Oleh: Azmi TS.
BUKU yang merangkum lakon kehidupan perupa jarang dijumpai. Banyak penulis biografi pelukis terkendala masalah minimnya dokumentasi. Penerbit buku sebagai ujung tombak jendela ilmu pengetahuan, enggan menerbitkan buku yang kurang diterima pasar. Kesadaran perupa masih rendah terhadap publikasi berbentuk buku
Mengenalkan pelukis nusantara melalui buku teks (rekam jejak pelaku senirupa) ini ternyata tak berjalan mulus. Padahal buku satu-satunya catatan dokumentasi yang akurat selain publikasi lewat katalog pameran senirupa dan berita di media masa. Seharusnya merupakan kewajiban perupa untuk mendokumentasikan setiap hasil karya selengkap mungkin berikut biografinya.
Selama ini hanya pelukis terkenal atau yang namanya sudah melegenda sajalah yang peduli untuk hal tersebut di atas. Kalau ditelusuri persoalan buku biografi perupa diawali dari kurang tertariknya industri perbukuan menerbitkannya dengan dalih pasarnya kecil. Hanya perupa yang berkantong teballah yang berani membiayai semua ongkos cetak pereksemplarnya.
Hambatan lain belum adanya penerbit merangkul perupa untuk saling mendukung dana agar terbit buku yang harganya terjangkau pembeli. Selanjutnya adalah persoalan siapakah yang bersedia menjadi penulis tentang perupa ini? Beberapa penulis terkadang juga enggan menulis karena untuk mencari pelukis yang mau ditulis juga jarang ditemukan.
Berbekal minimnya kisah perupa ditemukan di toko buku atau perpustakaan inilah yang mendorong Agus Priyatno mengurai kekurangan perupa dikenal masyarakat luas. Paling tidak upaya membukukan kisah pelukis terkenal nusantara bisa menjangkau masyarakat umum dan kaum akademik.
Belum meratanya buku biografi pelukis dapat dibaca terutama kalangan pelajar mulai Sekolah Dasar, hingga Perguruan Tinggi, membulatkan tekad dosen Senirupa Universitas Negeri Medan (Unimed) ini membuat buku. Buku yang diberinya judul; 10 Pelukis Maestro Indonesia, ini mengupas sekilas 10 pelukis terkenal yang melegenda tersebut.
Buku yang ditulis berdasarkan pilihan belum banyak dibuat oleh penulis yang berkecimpung pada persoalan biografi. Tak terkecuali menyangkut biografi khusus perupa baik yang masih hidup maupun yang telah meninggal dunia. Pilihan yang stagnan pada angka 10 sebenarnya bukanlah keniscayaan tetapi sebuah kebetulan.
Paling tidak 10 Pelukis Maestro Indonesia pada buku ini bisa mewakili bagaimana corak dan sisi kehidupannya dapat diketahui publik secara luas. Hanya saja 10 pelukis ini adalah pernah meramaikan jagad senirupa nusantara. Sayangnya dalam buku ini Agus Priyatno belum berani memasukkan perupa yang berkiprah di luar Jawa.
Kalau Raden Saleh, Sindhutomo Soedjojono, Basoeki Abdullah, Dullah, Affandi, Widayat, Rustamadji dan Amri Yahya, memang sudah sering juga dibukukan.
Demikian pula perupa yang masih eksis dan hidup; Abdul Djalil Pirous (A.D Pirous) dari Bandung dan Agus Kamal dari Yogyakarta, juga cukup dikenal luas.
Mudah-mudahan untuk buku Agus Priyatno berikutnya akan lebih berani lagi menuliskan maestro baru selain yang sudah pernah dibukukan. Kalau itu terwujud tentunya dengan kualitas yang dapat dipertangggungjawabkan. Untuk mengelompokkan perupa sampai ke strata legendaris tak semudah membalikkan telapak tangan.
Ada kreterianya misalnya jumlah karya yang sudah dihasilkan, banyak dikoleksi, terpajang dimuseum, mendapatkan penghargaan dan sering diberitakan sepak terjangnya mengkader perupa berbakat. Untuk melekatkan predikat maestro tidaklah sembarangan atau hasil rekayasa apalagi publik juga tak bisa menerima gelar yang diberikan itu.
Terlepas dari persoalan sulitnya penerbit yang konsisten dan juga perupa yang ditulis dan bukunya laris dipasarkan, haruslah ada sinergi ketiganya. Trilogi perupa, penerbit dan pasar adalah tanda akan bangkitnya era literasi sehingga kebutuhan masyarakat tidak lagi terhambat.
Senirupa 10 Maestro Indonesia inilah buku ketiga dari hasil pemikiran Agus Priyatno setebal 117 halaman, yang kesehariannya sebagai pengajar senirupa di Unimed. Ketajaman ikhwal tulis menulis buku senirupa semakin terasah karena ia hampir tujuh tahun lebih mengisi rubrik seni di harian Analisa Medan.
Sudah ratusan artikel diterbitkan harian terbesar di kota Medan, Sumatera Utara ini. Beberapa sumber tulisan tentang biografi singkat di buku ini adalah hasil riset langsung ke narasumbernya seperti guru besar Prof. A. D. Pirous (Bandung). Banyak hal dia korek dari sang dosen pascasarjana Institut Teknologi Bandung (ITB), karena Agus Priyatno menyelesaikan studi S2 pada jurusan ilmu murni.
Pelukis yang dikenal dengan konsep kaligrafi Arab ini lebih senang dijuluki sebagai ‘tukang pencatat spritual’. Dia pelopor kaligrafi Arab yang unik dalam hal corak, tekstur, harmoni dan geometris abstrak. A. D. Pirous lebih dikenal sebagai seorang seniman sekaligus akademisi, terutama menyangkut seni Islami.
Ada lagi seniman yang masih eksis tinggal di Yogyakarta bernama Agus Kamal menjadi pengajar Fakultas Seni Rupa Desain (FSRD) Institut Seni Indonesia (ISI). Dia termasuk pelukis yang sering menerima penghargaan dari nasional hingga internasional. Lukisannya terbilang unik terutama tentang kesan tekstur batu dan bencana alam.
Tema lukisan bencana terlihat pada obyek puing-puing batu berserakan, manusia yang melayang ke udara ini mengingatkan kita tentang gaya surealisme. Dia juga dijuluki pelukis relief yang religius. Sosok wanita sedang bersujud memegang tasbih di sebelahnya, sehingga terasa mengenaskan akibat hantaman bencana alam.
Pelukis pilihan Agus berikutnya adalah Amri Yahya yang tinggal dan pengajar di FSRD ISI Yogyakarta. Bahkan Affandi, Widayat dan Sudarmadji pernah dia wawancarai, sewaktu dia kuliah Doktor (S3) di Universitas Gajah Mada (UGM). Raden Saleh, Sindhutomo Soedjojono, Basoeki Abdullah, Dullah adalah hasil studi kepustakaan.
Buku ini sungguh mudah dicerna dengan bahasa yang sederhana, sekali baca pastilah artinya mengena di hati. Mudah-mudahan isi dan maksud yang hendak disampaikan Agus Priyatno tak mengalami kendala. Beberapa foto lukisan tidak dibuat berwarna jadi perlu pendamping lain untuk mendapatkan originalit))as foto-foto lukisan ilustrasinya.