Oleh: David Siagian
Bangsa kita kerap mencibir bahkan menajiskan budaya asing serta pengaruhnya. Budaya asing dianggap merusak budaya bangsa yang telah tercipta sejak dahulu, sebab cenderung menawarkan gaya hidup hedonis, konsumtif, seronok dan bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila.
Benarkah budaya asing selalu membawa dampak negatif terhadap tatanan hidup bangsa? Agaknya, pemikiran yang mengidentikan budaya asing sebagai perusak nilai-nilai luhur bermasyarakat sedikit perlu dikoreksi. Sebab, tidak sedikit budaya asing yang justru perlu dicontoh bangsa ini agar bisa maju dan keluar dari keterpurukan. Banyak budaya asing yang mengandung nilai-nilai positif, nilai-nilai luhur, nilai-nilai konstruktif yang mampu membangun bangsa ke arah yang lebih baik.
Budaya Cermin Bangsa
Jerman dengan budaya jujur masyarakatnya, misalnya, adalah budaya luhur yang telah berakar dan bertumbuh hingga saat ini. Di negeri panser ini, nilai-nilai kejujuran amat dijunjung tinggi. Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat di negara bekas kekuasaan Hitler itu, membayar atau membeli tiket naik trem atau bus dilakukan sendiri oleh penumpang tanpa pengawasan petugas. Orang juga terbiasa membayar dan mengambil koran sendiri tanpa ditunggui penjualnya. Polisi dan pegawai pemerintah Jerman juga dikenal dengan budaya anti korupsi. Oleh sebab kejujuran jugalah jarang kedengaran terjadi kasus korupsi di negeri itu. Sebab semua orang terbiasa tidak mau mengambil hak orang lain.
Bagaikan bumi dan langit, kejujuran di negeri ini adalah barang langka. Integritas hanyalah slogan murahan yang biasa diumbar politikus dadakan maupun karatan saat kampanye. Sebaliknya, kebohongan telah menjangkiti bangsa ini. Ketidakjujuran telah menjadi kebiasaan yang dibenarkan, terutama di kalangan politikus dan pejabat. Tidak cukup lagi kata untuk menggambarkan betapa buruknya perilaku korup akibat ketidakjujuran di negeri yang berke-Tuhanan Yang Maha Esa ini. Korupsi sudah seperti virus kanker stadium empat yang hampir membunuh bangsa ini.
Contoh lain budaya unggul asing yang patut ditiru adalah budaya malu bangsa Jepang. Barangkali, semua orang tahu Jepang memiliki budaya malu yang amat besar. Pada masa Perang Dunia II, banyak tentara Jepang yang bunuh diri karena malu kalah perang. Jepang harus menyerah kepada Sekutu pimpinan AS setelah Hiroshima dan Nagasaki luluh lantak oleh bom atom. Harakiri (menusukkan samurai ke perut) menjadi budaya ritual tentara Jepang yang kalah dalam pertempuran saat itu. Di zaman modern, budaya malu di negeri Sakura itu tetap terpelihara meski dengan cara lain, misalnya dengan mengundurkan diri dari kekuasaan atau jabatan.
Perdana Menteri Naoto Kan mengundurkan diri dari jabatannya setelah dianggap gagal menangani bencana nuklir Fukushima yang meledak akibat gempa dan tsunami pada 2011 lalu. Banyak pejabat dan politisi Jepang mengundurkan diri karena merasa malu telah gagal melaksanakan tugasnya. Atau, karena malu terbelit kasus korupsi atau prostitusi.
Lagi-lagi, di negeri sendiri, rasa malu telah hilang dari kamus para politikus dan pejabat. Kita sudah lama kehilangan ke-malu-an. Entah sudah menjadi budaya baru, jika politikus atau pejabat tersangkut kasus korupsi mereka selalu mengacungkan dua jempol ke publik. Para koruptor terbiasa senyam senyum ke arah kamera layaknya selebriti yang sedang dieluk-elukkan. Dimana rasa malu mereka. Kasus paling santer saat ini, perseteruan gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dengan DPRD DKI Jakarta yang dipertontonkan ke khalayak. Perseteruan ini dipicu dugaan dana siluman Rp 12,1 triliun di APBD. Korupsi seperti sudah menjadi norma dan normal karena dilakukan bersama-sama dan secara massal.
Mencari Jati Diri
Beberapa dekade terakhir, bangsa kita seolah kehilangan jati diri. Bangsa yang dahulu dikenal bermartabat dan menjungjung tinggi nilai-nilai dan budaya para leluhur perlahan terkikis oleh kepentingan sesaat para perusak bangsa. Perilaku jujur, berintegritas, kerja keras, loyalitas, etika dan sopan santun yang dahulu dimiliki para pendahulu bangsa dirusak. Sebaliknya, perilaku bejat mendestruksi budaya unggul bangsa.
Budaya unggul seperti kerja keras, pantang menyerah, hidup hemat Jepang membuat negara yang hancur lebur pada Perang Dunia II itu bisa bangkit dengan cepat. Dengan kerja sama yang baik Jepang bisa membangun kembali tembok-tembok yang runtuh dengan waktu yang relatif pendek. Jepang tidak mengenal budaya boros dan latah. Anak-anak Jepang di sekolah diajarkan dengan menggunakan peraga tradisional dan sederhana bukan gadget-gadget canggih yang nota bene mereka produksi sendiri.
Saat ini bangsa Indonesia diperhadapkan dengan persaingan global terutama di bidang ekonomi dan perdagangan. Tinggal menghitung bulan Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA) akan segera diberlakukan. Mampukah bangsa ini bersaing dengan bangsa lain. Atau, akankah bangsa ini menjadi bulan-bulanan sistem ekonomi dan perdagangan yang tidak mengenal ekonomi kehidupan ini?
Jauh sebelum negara terbentuk, budaya bernilai tinggi pernah tumbuh dan berakar kuat di masyarakat Indonesia. Jerman dengan nenek moyangnya bangsa Aria atau Indo German secara historis berimigrasi ke India. Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit dipengaruhi kebudayaan Hindu dan Budha yang juga memiliki budaya unggul.
Kejayaan di era Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit menjadi bukti keunggulan bangsa. Di masa itu, Sriwijaya bahkan mencapai puncak kejayaan di bidang ekonomi dan politik di wilayah Asia Tenggara. Rakyat menikmati kehidupan ekonomi yang sejahtera. Di bidang politik, negara menguasai seluruh wilayah nusantara yang meliputi wilayah jajahan Belanda (sekarang wilayah NKRI) bahkan mencapai wilayah Filipina, Singapura, Malaysia dan sebagian wilayah Thailand.
Bukan mustahil era kejayaan Sriwiyaya atau Majapahit berulang kembali. Budaya-budaya unggul yang pernah dimiliki bangsa Indonesia perlu digali. Budaya kerja keras yang pernah dimiliki bangsa Indonesia sebagai negara bahari harus menjadi jati diri bangsa. Sopan santun, etika dan semangat gotong royong dalam berpolitik sudah selayaknya dimiliki para politikus agar stagnasi perkembangan bangsa Indonesia ke depan, terutama menghadapi era perdagangan bebas, bukan menjadi takdir abadi. Indonesia sulit maju bukan karena tidak memiliki budaya kerja keras, atau minim SDM tetapi karena hilangnya jati diri bangsa akibat keriuhan situasi perpolitikan yang saling menjatuhkan. Menggali budaya unggul adalah salah satu pra syarat membangun bangsa Indonesia menjadi bangsa yang maju dan mampu bersaing. ***