Oleh: Tomi Adhiyudha SE
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), nilai transaksi dalam bentuk valuta asing (valas) yang dilakukan di Indonesia lebih dari 6 miliar dolar Amerika Serikat (USD/United State Dollar) per bulannya.
Hal ini mengisyaratkan betapa rendah rasa cinta para anak bangsa terhadap mata uang (rupiah)-nya sendiri. Demi kepentingan dan atau keuntungan diri pribadi/kelompok berakibat stabilitas ekonomi bangsa dikorbankan dan digadaikan.
Padahal sejatinya kewajiban setiap anak bangsalah untuk setia dan selalu menggunakan rupiah di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI ) di dalam bertransaksi (tunai maupun non tunai) guna turut membantu Pemerintah didalam menjaga stabilitas ekonomi, keuangan dan moneter.
Indonesia sendiri sudah memiliki perangkat peraturan yang mewajibkan setiap warga negara Indonesia (WNI) maupun warga negara asing yang tinggal, berdomisili dan berbisnis di wilayah NKRI menggunakan mata uang rupiah yaitu UU No 7 Tahun 2011.
Selain mengatur dan mewajibkan setiap transaksi keuangan menggunakan rupiah, juga diatur mengenai sanksi hukum bagi para pelanggarnya. Antara lain, didalam pasal 33 UU No. 7/2011 disebutkan bahwa terhadap barang siapa yang tidak menggunakan rupiah pada setiap transaksi keuangannya maka dikenakan sanksi berupa kurungan selama satu tahun dan atau denda sebesar Rp 200 juta.
Tapi di dalam realitas dan praktiknya regulasi ini ternyata bak macan kertas saja. Bagus diperangkat peraturannya tapi sangat buruk dipelaksanaannya. Pemerintah dan BI terkesan tidak tegas, malah seolah membiarkan transaksi domestik menggunakan mata uang asing USD di depan mata sendiri.
Bukan sebatas dilakukan oleh para pedagang di Pasar Glodok Jakarta yang kebetulan berlokasi di pusat pemerintahan. Tetapi juga diberbagai lokasi pelabuhan, perusahaan-perusahaan ekspedisi muatan kapal laut, pariwisata dan sentra-sentra perdagangan/bisnis lain. Dimana penggunaan USD sebagai alat tukar ketika bertransaksi bisnis sudah menjadi hal lumrah dan merupakan pemandangan biasa.
Para pedagang lebih percaya kepada USD sebab produk yang mereka jual adalah sebahagian besar merupakan produk impor. Beralasan sederhana, yakni selain efisien dan praktis, karena nilai rupiah dinilai rentan jatuh ketimbang mata uang asing terutama USD.
Sehingga rupiah masih selalu dipandang sebelah mata di dalam berdagang dan bertransaksi, terutama di daerah perbatasan ditengarai sudah lama tidak menggunakan rupiah didalam bertransaksi.
BI sebagai penangggung jawab stabilitas moneter pernah mencatat, paling tidak terdapat delapan bidang usaha perdagangan domestik yang transaksi antarpenduduknya sudah biasa menggunakan valas, yaitu hotel, sewa ruang kantor, sewa mal, perdagangan bahan pokok tekstil, perdagangan kimia, batu bara, gas dan alat berat.
Sebenarnya bukan karena minimnya kecintaan terhadap rupiah hingga berakibat rupiah menjadi rentan anjlok. Tapi masyarakat bisnis Indonesia umumnya, termasuk para pelaku bisnis/pengusaha dan para (oknum) pejabat negara lebih menginginkan praktik berbisnis secara praktis, mudah dan efisien.
Terutama, bagaimana agar praktik berbisnis bisa menyenangkan dan menguntungkan diri sendiri atau kelompoknya (hedonis dan serakah).
Pola/perilaku liar para (oknum) pejabat negara dan pengusaha terlacak kerap menyimpan uangnya didalam bentuk USD lalu diparkir/disimpan/ditabung pada bank-bank luar negeri.
Mengutip data sebuah media, berdasarkan studi yang dilakukan Mckensey Global Bangking Pools baru-baru ini, didapati bahwa sebanyak USD 200 juta dolar kekayaan sejumlah miliarder Indonesia disimpan di luar negeri.
Termasuk perbankan dan pejabat negara tak ketinggalan untuk menyimpan dananya di dalam negeri dalam bentuk USD dan atau mata uang negara asing “kuat” lainnya serta sebahagian besar lainnya diparkir di manca negara.
Regulasi dan Sanksi Bagi Pelanggar
Guna menegaskan kewajiban penggunaan rupiah didalam bertransaksi di wilayah NKRI maka BI pun sudah mengeluarkan Surat Edaran ( SE ) BI No.17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tentang: “Kewajiban Penggunaan Rupiah di Wilayah NKRI” sebagai salah satu peraturan pelaksana UU No. 7 /2011.
Dimana mulai 1 Juni 2015, tapi pelaksanaannya terhitung mulai tanggal 1 Juli 2015, dimana setiap kegiatan/ transaksi keuangan di wilayah NKRI, baik tunai maupun non tunai, harus (wajib) menggunakan mata uang rupiah.
Sebagaimana dikemukakan Plt Kepala Departemen Pengelolaan Uang BI Eko Yulianto dalam diskusinya bersama media di Gedung BI Jalan Thamrin Jakarta, Selasa 9 Juni 2015, bahwa kewajiban penggunaan rupiah didalam bertransaksi juga tercantum di dalam Peraturan BI No.17/3/PBI/2015 tentang: “Kewajiban Penggunaan Rupiah di wilayah NKRI”.
Kewajiban menggunakan rupiah , selain diatur didalam UU No. 7/2011, juga diatur didalam UU No. 39/2009 tentang : “KEK (kawasan ekonomi khusus)” dan UU No. 36/2000 perihal : “Kawasan perdagangan bebas” yang lebih menekankan kepada masalah kedaulatan serta Perpres No.26/2012 tentang : “ Penetapan tarif layanan” yang kesemuanya wajib menggunakan rupiah.
Eko Yulianto juga mengemukakan, didalam ketentuan umum, bahwa kewajiban penggunaan rupiah itu menganut asas teritorial. Dalam arti, selama praktik bisnis ada di wilayah NKRI maka setiap transaksi (pembayaran)-nya wajib menggunakan rupiah. Berikut mengatur kewajiban pencantuman harga-harga barang dan jasa didalam rupiah dan melarang pencantuman harga barang dalam dua mata uang (dual) tapi secara tegas mengatur harus menggunakan rupiah, baik terhadap harga, biaya jasa, sewa menyewa, tarif dan sebagainya.
SE BI No.17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tersebut juga ingin menguatkan dan mengimplementasi sanksi tegas bagi para pelanggar ketentuan ini. BI bertekad akan melakukan pengawasan terhadap setiap aktivitas/kegiatan terkait berbagai transaksi di dalam negeri, baik transaksi langsung (tunai) maupun tidak langsung (non tunai), sekali lagi, yakni harus menggunakan rupiah. Mengingat terhadap pelanggaran transaksi tunai akan dikenakan sanksi pidana berupa kurungan (hukuman penjara) maksimum 1 tahun dan atau denda maksimum Rp 100 juta. Sedangkan pelanggaran terhadap transaksi non tunai dikenakan sanksi administrasi berupa teguran tertulis dan sekaligus wajib untuk membayar sebesar 1 prosen dari nilai transaksi atau maksimum Rp 1 miliar berikut sanksi larangan penggunaan lalu lintas pembayaran.
Kesimpulan
Soal bagaimana kelak hasil dan efektifitas pelaksanaan setiap transaksi dengan harus menggunakan mata uang rupiah dan penerapan sanksi tegas terhadap para (pihak) pelanggarnya pasca diterbitkannya SE BI No.17/11/DKSP tanggal 1 Juni 2015 tersebut, tentu marilah kita sama-sama menyaksikan, menantikan dan memantaunya mulai 1 Juli 2015 mendatang.
Tapi terpenting yang harus dicermati adalah , dimana untuk membenahi sistem ekonomi, keuangan dan moneter agar fundamental ekonomi nasional kedepannya semakin kuat , sehingga rupiah semakin dipercaya bahkan diidolakan, maka salah satu elemen penting harus (sungguh-sungguh, konsekuen dan konsisten) dilaksanakan adalah dengan mewajibkan (secara tegas) para transaktor untuk menggunakan mata uang rupiah didalam setiap transaksinya. ***
Penulis adalah Alumnus Fakultas Ekonomi Universitas Tri Sakti dan Pemerhati Mata Uang, tinggal di Jakarta.