Kritik dan Saran BMPS Terkait Pendidikan

Oleh: Edward Silaban.

Mungkin di lingkungan masyarakat Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) belum banyak dikenal. BMPS Provinsi Sumatera Utara adalah sebuah wadah tempat bermusyawarah para penyelenggara perguruan swasta yang tersebar di wilayah Provinsi Sumatera Utara. BMPS juga wadah perjuangan yayasan perguruan swasta dalam memperoleh hak. Adapun yayasan yang tergabung dalam BMPS terdiri dari 13 yayasan yang tersebar di seluruh wilayah Provinsi Sumatera Utara, antara lain Pesatuan Taman Siswa, Majelis Dikdasmen Muhammadiyah, Majelis Pendidikan Kristen (MPK) Wilayah I, Majelis Pendidikan Katolik/ Keuskupan Agung Medan (MPK/KAM), LP.Ma'arif NU, Majelis Dikdasmen Aisyiyah, Yayasan Kartika Jaya, YPLP Dikdasmen PGRI, MPK Al-wasliyah, Persatuan Amal Bakti (PAB), MPK Al Ittihadiyah, Yayasan Kemala Bhayangkari dan Yayasan Perguruan Indonesia Membangun. Sejarah mencatat bahwa sekolah swasta baik sebelum dan sesudah kemerdekaan sudah banyak memberikan kontribusi bagi masyarakat, bangsa dan negara dalam mencerdaskan kehidupan bangsa sebagaimana diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945 Alinea ke-4 tentang tujuan negara. BMPS didirikan dengan tujuan untuk memperjuangkan keberadaan sekolah swasta dalam mewujudkan tujuan pendidikan.

Ternyata, perjuangan yang dilakukan oleh yayasan swasta untuk tetap eksis (sekolah) dalam mencetak generasi muda yang berkarakter dan berintegritas semakin menurun. Hal ini diperparah dengan kurangnya perhatian pemerintah dalam mengawal dan mengembangkan lembaga pendidikan tersebut. Sekali lagi, sebelum kemerdekaan sekolah swasta sudah lebih dahulu mengambil bagian dalam melahirkan tokoh-tokoh pergerakan nasional, seperti Soekarno, Ki Hajar Dewantara, Budi Utomo dan tokoh pejuang lainnya. Namun, setelah kemerdekaan bahkan saat ini, keberadaan sekolah swasta masih berperan penting walaupun tidak mendapat kesempatan yang baik seperti sekolah negeri. Hal ini disebabkan kurangnya keberpihakan pemerintah terhadap sekolah swasta. Kegelisahan inilah yang disampaikan oleh BMPS ketika audiensi ke Ombudsman Republik Indonesia Perwakilan Sumatera Utara, Jalan Majapahit Nomor 2 Medan, pada hari Rabu/17 Juni 2015.

Kritik

Semestinya, sekolah swasta sebagai penopang bagi pendidikan nasional harus diperjuangkan. Namun, sejauh ini pemerintah cenderung tidak berpihak kepada sekolah swasta. Bahkan sekolah swasta dianggap sebagai anak tiri bagi sekolah negeri. Hal ini dapat dibuktikan banyaknya pergolakan yang dialami sekolah swasta dalam memajukan pendidikan. Berikut beberapa kritik yang disampaikan oleh BMPS terkait pelaksanaan pendidikan antara lain:

Pertama, Maladministrasi penerimaan peserta didik baru (PPDB). Setiap Tahun Ajaran baru sekolah baik negeri maupun swasta selalu melakukan PPDB. Ketua BMPS, Suparno mengatakan pelaksanaan PPDB untuk tingkat SD, SMP, SMA dan SMK di kabupaten/kota banyak menyimpang dari peraturan yang berlaku. Penyimpangan ini dilakukan oleh sekolah negeri. Maladministrasi tersebut dalam bentuk adanya penggelembungan siswa di sekolah-sekolah negeri. Umumnya sekolah-sekolah negeri menerima siswa baru melebihi kapasistas yang tersedia. Padahal sudah ada larangan tidak melakukan penerimaan siswa melebihi kuota sekolah. Hal itu diatur dalam Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 41 Tahun 2007 Tentang Standar Proses Untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah, dijelaskan bahwa jumlah maksimal rombongan belajar (rombel) untuk tingkat SD/MI sebanyak 28 peserta didik, tingkat, SMP,SMA dan SMK masing-masing 32 peserta didik.

Meskipun aturan tersebut sudah lama berlaku, namun tetap saja sekolah negeri melakukan penggelembungan siswa. Acapkali sekolah membuat rombel antara 40-50 peserta didik. Selain rombel tersebut, sekolah negeri juga melakukan jam belajar sistem double shift (pagi dan sore). Tidak hanya itu, ada juga sekolah yang menggunakan fasilitas sekolah seperti ruang perpustakaan, ruang praktek dan laboratoriun untuk kegiatan proses belajar mengajar. Ruangan belajar dengan kondisi seperti itu sangat tidak layak bagi peserta didik. Menurut Ketua BMPS, Suparno mengatakan kondisi belajar double shift rentan korupsi waktu yang dilakukan sekolah. Semestinya sekolah pagi pulang pukul 13.30 WIB. Kemudian proses belajar siang dimulai pukul 14.00 WIB maka kegiatan belajar mengajar (KBM) selesai mestinya pukul 19.00 WIB. Realita yang terjadi banyak sekolah yang tidak mematuhi aturan belajar. KBM untuk shift sore sudah berakhir pukul 17.00 WIB. Hal ini akan merugikan peserta didik.

Penyimpangan yang dilakukan sekolah tersebut sangat merugikan sekolah swasta dalam mendapatkan siswa. Mesti diakui, keinginan masyarakat untuk sekolah di negeri sangat besar. Keinginan tersebut didorong oleh adanya stigma di masyarakat bahwa sekolah negeri lebih memiliki peluang besar untuk diterima di Perguruan Tinggi Negeri (PTN) lewat jalur undangan dibandingkan sekolah swasta. Atas iming-iming inilah peserta didik yang didukung orangtua berlomba sekolah di negeri tanpa memperhatikan kelayakan. Lalu apa tujuan sekolah negeri melakukan penggelembungan siswa? Menurut Suparno, bahwa sekolah negeri mengejar target uang bantuan yang disediakan pemerintah seperti dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS). Akibat dari penggelembungan siswa di sekolah negeri maka dalam jangka waktu 5 tahun ke depan, diperkirakan 50 persen mungkin lebih, sekolah-sekolah swasta mengalami kebangkrutan bahkan tutup. Seperti yang dialami oleh sekolah di Kabupaten Pakpak Barat yang sudah tutup karena siswa baru tidak ada. Dengan tutupnya sekolah swasta maka akan terjadi pengangguran yang dialami oleh guru dari sekolah yang sudah tutup.

Kedua, Dana BOS terlambat. Dana BOS merupakan bantuan yang sangat berperan penting dalam menunjang proses belajar mengajar di sekolah swasta. Dengan adanya BOS, maka sekolah swasta akan terbantu dalam pengelolaan dan pembiayaan pendidikan. Apabila dana bos tidak berjalan maka aktivitas di sekolah akan terganggu. Karena sekolah swasta banyak mengandalkan biaya dari BOS dalam mengelola pendidikan. Maka keberadaan dana bos sangat membantu sekolah swasta untuk mengurangi beban orangtua untuk membiayai pendidikan. Menurut Ketua BMPS, Suparno mengatakan bahwa dana BOS untuk tingkat MI, MTs dan MA, sejak Januari 2015 belum diterima sekolah tersebut. Sehubungan dengan terhambatnya pencairan dana BOS tersebut, maka beberapa program sekolah terbengkalai seperti, honor para guru belum dibayar, untuk memenuhi semua kebutuhan kegiatan, seperti pengadaan alat-alat sekolah terbengkalai sehingga mencari bantuan dari pihak lain.

Ketiga, Tunjangan sertifikasi guru belum cair. Sebagai guru yang sudah memiliki sertifikasi pendidik, diberi kesempatan untuk mendapat tunjangan sertifikasi. Tunjangan sertifikasi diberikan sebagai upaya untuk meningkatkan kesejahteraan guru baik guru di negeri maupun swasta. Ternyata tunjangan sertifikasi guru banyak dikeluhkan oleh para pendidik terutama sekolah swasta.

Menurut Suparno, banyak guru swasta yang berada di bawah naungan BMPS, belum mendapatkan tunjangan sertifikasi sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 tahun 2009 Tentang Tunjangan Profesi Guru dan Dosen, Tunjangan Khusus Guru dan Dosen, serta Tunjangan Kehormatan Profesor, dalam pasal (3) dijelaskan bahwa guru dan dosen yang memiliki sertifikat pendidik dan memenuhi persyaratan sesuai dengan ketentuan perundang-undangan diberi tunjangan profesi setiap bulan. Untuk tahun 2014, guru-guru Madrasah bukan PNS, baru menerima 6 bulan (Januari-Juni 2014) tunjangan sertifikasi. Sedangkan sisanya belum dicairkan hingga sekarang. Sementara guru PNS yang berada di sekolah tersebut sudah menerima tunjangan sertifikasi. Melihat kondisi ini, seakan ada diskriminasi antara guru PNS dan non PNS dalam mendapatkan tunjangan sertifikasi.

Saran/Harapan

BMPS sebagai lembaga tempat sekolah-sekolah swasta bernaung sudah berupaya memperjuangkan nasib sekolah swasta baik terkait PPDB, Pencairan dana BOS maupun pencairan tunjangan sertifikasi guru. Perjuangan tersebut dilakukan secara kooperatif setiap tahunnya dengan melayangkan surat ke instansi terkait agar kritik dan saran BMPS tersebut diterima dan direalisasikan guna memberi kesempatan yang sama dengan sekolah negeri dalam memperoleh hak. Pertama, BMPS telah mengirimkan surat kepada Kepala Dinas Pendidikan kabupaten/kota di seluruh wilayah Sumatera Utara terkait proses pelaksanaan PPDB. BMPS berharap pemerintah daerah mengeluarkan kebijakan yang mengatur penerimaan siswa baru sesuai dengan Permendiknas Nomor 41 Tahun 2007. Kedua, BMPS telah mengirim surat ke Menteri Pendidikan dan Menteri Agama terkait penyaluran dana BOS dan tunjangan sertifikasi guru di lingkungan kementerian agama.

Melalui surat tersebut, BMPS berharap pemerintah memberikan perhatian yang sungguh-sungguh terhadap dunia pendidikan terutama sekolah swasta yang semakin terpuruk akibat kebijakan yang selama ini tidak dikawal dengan serius. Keterpurukan sekolah swasta yang disebabkan kekurangan siswa akibat sekolah negeri melakukan pelanggaran terhadap permendiknas tersebut. Begitu juga dengan nasib para guru swasta hendaknya tetap disamakan dengan guru PNS dalam memperolah hak terutama tunjangan sertifikasi guru. BMPS juga berharap kepada Ombudsman sebagai lembaga negara yang bertugas mengawasi pelayanan publik turut ambil bagian dalam menampung kritik dan saran BMPS. Sebab, maladministrasi yang dilakukan oleh penyelenggara pelayanan publik seperti sekolah negeri adalah tugas Ombudsman menurut Undang-undang Nomor 37 Tahun 2008 Tentang Ombudsman Republik Indonesia. Dengan demikian tidak ada lagi keluhan dan jeritan dari sekolah-sekolah swasta khususnya yang tergabung dalam BMPS terkait maladministrasi PPDB, keterlambatan pencairan dana BOS dan keterlambatan pencairan tunjangan sertifikasi guru. ***

*Penulis adalah Guru di Perguruan Swasta di Medan

()

Baca Juga

Rekomendasi