Oleh: Mihar Harahap.
VISUALISASI puisi, cara membaca puisi menggunakan visual (digambarkan). Puisi dapat dibacakan, dinyanyikan oleh seseorang atau beberapa orang. Tema, subtema, pokok atau lompatan pikiran, perasaan penyair di dalam puisi itu, harus digerakkan secara estetis, sehingga bermakna.
Gerakan dapat bersifat naratif, konkrit, abstrak, simbolis. Hal itu tergantung sejauh mana interpretasi penggarap/sutradara, kemampuan pelaku/pemain dalam dalam latihan/pergelaran serta pemanfaatan pendukung/properti.
Mengingat visualisasi puisi ini berkembang dan semakin populer karena menarik dan menghibur, maka perlu dibuat syarat-syarat. Maksudnya, agar masyarakat umum, termasuk pembaca puisi, tidak salah paham akan pengertian dan pelaksanaan visualisasi puisi.
Syarat ini tidak mutlak. Artinya dapat dikembangkan, jika memang diperlukan. Kalau tidak memiliki alasan tertentu yang dapat diterima secara etika dan estetika, maka syarat ini dapat dipedomani. Syarat-syarat ini berlaku untuk menjaga ketertiban.
Kesatu, bahan. Sudah barang tentu bahan visualisasi puisi ialah puisi. Hanya anjuran Leon Agusta, sebaiknya membaca puisi auditorium ketimbang puisi kamar. Mengapa? Satu, puisi auditorium terasa lebih komunikatif dan berkesan kepada penonton. Dua, lebih mudah dimengerti dan langsung mengundang respon penonton. Karena itu, puisi auditorium adalah puisi lugas, naratif, denotatif, konotatif biasa dengan tema/subtema umum (misalnya protes sosial, kritik politik, hukum,dan lain-lain) yang enak dibaca dan didengar penonton.
Sebaliknya, puisi kamar adalah puisi imajinatif, kiasan, suasana, simbol dengan tema, subtema khusus (misalnya religiositas sufistis, eksistensi falsafati,dan sebagainya) yang susah dibacakan di hadapan penonton, apalagi didengarnya.
Mengapa? Karena puisi ini sangat cocok untuk direnungkan, dihayati, di kamar oleh seorang diri. Dengan begitu, kesannya membaca puisi lebih mendalam. Karena itu, kita harus pandai memilih dan memilah, mana puisi auditorium dan mana puisi kamar, kecuali jika ada hal-hal tertentu yang lebih spesifik.
Kedua, pelaku/pemain. Biasanya pelaku visualisasi puisi itu tidak seorang, melainkan beberapa orang atau sekelompok orang. Meskipun merupakan satu-kesatuan memvisualkan sebuah puisi, tapi masih dapat dipisahkan atas tugas dan fungsinya dalam kesatuan kelompok itu.
Misalnya, pembaca puisi, 1 orang, pemusik, 2 orang, peraga 3 orang, minimal berjumlah 6 orang. Atau sebaliknya, semua pelaku bergerak sampai selesai gelaran, meski dalam gerakan itu muncul pembaca, pemusik, peraga dan sebagainya.
Jumlah pelaku dalam visualisasi puisi tergantung pada keadaan puisi serta bentuk penggarapannya. Menurut biasanya, semakin banyak jumlah pelaku, akan semakin besar, baik dan terkesan penampilannya.
Selain tergantung orang yang menggarap, juga kepada kemampuan pelaku/pemain. Terutama kemampuan pembaca puisi yang rata-rata baik dan bukan sekedar membaca begitu saja. Mengingat hal ini, sang sutradara harus tepat menentukan pelaku mana yang baik membaca puisi seperti ini.
Ketiga, vokal. Vokal pembaca puisi, baik individu maupun bersama-sama harus baik. Misalnya, baik volume suaranya, kuat kedengaran, hingga ke penonton paling belakang dari pentas.
Termasuk tidak kalah kuatnya dengan suara musik yang terkadang lebih keras. Suara penonton yang ramai karena tidak tertib menonton (mungkin penonton merasa jenuh). Atau tidak mampu mengimbangi kekuatan suara lawan bermain. Karena itu, perlu latihan vokal secara serius agar pemain dapat membina kekuatan dan ketahanan vokal.
Vokal yang baik itu, di samping kuat dan tahan hingga berakhir pergelaran, juga harus berirama. Maksudnya, satu, mampu mengatur tempo suara yakni cepat-lambatnya berkata.
Dua, mampu mengatur nada suara yakni tinggi-rendahnya berkata-kata. Tiga, harus mampu mengatur dinamik suara yakni panjang-pendeknya berkata. Lebih penting lagi perlu memperhatikan pengucapan yang tepat karena pelafalan, ejembemen serta jangan sampai perkataan kedengaran bersatu kata/kalimat karena kecepatan mengucapkan.
Keempat, peragaan. Sebaiknya peragaan menggambarkan tema, sub tema, lompatan pikiran, perasaan dan kehendak penyair di dalam puisinya. Untuk itu, bukanlah sesuatu yang diharamkan bila terjadi konsultasi penggarap/sutradara dengan penyair. Bahkan penggarap dapat pula menuangkan ide-idenya, sepanjang tidak bertentangan dengan pokok pikiran penyair di dalam puisi itu. Lebih penting lagi, penggarap memiliki kemampuan untuk menginterpretasikan puisi secara benar atau mendekati kebenaran.
Peraga harus dapat menggambarkan interpretasi penggarap secara tepat. Janganlah menggambarkan makna puisi menjadi kabur atau salah sama sekali. Gambaran bisa bersifat konkrit (realis, gerakan nyata) dan bisa bersifat abstrak (surialis, simbolis, gerakan tak nyata).
Selain itu, kemampuan berakting, berekspresi, bloking, komposisi, juga sangat menguatkan hasil peragaan. Termasuk menggunakan benda-benda seperti kain seukuran spanduk yang berwarna-warni. Pastikan peragaan itu sangat menarik dan mengesankan.
Kelima, pendukung. Beragam penataan, dapat mendukung pergelaran visualisasi puisi. Penataan pentas (setting), penataan lampu (lighting), penataan musik, penataan rias (muke-up) dan penataan busana. Di samping itu, juga berbagai jenis properti seperti level biasa atau bertingkat serta benda-benda lain, baik atas permintaan puisi itu mupun sengaja dihadirkan penggarap.
Puisi Karangan Bunga karya Tafiq Ismail, jelas meminta ada karangan bunga. Penggarap menghadirkan kuburan, mayat atau benda lainnya.
Pranata pendukung bukanlah sekedar tambahan bersifat remeh-temeh, melainkan tetap mengacu kepada fungsi dan kebutuhan. Penataan pentas misalnya, bukanlah sekedar hiasan atau penataan lampu bukanlah sekedar penerang. Melainkan berfungsi untuk lebih menguatkan garapan menukik ke dasar dalam puisi. Sekaligus menyihir penonton agar turut larut ke dasar dalaman puisi itu. Jika hal ini tercapai, berarti bukan saja sebab keutuhan penggarap, pemain dan penonton, tetapi juga lantaran para pendukungnya.
Contoh sederhana visualisasi puisi Karangan Bunga karya Taufiq Ismail. Bait pertama: “Tiga anak kecil/ Dalam langkah malu-malu/ Datang ke Salemba/ Sore itu.” Bait kedua:” Ini dari kami bertiga/Pita hitam pada karangan bunga/Sebab kami ikut berduka/Bagi kakak yang ditembak mati/Siang tadi.”
Menurut penggarap, puisi ini berlatar sejarah sekitar tahun 1966. Ketika itu, terjadi peristiwa unjuk rasa mahasiswa, pemuda dan pelajar, berpusat di depan istana menuntut Tritura. Jadi. penataan pentas di pintu gerbang depan istana.
Di situ, ramai pengunjuk rasa, membawa spanduk, berteriak-teriak, bernyanyi. Konon mahasiswa memanjat pintu pagar dan masuk ke dalam istana. Sehingga terjadi penembakan. Mahasiswa mati. Datang tiga anak kecil,anak SD, meletakkan karangan bunga di kuburan mahasiswa.
Dapat dibayangkan bagaimana penataan lampunya? Mulai dari terang (teriak-teriak), gelap (memanjat pagar sore hari), hidup-mati berulang (terjadi penembakan) sampai mahasiswa mati (tiga anak kecil berkabung) serta lampu pun hidup kembali.
Bagaimana pula penataan musiknya.Tentu lebih seru. Buat sendiri. Terpenting, musik berakhir dengan instrumen Gugur Bunga. Menyusun gambaran, tampilkan pelaku (pemuda, mahasiswa, siswa) dalam suasana unjuk rasa. Memanjat pintu pagar, rubuh, ramai masuk ke istana, lalu terdengar suara tembakan.
Tampak, pemuda menggotong mahasiswa tertembak. Tiga anak kecil muncul membaca karangan bunga. Pada saat itu puisi dibacakan. Bait satu oleh seseorang, sedang bait dua dibacakan tiga anak kecil. Selamat mencoba.
Penulis; kritikus sastra, mpr-oos, ketua fosad, pengawas dan dosen uisu