Mengangkat Ketertinggalan Dokan

Oleh: Fahrin Malau. Mengunjungi Desa Budaya Dokan yang berada di Kecamatan Merek Kabupaten Karo membawa kita ke atmosfer 100 tahun lalu. Hiruk-pikuk pusat pemerintahan Kabupaten Karo, Kabanjahe, sangat berbeda jauh. Di desa yang hanya berpenduduk lebih kurang 350 Kepala Keluarga terasa sepi. Tidak banyak geliat aktivitas masyarakat. Hampir sebagian besar mata pencaharian penduduk bertani. Di antara rumah penduduk yang padat dan tidak tertata rapi, masih berdiri Siwaluh Jabu (Rumah adat Karo). Dari 16 Siwaluh Jabu yang pernah ada, kini tinggal lima. Siwaluh Jabu mBelin, Ketek, Tengah, Sendi dan mBaru. Saat ini Siwaluh Jabu Tengah, kondisinya sangat memprihatinkan. Sisanya sudah dilakukan perbaikan oleh Direktorat Pembinaan Kepercayaan Terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan Tradisi. Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 2013.

Tidak diketahui secara pasti tahun berapa Desa Budaya Dokan berdiri. Bahkan Simon Ginting (65) cicit dari pendiri Desa Budaya Dokan Oppung Simantek Kuta mengaku, tidak tahu secara pasti sejak kapan Desa Budaya Dokan dihuni. Menurut cerita orangtuanya, Siwaluh Jabu mulai dibangun sekitar tahun 1913 lalu. Sebelumnya tidak tinggal di Dokan sekarang, tapi di Kedauhen yang berarti kejauhan. Di Keduhen masyarakat sulit mendapat air. Alasan untuk mendapat air, masyarakat yang tinggal di Kedauhen tinggal di Dokan dan membangun Siwaluh Jabu.

Nama desa ini, pengakuan Simon, diambil dari nama burung Daukan sekarang disebut Ampuk di Toba disebut Ampok. Sebelum masyarakat bermukim di desa ini, banyak Burung Dokan bersarang di batang pohon. Karena tempatnya jauh dari jalan lintas, banyak terdapat Burung Dokan. Sekarang keberadaan Burung Dokan atau sekarang Burung Ampuk sudah sulit dilihat. Kecuali di Toba dan Samosir masih sangat banyak.

Tahun 1980-an, mulai membuat rumah sendiri yang terbuat dari kayu dan batu. Hanya sebagian kecil yang masih tinggal di Siwaluh Jabu. Cukup beralasan, untuk membuat rumah Siwaluh Jabu biaya yang dibutuhkan sangat besar. Apalagi sekarang, untuk mendapatkan bahannya sudah sangat sulit. Satu persatu Siwaluh Jabu rusak dan tergantikan dengan rumah yang terbuat dari papan dan batu.

Cerita menarik dari Desa Dokan yang dijadikan sebagai desa budaya oleh Pemerintah Kabupaten Karo sekitar tahun 1990-an hanya dilakukan dari mulut ke mulut. Benar atau tidak, sulit untuk dibuktikan kebenarannya. Tidak ada cacatan yang dilakukan secara tertulis dan foto oleh Pemerintah Kabupaten Karo asal muasal Desa Dokan. Padahal, bila cacatan sejarah Desa Dokan didokumentasikan dengan rapi, menjadi aset yang sangat menjual untuk wisatawan. Tidak seperti sekarang ini. Minimnya catatan sejarah asal-usul Desa Dokan, wisatawan yang datang tidak mendapat penjelasan.

Wisatawan yang datang hanya bisa berkeliling, mengamati dan menginap di Siwaluh Jabu. Setelah itu pergi meninggalkan Desa Dokan. Berbeda bila catatan sejarah dikemas dengan baik. Masyarakat di sana menjelaskan mulai dari asal usul berdirinya, sampai acara ritual. Selain itu masyarakat juga bisa menjual cendera mata kepada wisatawan yang memiliki nilai sejarah di Desa Dokan.

“Tidak ada. Masyarakat tidak ada yang menjual cendera mata. Begitu juga kalau ada pengunjung yang datang. Masyarakat tidak bisa menjelasakan asal-usul desa ini. Masyarakat di sini sudah tidak mengetahui asal-usul desa ini. Kalau pun ada hanya sedikit. Orang-orang tua kami dulu, tidak menjelaskan asal-usul desa ini,”aku Simon Ginting.

Kepedulian Pemerintah Kabupaten Karo untuk menjadikan Desa Dokan sebagai andalan tujuan wisata terkesan setengah hati. Masyarakat di sana tidak mengetahui apa yang harus dilakukan bila pengunjung datang. Masyarakat hanya menyambut dengan senyum dan membiarkan melihat sendiri. Padahal desa ini memiliki potensi besar untuk dijadikan tempat kunjungan andalan di Karo selain Brastagi. Apalagi jarak desa ini dengan Berastagi tidak jauh sekitar 95 km. Desa Dokan adalah desa strategis yang terletak di antara kota Brastagi dan Danau Toba. Bila dikelola dengan baik.

Tertinggal

Desa Dokan yang menjadi destinasi Kabupaten Karo, tidak seperti daerah lainnya yang dijadikan tujuan wisata. Potensi wisata budaya yang digaung-gaungkan di desa ini, masyarakatnya tidak dipersiapkan secara baik. Ironisnya, masyarakat di desa ini, tidak mengetahui apa manfaat dari wisatawan datang berkunjung. Untuk memenuhi kebutuhan hidup, pertanian masih menjadi andalan. Sampai sekarang pariwisata belum memberikan manfaat pada peningkatan ekonomi masyarakat.

Ketertinggalan pendidikan dirasakan masyarakat Desa Dokan. Namaken Ginting Munte (71). Banyak masyarakat yang putus sekolah. Kekawatiran ini sampai sekarang dia rasakan. Masih ada masyarakat di desa ini, tidak bisa melanjutkan pendidikan sampai tingkat sekolah menengah atas. Apalagi ke perguruan tinggi. Kalau pun ada masih sedikit.

Desa Dokan hanya memiliki satu sekolah dasar. Sekolah menengah pertama dan atas, harus ke Kecamatan Merek, Tiga Panah atau ke Kabanjahe. Letak sekolah yang jauh dari Desa Dokan, biaya yang harus dikeluarkan terbilang banyak. Keterbatasan penghasilan dari pertanian, anak-anak terpaksa berhenti bersekolah.

“Kami berharap, anak-anak bisa lanjut sekolah. Kami sangat mendukung kegiatan anak-anak. Seperti kegiatan sanggar mBuah Page. Melalui kegiatan ini, anak-anak nantinya bisa dapat bekerja,” harapnya.

Masih Bertahan

Desa Dokan dikenal sebagai desa tradisional yang menjadi salah satu objek wisata di Kabupaten Karo. Alasannya karena desa ini merupakan salah satu dari tiga desa yang mewakili sejarah dan peradaban budaya karo. Desa lainnya adalah Desa Lingga dan Desa Peceran. Ini ditandai masih berdirinya Siwaluh Jabu, yang menyiratkan kekayaan adat masyarakat setempat.

Dikatakan Siwaluh jabu karena di dalam rumah ini terdapat delapan jabu. Dihuni delapan kepala rumah tangga yang hidup berdampingan dalam keadaan damai dan tentram. Bahan bangunan terbuat dari kayu bulat, papan, bambu dan beratapkan ijuk tanpa menggunakan paku ataupun kawat.

Desa Dokan merupakan sebuah desa yang indah. Memiliki 4 Siwaluh Jabuyang dan 1 si empat jabu, yang masih digunakan. Batas dari satu keluarga dengan keluarga lainnya ditandai dengan adanya tirai kain panjang. Semua rumah tradisional Karo mempunyai pemilik. Dimana pemiliknya haruslah seorang ayah yang sudah tua agar mengerti tradisi masyarakat Karo. Rumah kayu ini tak dilengkapi kamar tidur dan ruang tamu. Semua anggota keluarga tidur di jabu atau ruangan tanpa penyekat. Khusus untuk bapa (bapak) dan nande (ibu) diberi penyekat berupa kain panjang yang setiap pagi dilepas. Ruangan tadi berfungsi ganda. Tempat memasak, tempat makan dan berkumpul, sekaligus tempat tidur keluarga. Karena tidak ada pemisah ruangan, pada setiap jam masak, semua ruangan dipenuhi asap kayu bakar yang dipakai sebagai bahan bakarnya. Kecilnya ukuran pintun perik alias jendela, membantu pertukaran udara di dalam rumah, sehingga kepengapannya tidak terlalu menyesakkan dada.

Rumah adat ini umumnya dilengkapi empat dapur. Masing-masing dapur memiliki dua tungku untuk dua keluarga yang biasanya mempunyai hubungan kekerabatan sangat erat. Setiap tungku dapur menggunakan lima batu sebagai pertanda bahwa di suku Karo terdapat lima marga yakni Ginting, Sembiring, Tarigan, Karo-karo dan Perangin-angin. Di atas tungku terdapat tiga tingakan para, tempat menyimpan bumbu dan ikan atau daging selain untuk rak piring dan tempat menyimpan segala sesuatu untuk kebutuhan keluarga sehari-hari.

Bagian depan dan belakang rumah, terdapat ture seperti teras dilengkapi redan atau tangga. Kedua ujung atap masing-masing dilengkapi dua tanduk kerbau. Tanduk itu diyakini sebagai penolak bala. Ture biasanya menjadi tempat muda-mudi mengawali percintaannya. Gadis Karo dahulu kala menganyam tikar atau mbayu amak di atas tempat ini, sebelum menemukan jodoh. Rumah berbentuk panggung dan beratap ijuk ini memiliki dua pintun (pintu) dan delapan jendela (pintun perik). Ruangan setiap keluarga disebut jabu. Kolong rumah dimanfaatkan sebagai kandang ayam, babi, itik, kambing serta tempat menyimpan kayu bakar.

Pemilik rumah Siwaluh jabu juga cenderung membangun rumah sendiri di tempat lain. Tidak zamannya lagi hidup bersama dengan delapan keluarga dalam satu rumah. Kini Jabu tinggal 5 dan satu menanti kehancuran. Jangan sampai Siwaluh Jabu hancur dan generasi mendatang hanya bisa melihat dari foto.

()

Baca Juga

Rekomendasi