Israel ke Vatikan untuk berdoa. Benar-benar murni untuk berdoa. Saat itu, Paus Fransiskus merelakan kediamannya sebagai tempat berdoa bagi agama samawi yang kini selalu dirundung perkelahian dan kebencian sehingga saat itu, banyak media mengangkat judul yang seronok: adzan mengalun di Vatikan. Yang lebih seronok bahkan provokatif lagi, ada beberapa komentar yang negatif: hidayah kini menjalar ke Vatikan.
Terlepas apakah kelak itu sebagai sebuah hidayah atau tidak, kiranya perlu disampaikan bahwa adanya komentar demikian semakin meneguhkan bahwa para penganut agamawan di tingkat akar masih saling “berperang” untuk saling menaklukkan satu sama lain. Agama pun dihadirkan sebagai barang jualan atau bahkan ilmu yang ayat-ayatnya diadu untuk saling menungkalkan, saling menyalahkan, dan saling mengklaim.
Maka, kalau kebetulan kita yang dari luar Palestina dan Israel telanjur memandang perang di antara mereka adalah perang agama, dapat dipastikan perang itu akan semakin berkecamuk. Dengan demikian, damai pun akan semakin terusik.
Padahal, teolog besar Hans Kung pernah mengatakan, tiada perdamaian dunia jika tidak ada perdamaian antaragama-agama. Sebab, perdamaian adalah sebuah sistuasi di mana ada rasa saling menerima, bukan saling mengklaim, apalagi menaklukkan. Kata Augustinus lagi, perdamaian itu merupakan situasi ketika pada akhirnya kebenaran akan kemanusiaan sejati dihargai. Artinya, damai itu lebih penting daripada agama itu sendiri. Agama adalah damai. Manakala karena agama terjadi kekacauan, itu artinya agama sudah gagal membawa misinya. Kalau gagal berarti agama perlu dievaluasi.
Sialnya pada faktanya, agama justru tercatat sebagai mesin jagal yang paling efektif. Betapapun agama hadir sebagai salah satu institusi terpenting dalam sejarah, kehidupan yang bersimbah darah akibat kesombongan dan kepongahan yang muncrat darinya telah menjadikannya sebagai salah satu ruang benturan dan konflik paling laris sepanjang zaman. Karena itu menjadi benarlah adagium bahwa agama telah menjadi candu yang membuat para pembunuh kemanusiaan dalam nama Tuhan menjalankan semua itu dengan perasaan sebagai orang suci.
Inilah mungkin evaluasi tahap ke sekian kalinya bagi kita atas agama, terutama bagi kita yang memandang kasus Palestina dan Israel sebagai perang agama. Kita harus sepandangan bahwa apa yang telah dilakukan oleh Vatikan murni untuk kemanusiaan. Tidak ada embel-embel lain.
Maka itu, yang pro-Israel tak perlu meradang. Sebaliknya, yang pro-Palestina pun tak perlu berlebihan. Tak perlu ada kamus-kamus dan sebutan bahwa kini ada yang menang dan ada yang kalah. Ini murni demi kemenangan semua pihak, terutama kemenangan bagi mereka yang memandang baik kemanusiaan.
Upaya Revolusioner
Kemanusiaan itu bagaimanapun lebih penting daripada agama. Karena itu kiranya dibutuhkan keberanian revolusioner. Keberanian revolusioner bukan melulu berdarah-darah, melainkan keberanian untuk mengakui yang lain, terutama lagi menerima yang lain sebagai mahluk yang setara dengan kita. Tak ada yang menguasai dan tak ada yang dikuasai.
Dalam hal ini, Israel harus menerima keberadaan Palestina dan Palestina pun harus menjamin keberadaan Israel. Dalam skala yang lebih luas, kita yang sama sekali bukan warga negara Palestina dan Israel harus kondusif. Jangan provokatif.
Terutama lagi, kita jangan mau terprovokasi. Saya yakin dengan keputusan Vatikan ini banyak orang merasa terpukul. Amerika Serikat sebagai sekutu terdekat Israel, misalnya, keberatan. Israel bahkan protes keras. “Kami sangat kecewa dengan sikap Vatikan, pengakuan ini akan mempersulit Palestina untuk kembali ke meja perundingan,” ujar Juru Bicara Kementerian Luar Negeri Israel, Emmanuel Nahshon, seperti dilansir The Times of Israel, Kamis (14/5/2015).
Akan tetapi ini bukan urusan siapa di belakang Israel dan Palestina. Bahkan bukan urusan karena siapa Palestina dan Israel itu sendiri. Ini urusan manusia yang harus menghormati sesama manusia. Tidak ada yang lebih spesial di mata Tuhan. Maka, sangat salah sasaran jika kita terlalu memonopoli Tuhan menurut pola pikir kita. Profesor Jaques Barzun pernah menyerukan begini, Restore God to the fullness of His Reality.
Selama Tuhan tidak dikembalikan kepada kedudukan-Nya yang sejati, selama itu pula nilai-nilai ketuhanan tidak akan tercermin dalam setiap perilaku moral sehingga yang ada hanya perkelahian dan kebencian.
Maka, kebetulan kali ini sabda bahagia berasal dari Roma, baiklah kita kutip pepatah klasik dari Roma ini: Roma locuta, causa finita. Terjemahan langsungnya adalah Roma bicara, perkara selesai. Kini, Roma sudah berbicara, apakah kelak perkara akan selesai? Kita tunggu saja semoga simpati dari Vatikan kali ini membawa berkah! ***
Penulis adalah Pendidik, Konsultan Bahasa, dan Pegiat Sastra dan Budaya di “Tater Z” Medan