Takengon, (Analisa). Sejarawan Gayo, Tgk H. Mahmud Ibrahim mengkhawatirkan istilah bahasa Gayo secara berlahan akan hilang. Dan ironisnya istilah-istilah bahasa termasuk sejarah Gayo tersebut kurang mendapat perhatian dari para ekskutif dan legislatif daerah dataran tinggi Gayo itu.
Sebut saja istilah, reje (Gayo) sebutan yang diberikan oleh pemerintah setempat untuk kepala kampung atau keuchik. “Reje itu feodal, saya tidak sepakat dengan sebutan itu untuk keuchik di Aceh Tengah ini,” kata Mahmud Ibrahim saat berkunjung ke Kecamatan Bintang, Rabu (20/5).
Istilah kata reje itu sebenarnya bukan dari bahasa Gayo, raja dalam bahasa Gayo adalah merah yang artinya pemimpin yang gemasih. Ia mengakui soal proses penetapan sebutan reje beberapa tahun lalu dirinya tidak diikutsertakan. Bahkan, yang cukup mengherankan usulan perubahan nama-nama jalan dengan nama Gayo juga tidak digubris oleh pemerintah, termasuk soal Lembaga Adat Gayo, tegas Mahmud Ibrahim.
Seharusnya Bener Meria
Dia juga mengoreksi nama Kabupaten Bener Meriah yang penulisan dinilai kurang tepat. Yang betul adalah Bener Meria, bukan Bener Meriah. Bener itu artinya belangi, indah dan Meria itu mulia.
“Jadi, Bener Meria artinya indah dan mulia, kalau Bener Meriah sekarang artinya indah dan gembira atau berhura-hura. Lalu kita mau pilih yang mana?,” kata mantan Sekda Aceh Tengah itu yang sekarang menjabat Ketua Baitul Mal Masjid Ruhama Takengon.
Dia sudah menyampaikan masalah nama Bener Meriah tersebut kepada anggota DPR-RI, Ir. H. Tagore AB yang pernah menjabat Bupati Bener Meriah. Mahmud berharap bisa mendapat tanggapan dan diupayakan agar menggantikan nama Bener Meriah itu menjadi Bener Meria.
“Soal identitas harus ada upaya pembenahan agar tidak hilang, saya sudah katakan kepada Tagore. Dan mengerjakannya tidak bisa sendiri-sendiri, mesti bersama saling bergandeng tangan,” tegas Tgk.Mahmud Ibrahim yang dikenal sebagai ulama kharismatik di Gayo. (jd)