Kesan Tertegun dalam Membaca Cerpen

Oleh: Miharf Harahap. Bukan soal bermutu atau ti­dak. Ketika membaca cerpen, ter­kadang kita tertegun,  pangling. Ada pula yang biasa saja. Mem­ba­ca cerpen Rebana harian Ana­lisa, edisi Mei 2015 ini, kita te­mukan keduanya. Cerpen ”Me­mo­ri Mei, Aku Amoi” karya Liven R, “Filosofi Ayah” karya Bamby Cahyadi dan“Oei, Commele Gloi­re” karya Alex R. Nainggolan. Cerpen “Yang Maha Pengasih” karya Karahayon Suminar dan “Sepasang Buah Kelapa” karya Rizki Siregar.

Umumnya cerpen mengesan­kan ketertegunan, meski jenis dan kedalamannya berbeda. Ada jenis berdasarkan cerita seperti cerpen Liven R dan Rizki Siregar. Ada pula jenis berdasarkan teknis ce­rita seperti cerpen Bamby Cahya­di, Karahayon Suminar, kecuali cerpen Alex R.Nainggolan.

Ke­dua kesan dengan tingkat kedala­man, mulai dari tahap sedang, hingga tahap rendah. Betapapaun tingkat atau tahap itu, tentu lebih baik yang tertegun ketimbangbiasa-biasa saja.

Cerpen “Memori Mei, Aku Amoi” karya Liven R ini, memang membuat kita tertegun. Betapa ti­dak, tragedi reformasi ternyata berdampak buruk bagi sebagian warga etnis Tionghoa. Ada aba-aba atau tidak,namun telah terjadi penjarahan toko, swalayan, ru­mah, penghancuran bangunan, fa­silitas umum, bahkan pemukulan dan pemerkosaan. Padahal tak ada hubungan antara tuntutan re­formasi dengan keberadaan war­ga etnis Tionghoa yang tinggal di Indonesia.

Cerpen ini berhasil melukiskan peristiwa Mei 1998 dari sudut apa yang dialami Amoi. Untung Amoi sempat diselamatkan Bi Asih ke rumahnya 3 hari, lalu diterbang­kan ke Beijing. Sembilan tahun di sana, dia sekolah dan seandainya menetap, hidupnya bakal terja­min. Tetapi tidak! Dia kembali ke Indonesia bersama Mamanya. Ki­ta tertegun atas pilihan ini. Dia­lah etnis Tionghoa yang sudah sa­ngat meng-Indonesia. Beijing kota kelahiran namun Indonesia adalah negaranya.

Tujuh belas tahun kemudian, kita tertegun lagi. Ternyata tu­gasnya bidang pendidikan, siap­kan tenaga guru bahasa Mandarin di SD. Hal ini menunjukkan, Amoi (sebetulnya tak suka di­panggil Amoi) tidak bersifat den­dam. Malah aktif mengajarkan bahasa Mandarin kepada anak-anak dimana orangtuanya mung­kin telah melempar rumah dan menjarah harta keluarga Amoi. Dengan bahasa dia ajarkan budi pekerti agar anak-anak sejak dini mampu menjadi lebih dewasa.

Disarankan, paragraf satu dan dua dari akhir cerita, supaya diper­timbangkan untuk dibuang. Ala­sannya, pertama, kedua paragraf seakan menjadi kesimpulan ce­rita. Biarkan pembaca membuat kesimpulannya sendiri. Kedua, ke­dua paragraf itu menerangkan secara eksplisit, sehingga  cerpen kehilangan estetikanya secara im­plisit. Barangkali pecerpen kha­watir kalau tujuan cerita tak sam­pai, hingga harus ada paragraf itu. Keraguan inilah yang sebenarnya perlu dihilangkan.

Cerpen “Sepasang Buah Ke­lapa” karya Rizki Siregar, juga membuat kita tertegun. Bayang­kan, Mugi (anak usia 4 tahun) ma­­sih suka memegangsesuatu (disebut buah kelapa)ibunya atau orang lain. Sebab, biasanya anak bercerai netek usia 2-2,5 tahun. Mengingat ibu pergi-pulang kerja seharian, maka aku (gadis, kuliah) yang menjaga Mugi pun menjadi korban.

Aku berinisiatif, melarang Mu­gi memegang dan menghisap, dengan maksud supaya berhenti. Kita tertegun karena Mugi berani memegang sesuatu dari orang lain, seusianya. Tentu emak dan orang lain itu marah. Dikatai tak becus menjaga anak-anak. Un­tung tak mengadu ke kantor polisi. Lebih parah lagi, katakan sebagai puncak ketertegunan, ketika aku memergoki Mugi menghisap sesuatu dari ibunya.

Apa sebenarnya yang terjadi pada Mugi? Apakah kebiasaan itu sebagaimana kebiasaan anak yang terlambat bercerai netek pada ibunya? Atau kebiasaan ini merupakan suatu penyakit baru yang belum ditemukan jenis dan obatnya? Ataupun sebagai dam­pak buruk dari kerinduan ibu yang bercerai dengan suami?

Semua pertanyaan ini, sepa­tutnya terjawab di dalam cerpen. Ah, sayangnya, hal itu tak terjadi. Akibatnya, cerpen terkesan men­jadi agak kering.

Barangkali pecerpen tidak ber­niat begitu. Tak menjawab perta­nyaan yang dianggap sebagai per­soalan. Pecerpen hanyalah men­ce­ritakan saja tentang kelakuan-kelakuan Mugi yang terasa aneh bagi seusianya dan merugikan orang lain.

Ujung-ujungnya, kurangnya per­hatian orangtua, pengaruh me­dia televisi serta lingkungannya. Kalau benar begitu, betapa rugi­nya. Sebab, cerpen ini masih bisa dikembangkan menjadi science fiction asal pecerpen mau serius men­dalaminya.

Cerpen “Filosofi Ayah” karya Bamby Cahyadi, pun membuat kita tertegun. Bukan lantaran fi­losofi ayah, melainkan karena ke­jutan yang membuat aku (kelas 9 SMP) jatuh pingsan. Bayangkan, tiba-tiba aku ditelepon ibu, disuruh pulang oleh ayah. Tiba di depan ger­bang komplek perumahan, terlihat bendera kematian, keran­da dan orang ramai di depan ru­mah. Aku berlari kencang, sangat cemas, pandangan gelap dan sam­pai di depan pintu rumah lang­sung pingsan.

Ternyata, orang yang mening­gal bukanlah ayah, tetapi Pak Fu­lan. Keluarganya, meminjam ga­rasi mobil sebagai tempat per­semayaman, agar para pelayat mudah menziarahi.

Filosofi ayah tak hanya hidup sederhana, tetapi juga suka mem­ban­tu. Bahkan tidak sombong. Terbukti mau meminjamkan ga­rasi, meski untuk orang mati. Pa­dahal kehidupan ayah di atas lumayan. Bisa saja tak perduli de­ngan lingkungan, kalau ayah dan keluarga mau menyombong­kan diri.

Persoalan muncul ketika cer­pen disusupi kenanganku (waktu kelas 5 SD) bersama ayah pergi  ke pantai. Di sana ditunjukkan kalau ayah memerhatikan kehi­dupan nelayan dan aku bergaul dengan anak nelayan. Akibat ke­nangan, sangat terasa, pertama, menguasai hampir separuh ce­rita.Kedua,tak ada kenangan khusus/istimewa terkait filosofi ayah. Kenangan telah memani­pu­lasi cerita dalam arti filosofi ayah kurang berkembang. Kare­na itu , seharusnya perlu dihindari.

Cerpen “Yang Maha Penga­sih” karya Karahayon Suminar ini masih memiliki kesan terte­gun. Tatkala aku (Dinan) berhenti di pinggir jalan untuk menerima telepon Niken. Kawan Rizal dan Nando memasuki area parkir di depan apotik. Belum selesai te­leponan, kawannya sudah kabur membawa sepeda motor orang/pembeli obat.Seorang ibu mena­ngis keluar dari apotik. Sungguh tak diduga (kawan SMA yang ba­ru ketemu, sepulang dari Bo­gor) ternyata maling.

Untung aku tak ikut komplotan pemaling. Maksudnya,terhindar dari layar CCTV karena tak ma­suk ke area parkir. Mendengar ke­ributan di depan apotik, segera aku menjauh dan buru-buru pu­lang ke rumah.

Di dalam kamar di depan cer­min, aku berusaha te­nang. Ber­syukur kepada Tuhan yang me­nyelamatkan dan berterimaksih kepada Niken yang menelepon. Kalau tidak, habislah aku. Polisi menangkapnya dengan tuduhan mencuri sepeda motor milik se­orang ibu.

Cerpen yang dramatis dan me­lankolis ini, juga mengekspre­sikan ketiba-tibaan dalam cerita. Misalnya, rencana Rizal-Nando membawa Dinan memancing. Tiba-tiba berubah melakukan cu­ranmor. Rencana ingin menje­nguk Mama sakit dan si bungsu, Maysaroh, tunangan, tetapi tiba di kampung tak ada cerita sakit dan tunangan. Malah cerita Ni­ken dan kawan yang nyaris men­jebak. Karena itu, pengarang ti­dak konsisten dengan cerita yang dibuatnya sendiri.

Terhadap cerpen “Oui, Com­me le Gloire” karya Alex R. Nainggolan, kesan kita biasa-bi­asa saja. Artinya, belum mem­buat kita tertegun, baik karena ceritanya maupun karena me­nye­lipkan beberapa kalimat ba­hasa Asing. Ingat, cerpen terte­gun bukan berarti terbaik, seba­lik­nya, cerpen biasa bukan berarti terburuk. Hanya, pembaca mera­sa tertarik bila membaca yang membuatnya tertegun, pangling. Karena itu, perlu penghayatan dan pendalaman cerpen.

Disatu sisi, pecerpen mengu­tip kalimat indah, cinta tidak mesti bersatu. Di sisi lain, menyunting ka­limat oui comme le gloire.

Akhirnya, kita sepakat dengan kalimat pecerpen: “ cinta sering mem­bawa seseorang, baik aku ataupun dia bimbang” (awal pa­ragraf). Terbukti, setiap kali aku ber­tanya, apa kau mencintaiku atau apa ada orang mencintaimu selain aku, maka tak ada jawaban. Kecuali hanya menangis dan me­nangis, suatu sikap yang tak pasti.

Penulis; Kritikus Sastra, MPR-OOS, Ketua Fosad, Pengawas dan Dosen UISU

()

Baca Juga

Rekomendasi