Demokrasi Kultural (Batak Toba)

Oleh: Jones Gultom. Jauh sebelum Indonesia me­ngenal demokrasi, bahkan se­belum negeri ini terbentuk, nenek moyang kita telah mengenal sis­tem pemerintahan. Kurang lebih sama nilainya dengan demokrasi. Malah jika dikaji lebih dalam, pe­mahaman demokrasi oleh ma­syarakat tradisi di masa lalu itu, sering lebih kontekstual dibanding nilai-nilai yang ada pada demo­kra­si modern ala John Locke.

Demokrasi John Locke, di­kem­bangkan kemudian oleh Mon­tesquieu, hanya mengacu pada dis­tribusi kekuasaan. Kekuasaan dibagi-bagi kepada tiga lembaga, disebut trias politika. Itulah yang kini dianut banyak negara di pen­juru dunia, termasuk Indonesia.

Sebelum negara menganut mah­zab itu, masyarakat nusanta­ra, khususnya orang Batak Toba di masa lalu, telah memiliki kon­sep yang lebih matang. Kita me­ngenal sistem demokrasi Suhi ni Ampang na Opat. Suhi ni Ampang na Opat, menekankan aturan, seorang Batak Toba harus somba mar­hula-hula, elek marboru, ma­nat mordangan tubu dan marde­bata-maraja.

Hanya saja setelah Belanda ber­hasil menguasai beberapa da­erah-daerah penting di Negeri Ba­tak, sistem ini dipangkas. Pakem mardebata-maraja, dihapuskan. Is­tilah Suhi ni Ampang na Opat, di­ganti menjadi Dalihan na Tolu. Diduga penghapusan mardebata-maraja selain bertujuan mengura­ngi pengaruh raja, juga memu­dah­­kan syiar Kristen bagi orang Ba­tak.

Yang menarik dari nilai mar­debata-maraja, bahwa raja yang di­maksud  bukan seperti dalam kon­sep monarki. Raja memiliki makna ganda. Raja sebagai pe­mimpin politis dan juga raja seba­gai pemimpin spiritual.

Dalam ta­taran politis, fungsi inilah yang dibelenggu oleh Be­landa. Raja sebagai pemimpin spi­ritual secara radikal mengala­mi transformasi ke dalam pema­ha­man kekristenan. Agaknya kon­­sep mardebata-maraja ini, mi­rip-mirip dengan prinsip peme­rintahan monarki parlementer. Se­perti yang dipraktikkan negara-negara maju di Eropa, seperti Ing­gris maupun Belanda sendiri.

Raja tidak berdiri sendiri. Fung­si kontrol tetap ada pada masya­rakat yang diwakili oleh berma­cam lembaga. Jika terkait menge­nai praktik spiritual maupun ritus, raja akan dibantu oleh kelompok Parbaringin.

Kelompok Parbaringin, adalah orang-orang yang dianggap me­mi­liki pengetahuan khusus. Me­reka peka membaca fenomena alam serta “cakap” memformu­la­sikannya ke ranah spiritualitas. Biasanya fenomena-fenomena itu berkaitan dengan sifat-sifat as­trologi alam. Parbaringin juga di­mintai perannya, pada situasi-si­tuasi tertentu.

Pada konteks adat, raja dibantu oleh tokoh-tokoh adat, berasal dari kelompok-kelompok marga mau­pun huta (kampung). Mereka ti­dak hanya berperan dalam melak­sanakan jalannya adat, juga men­jadi tempat bertanya mengenai ma­salah hak dan kewajiban yang terkandung dalam adat tersebut. Mereka juga berfungsi sebagai ha­kim atas persoalan yang tengah terjadi. Karenanya sudah menjadi keharusan, tokoh-tokoh adat harus memiliki segudang pengetahuan dan bijaksana dalam mengambil keputusan.

Jika kelompok Parbaringin adalah pure mengurus hal-hal yang berkaitan dengan peristiwa-peristiwa khusus, maka tokoh adat lebih berperan dalam keseharian hidup masyarakat. Meski pada mo­ment-moment tertentu kedua­nya akan saling bersinerji, namun mereka tetap memiliki batas dan koridornya masing-masing.

Selain itu, dalam menjalankan tugasnya, seorang raja juga diban­tu oleh raja bius. Raja ini mewakili kelompok masyarakat dalam satu wilayah tertentu.

Seperti kita tahu, konsep pe­merintahan masyarakat Batak To­ba di masa lalu juga ber­sifat fe­de­ratif. Hal ini memudahkan pe­nyebaran informasi dan distri­busi kekuasaaan.

Seiring tidak diakuinya fungsi politis raja, maka kelompok-ke­lompok yang dalam terminologi mo­dern sebagai perwakilan ma­sya­rakat di atas, tidak lagi berafi­liasi kepada sosok tertentu.

Tidak hanya menyangkut re­lasi pemerintahan, khususnya pem­buat undang-undang (legis­latif) dengan pelaksana (ekseku­tif) dan peradilan (judikatif).

Lebih dari itu, sistem demo­krasi pada masyarakat Batak To­ba itu, juga mengatur sendi-sendi kehidupan yang lebih luas. Seperti ekonomi, teritorial, pemanfaatan sumber daya alam, hubungan de­ngan sesama makhluk hidup, bah­kan sistem kepercayaan.

Memang, pola pemerintahan itu, tidak berlangsung mulus. Seca­ra de jure dia ada, namun tidak sepenuhnya dipraktikkan.  Luas­nya Negeri Batak Toba, serta su­lit­nya menentukan legitimasi, mem­buat konsep ini layu sebelum berkembang. Sampai hengkang­nya Belanda dari Negeri Batak, kon­sep pemerintahan itu masih bersifat anasir.

Ada dugaan bahwa model pe­merintahan itu merupakan formu­la yang sedang digagas oleh Sisi­ngamangaraja XII untuk meng­himpun kekuatan. Lagipula di ma­sa penjajahan, tidak semua Ne­geri Batak diduduki, apalagi ber­hasil dikuasai oleh Belanda.

Luasnya Negeri Batak Toba me­nyulitkan untuk memunculkan satu sosok pemimpin. Agaknya masyarakat Batak Toba, mulai ter­biasa dengan Dalihan na Tolu, sebagai panduan hidup mereka hingga saat ini.

Demokrasi Tak Tertulis

Meski tidak dituliskan, aturan-aturan yang termuat dalam Da­lihan na Tolu, tetap harus dijalan­kan. Dalihan Natolu yang ber­azaskan keseimbangan ini, tidak hanya menjadi panduan dalam upacara-upacara adat, tetapi juga diamalkan dalam hidup keseha­rian orang Batak Toba.

Memang dia bersumber dari pe­tuah yang bersifat oral. Tetapi nilai-nilai yang termuat di dalam konsep ini, dapat dipertanggung­jawabkan secara logis. Walau ber­dasarkan analogi, namun di da­lamnya dapat kita temukan ber­macam pengetahuan yang meng­a­cu pada kebijaksanaan.

Seperti kita tahu, dalam Dalihan na Tolu, disebutkan; somba marhula-hula, elek marbo­ru, manat mardongan tubu. Somba marhula-hula. Berarti hormat ter­hadap keluarga dari pihak istri/maupun ibu. Sebaliknya seorang hula-hula harus elek marboru. Elek bisa kita terjemahkan seba­gai sikap yang mengayom, lem­but. Manat mardongan tubu, ber­makna bijaksana di dalam kelu­arga. Keluarga di sini tidak hanya satu ayah-ibu, juga teman satu mar­ga.

Relasi-relasi ini tentunya akan menimbulkan konsekuensi, yakni berupa ikatan hak dan tanggung­jawab bagi masing-masing pihak. Dalam hak dan tanggungjawab itu­lah akan kita temukan kelogisan dan kausalitas.

Misalnya karena seorang boru harus menghormati hula-hulanya, maka seorang hula-hula harus me­nunjukkan sikap sebagai se­orang yang memang pantas untuk dihormati. Demikian juga sebalik­nya, hula-hula yang tidak elek mar­boru berarti tidak pantas untuk dihormati.

Relasi ketiganya dalam Dali­han na Tolu itu kemudian diterje­mahkan dalam ritus-ritus. Salah sa­tunya, dalam upacara adat, pi­hak hula-hula akan mengulosi pi­hak boru.

Konsep Dalihan na Tolu ini me­narik bukan hanya disebabkan nilai-nilai di dalamnya, tetapi ka­rena dia begitu universal. Semua orang Batak Toba akan terikat pa­da aturan itu. Di satu pihak dia akan menjadi boru.

Di lain pihak hula-hula atau dongan tubu. Termasuk akan men­dapatkan predikat itu secara bersamaan, manakalah dia sudah menikah. Karena prinsip keseim­bangan itulah, mestinya orang Ba­tak Toba terbiasa hidup sesuai por­si untuk mengambil perannya masing-masing.

Atas dasar itulah, harusnya orang Batak Toba khususnya, ti­dak mengenal istilah korupsi. Bu­kankah nilai-nilai ini justru yang paling mendasar dibanding arti de­mokrasi modern yang kenyata­annya hanya lebih mengurus ma­salah-masalah politik kekuasaan?

()

Baca Juga

Rekomendasi