Bagiku A. Rahim Qahhar adalah Guru

Oleh: M. Raudah Jambak

Betapa mengejutkan berita itu. Sosok yang berani berucap lantang tentang sesuatu yang berhubungan dengan dunia kesenian itu telah berpulang. Keperdulian terhadap kesenian di Sumatera Utara ini cukup luarbiasa. Dia sosok yang ‘angkuh’ untuk urusan kesenian, tetapi juga berani ‘rendah hati’ untuk menerima keputusan. Ah, betapa masa-masa itu cukup membuat aku kagum akan sikapnya.

Beberapa kali dia menunjukkan hasil karyanya sebelum dikirimkan ke media nasional. Pun ketika hendak mengirimkannya ke festival lomba cipta. Satu sisi aku sebenarnya heran. Di balik ke’aku’annya, dia bertanya sambil mendiskusikan karyanya. Mulai dari pemilihan judul, diksi dan pesan yang ingin disampaikannya. Aneh, hatiku berkata. Mengapa sosok orang luarbiasa ini menanyakan tanggapanku tentang hasil karyanya? Notabene orang yang ditanyanya ilmunya masih setipis kulit bawang. Ternyata efeknya cukup luarbiasa.

Aku jadi belajar tentang proses kreatif yang dia lakukan. Walau dengan gaya yang ‘tinggi hati’ dia mengajarkanku bagaimana menjadi penulis yang rendah hati. Mau berbagi kepada penulis-penulis muda yang dianggapnya berpotensi. Termasuk Hasan Al Banna dan Sartika Sari.

Aku masih ingat betapa seorang A. Rahim Qahhar merekomendasikan sekaligus mengurus semua keperluanku agar mengikuti workshop cerpen MASTERA (Majelis Sastrawan Asia Tenggara). Tahan-tahan telingalah, batinku. Penunjukan aku waktu itu, termasuk memicu pro dan kontra. Kenapa Raudah jambak yang direkomendasikan. Padahal masih banyak penulis hebat lainnya.

Aku mengakui itu. Hal itu cukup efektif bagiku dalam memasuki pintu gerbang kepenulisan sekaligus berbagi pengalaman dengan beberapa penulis muda yang sudah’jadi’ dibandingkan aku sendiri. Termasuk bersentuhan dengan Hamsad Rangkuti, Budi Dharma, Danarto, S.N Ratmana, dan lain-lain.

Walau tidak terbilang begitu hebat, tapi bagiku hasilnya luarbiasa. Beberapa cerpenku hasilnya berbicara tidak hanya di Medan, juga diluar Medan dan beberapa kali memenangkan penulisan cerpen yang dilaksanakan secara nasional dan internasional. Salah satunya cerpen Puaka Tiga Datuk yang dengan proses lomba cukup ketat dan panjang. Akhirnya termaktub dalam antologi cerpen RANHESI (Radio Nedherland Siaran Indonesia).

Tidak hanya itu. Setiap kali bertemu di kantin Taman Budaya Sumatera Utara. Aku masih belajar berjenuh-jenuh dengan gaya khas-nya itu. Pada masa berikutnya, diamendiskusikan siapa lagi yang akan direkomendasikan dalam workshop kepenulisan MASTERA selanjutnya. Dia masih mau mendiskusikan. Beberapa nama yang kami bicarakan, akhirnya dia sepakat menunjuk Hasan Al Banna.

Banyak sisi yang menyebabkan aku gembira pada akhirnya. Pertama adalah penetapan Hasan Al Banna yang juga menimbulkan pro dan kontra. Selanjutnya, aku punya kawan berbagi ‘penderitaan’. Aku yang awalnya secara intens berdiskusi dengannya mulai ada kelonggaran setelah munculnya Hasan Al banna. Terkesan "kurang ajar" memang, tetapi aku tetap merasa ada kerinduan dengan sikap dan gaya khasnya itu.

Dengan gayanya itu, aku ikut merasa prihatin juga. Sosok ini menjadi memiliki begitu banyak persoalan ‘sosial’ di lingkungan kesenian. Aku berusaha mencari cara bagaimana agar dia lebih lentur dalam bersikap. Persis ketika penunjukanku sebagai koordinator Omong-omong Sastra, sebelum akhirnya dipercayakan kepada Syafrizal Sahrun, Sartika Sari, dan kawan-kawan. Aku dan kawan-kawan bersepakat untuk menyatukannya dengan orang-orang yang sempat bersitegang dengannya pada acara omong-omong sastra yang dituanrumahi Jaya Arjuna, persis di rumah mertua Jaya Arjuna. Secara mengejutkan beliau menerima. Sosok yang ‘tinggi hati’ ini, begitu rendah hati menerima tawaran kawan-kawan. Selanjutnya kelenturan itupun mulai terasa.

Seiring perjalanan waktu kesedihan itu mulai terasa. Aku merasa jadi serbasalah. Dia yang biasanya menggelegar, pada waktu-waktu berikutnya mulai memilih dengan kesendiriannya. Dia lebih banyak mengamati, walau sesekali terpancing juga dengan diskusi. Sering mengundang kawan-kawan untuk menikmati hasil peliharaanya di rumahnya.

Ah, sosok yang kontradiktif. Tidak pernah merasa sungkan dengan ke’aku’annya. Masih ada rendah hati menerima keputusan bersama. Banyak karya yang spektakuler yang dilahirkannya.

A. Rahim Qahhar, kelahiran 29 Juni 1943 ini, hanya memperdalam pendidikan secara otodidak, setelah tamat SMA dan Qismul Ali. Aktivitas menulis sejak tahun 60-an di surat kabar terbitan Medan, kemudian cerpen-cerpennya dimuat dalam koran “Indonesia Raya” pimpinan Mochtar Lubis, juga majalah “Sastra” HB Jassin.

Dekade tahun 70-an mulai menulis puisi, novel dan naskah drama serta skenario televisi. Karya-karyanya banyak dimuat di koran lokal maupun Ibukota (antara lain: Sinar Harapan, Republika, Media Indonesia) dan juga majalah Horison, majalah Dewan Sastera (Malaysia). Selalu hadir dalam setiap pertemuan sastera dan budaya yang dilangsungkan di Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan acap tampil dalam pembacaan puisi maupun cerpen dengan gayanya yang khas.

Selain memenangkan sayembara penulisan karya sastra, berupa naskah drama serta skenario sinetron, sebagai wartawan dia berulangkali pula memenangkan lomba karya tulis jurnalistik untuk tingkat nasional. Kini sejumlah karya berupa kumpulan pusi “Munajat”, dua kumpulan cerpen dan empat buah novelnya masih menumpuk untuk mencari penerbit.

Karya-karyanya yang sudah terbit antara lain:  Cerpen: Terminal, Sastra Leo Medan (1971), Abraham Ya Abraham, Medan Puisi (1984), Titian Laut, DBP Malaysia (1984), Titian Laut III, DBP Malaysia (1991), Cerpen-cerpen Nusantara Mutakhir, DBP Malaysia (1991), Dari Fanshuri ke Handayani, Horison (2001), Horison Sastra Indonesia, Horison (2002)

Puisi : Puisi, temu sastrawan Sumut (1977), Blong, Medan Puisi (1979), Mabukku pada Bali, Medan Puisi (1983), Rantau, Yaswira Medan (1984), Selagi Ombak Mengejar Pantai 4, Kemudi Selangor Malaysia (1988), Sajak buat Saddam Hussein, Medan Puisi (1991), Perisa, jurnal puisi Melayu DBP Malaysia (1995, 1996, 1998, 2000), Antologi Puisi Indoinesia, Angkasa Bandung (1997), Jejak, Dewan Kesenian Sumut (1998), The Horozon of Hope, Sastra Leo Medan (2000). Naskah Drama: Titian Laut II DBP Malaysia (1986). Novel: Langit Kirmizi, Marwilis Publisher Malaysia (1987), Melati Merah, Marwilis Publisher Malaysia (1988).

Rahim Qahhar adalah sosok guru bagi penulis-penulis muda. Uji mental metoda pembelajaran yang dilakukannya. Mengenangmu, kami takkan pernah lupa. Selamat jalan. Kusisipkan puisimu yang memiliki kesan bagiku

Kutanam Benih

Kutanam Pedih

Kutanam bibit kutanam benih

kutanam pedih kutanam sedih kutanam jerih kutanam risih

kutanam padi berhari-hari

kutanam budi berpanen duri

kutanam sirih rangkai berangkai

pupuk kukasih dihantam badai

ulah siapa ulah siapa

Kucangkul kurangkul tanah merdeka ini begitu rentan mengusung beban

kusemai kubelai ranah sawah ini

bak perawan menyulam kelam

Kicau burung telah terkunci

saat pohon randu berkabung nyeri

menggemuruh guruh tengah hari

kilat melesat di ubun api

Kusimpan petir di relung dada

tak sempat bertanya kenapa

sang dara belum datang juga

mengantar cangkir dan bejana

barangkali rindunya terkapar

disandera

Kutanam bibit kutanam benih

kutanam luka kutanam noda kutanam duka kutanam dosa

kutanam ketan tumbuh ilalang

curah hujan terasa garam

kutanam cabai dekat pematang

belum kutuai banjir pun datang

ulah siapa ulah siap

Medan, 2802

Selamat jalan guruku.

Komunitas Home Poetry, 2015

()

Baca Juga

Rekomendasi